Sungai Cikapayang: Dari Bau tak Sedap, Temuan Bakteri E. Coli, hingga Lelang Rp 8 Miliar
Sungai Cikapayang, yang dikeluhkan kotor dan berbau tak sedap, menyimpan cerita yang panjang. Dari temuan bakteri E. coli hingga lelang senilai Rp 8 miliar.
Penulis Iman Herdiana21 Maret 2021
BandungBergerak.id - Suatu sore anak-anak belasan tahun datang ke tepi Sungai Cikapayang di belakang Rektorium ITB, Jalan Tamansari, Bandung untuk bermain perahu-perahuan. Batang lilin menyala diletakkan di badan perahu kecil yang timbul-tenggelam dibawa arus air yang jernih dan deras menuju Pieters Park, taman yang kini dinamai Taman Balai Kota sebagai bagian dari kompleks Kantor Pemerintah Kota Bandung.
Nyala lilin berkedap-kedip menembus kegelapan sungai, menerobos bawah jembatan, diikuti gerombolan bocah tadi, disertai gelak tawa gembira. Terkadang jerit kecewa terdengar manakala perahu mini itu tenggelam. Bocah-bocah yang belum bisa membikin perahu sendiri sibuk mencari kulit buah dari tanaman Sepatu Dewa (Spathodea campanulata) yang bentuknya berbelah dua seperti perahu berukuran 15-20 centimeter.
Ketika itu air Sungai Cikapayang, sebagaimana diceritakan oleh Haryoto Kunto dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), masih jernih dan mengalir deras.
Itu dulu. Kondisinya saat ini sama sekali berbeda. Anak-anak yang dulu bermain perahu-perahuan itu mungkin sudah menjadi kakek dan nenek. Permainan perahu-perahuan juga mungkin sudah tidak dikenal oleh bocah-bocah yang tinggal di sekitar Sungai Cikapayang.
Air Sungai Cikapayang juga jauh berubah. Ia tak sejernih dan seasri zaman baheula. Pada awal bulan Maret 2021 lalu warga mengeluhkan anak Sungai Cikapundung yang membelah pusat Kota Bandung itu kotor dan mengeluarkan bau tak sedap.
Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana menanggapi keluhan tersebut dengan menengok langsung lokasi. Di sana, ia menemukan pepohonan rimbun yang sangat mungkin jadi penyebab kotornya air sungai. Namun, tidak tercium olehnya bau tak sedap sebagaimana dikeluhkan warga.
“Nanti untuk lebih teknis saya akan minta Dinas terkait, terutama DPU (Dinas Pekerjaan Umum), ambil sampel airnya (sehingga bisa diketahui) ada kandungan apa," kata Yana sebagaimana dikutip dari siaran persnya, Rabu 3 Maret 2021.
Lebih dari Kotor Daun
Pada 2008 Andreas Krisnata Giantara dari Universitas Kristen Maranatha mengkaji kondisi air yang mengalir di dekat Balai Kota Bandung dalam tesis “Identifikasi Bakteri Coliform pada Air Anak Sungai Cikapayang Di Sekitar Kantor Pemerintah Kota Bandung”. Ia menerapkan metode sampling air model Koch, yakni upaya isolasi bakteri coliform yang ada di dalam air. Hasilnya, diketahui bahwa air Sungai Cikapayang mengandung bakteri coliform jenis Escherichia coli (E. coli) dan Shigella dysentriae. Adanya bakteri coliform menandakan telah terjadi kontaminasi pada air oleh feses manusia/mamalia.
Coliform merupakan bakteri penyebab berbagai macam penyakit infeksi pada saluran pencernaan, saluran pernapasan, dan saluran kemih. Contohnya: diare, demam tifoid, dan disentri. Bakteri ini mampu menimbulkan penyakit jika mencapai jumlah tertentu dalam tubuh.
Selain bakteri coliform, peneliti juga menemukan jamur jenis Trycophyton sp dan Penicillium sp. Jamur ini juga dapat menyebabkan penyakit.
Penelitian yang dikerjakan oleh Andreas Krisnata menyimpulkan bahwa air anak Sungai Cikapayang tercemar bahan biologik, yaitu bakteri coliform E. coli dan Shigella dysentriae. Direkomendasikan agar ada larangan bermain air di sekitar anak sungai Cikapayang, terutama bagi anak-anak. Peneliti juga menyarankan agar kebersihan Sungai Cikapayang selalu dijaga.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat Meiki W Paendong mengatakan, Sungai Cikapayang yang melintas di sebelah kompleks Pemkot Bandung dahulunya adalah sungai buatan. Sumber airnya dari Sungai Cikapundung.
“Kualitas air Sungai Cikapayang tidak layak untuk minum sebab sungai ini telah tercemar limbah domestik dari permukiman dan kegiatan usaha yang berdiri di sepanjang sungai,” kata Meki.
Lelang Rp 8 miliar
Sungai Cikapayang mendapat perhatian khusus Pemkot Bandung lewat program revitalisasi dan restorasi. Mengutip laman Lelang Elektronik secara Elektronik (LPSE) Kota Bandung, diketahui sedikitnya ada empat proyek terkait Sungai Cikapundung dari tahun 2014 hingga 2016. Nilai uang rakyat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang digelontorkan lebih dari 8 miliar Rupiah.
Lelang pertama, pada September 2014, dinamai RKK-02 Restorasi Sungai Cikapayang. Dengan harga penawaran Rp 2,6 miliar, CV. Sindang Jaya yang beralamat di Kabupaten Bandung Barat ditetapkan sebagai pemenang.
Lelang kedua, pada September 2015, dinamai Restorasi Sungai Cikapayang di Wilayah Kantor Wali Kota Bandung. Dengan harga penawaran Rp 5,4 miliar, PT. Era Tata Buana yang beralamat di Kabupaten Garut ditetapkan sebagai pemenang.
Lelang ketiga, pada Oktober 2016, dinamai Revitalisasi Sungai Cikapayang III Balai Kota. Dengan harga penawaran Rp 1,6 miliar, CV. Natisa yang beralamat di Jalan Natuna Kota Bandung ditetapkan sebagai pemenang.
Lelang terakhir, juga pada Oktober 2016, dijuduli Restorasi Sungai Cikapayang Kandaga Puspa Kecamatan Bandung Wetan. Dengan harga penawaran Rp 1,1 miliar, CV. Mergorossa yang beralamat di Jalan Ciparay Kota Bandung ditetapkan sebagai pemenang.
Pemkot Bandung pada pertengahan tahun 2015 juga meresmikan sebuah eksperimen instalasi penjernih air di Sungai Cikapayang di sebelah kompleks Balai Kota di Jalan Merdeka. Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung ketika itu, menyebut eksperimen tersebut bertujuan membuktikan bahwa sungai-sungai kotor di Kota Kembang bisa jernih kembali.
"Kita sengaja tes dulu di sepenggal kecil di sungai cikapayang jalan merdeka ini. Kita ingin membuktikan Bandung sungai nya jernih dan bersih lagi," ujar Ridwan dalam siaran pers bertanggal 29 Mei 2015.
Enam Nyawa Melayang dalam Penggalian Kanal
Rekayasa teknis oleh Pemkot Bandung di bawah komando Ridwan Kamil itu bukan kali pertama terjadi di Sungai Cikapayang. Pada 1885, Pemerintah Hindia Belanda menggulirkan proyek penggalian kanal atau saluran air yang berfungsi mengaliri taman-taman yang baru dibangun.
Pada zaman itu pemerintah kolonial memang lagi gencar-gencarnya memoles Bandung agar menjadi Parijs van Java. Pieters Park adalah salah satu taman bunga yang dibangun.
Warga kampung Balubur dan Tamansari dikerahkan dalam proyek besar pembangunan kanal yang memanjang dari tepi utara taman. Sumber air diambil dari Tamansari atas, tepatnya dari lembah Sungai Cikapundung di belakang Kebon Binatang.
Haryoto Kunto, dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), kemudian mengutip keterangan seorang sepuh di sekitar kawasan Tamansari yang menyebut proyek penggalian saluran itu telah merenggut nyawa enam orang pekerja.
“Mereka meninggal tatkala galian sampai di jembatan Cikapayang, utara Pasar Balubur," tulis Kunto. "Konon menurut cerita masyarakat setempat, pada lokasi yang kena gali itu, terdapat sebuah makam yang kuno…yang angker.”