Insinerator Cara Paling Akhir untuk Musnahkan Sampah Medis B3

Sampah plastik yang tak bisa lagi diolah berpotensi menimbulkan cemaran mikroplastik. Langkah paling bijak ialah mengurangi produksi sampah di lingkup individu.

Mesin keruk di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jumat (19/2/2021). Jumlah sampah yang dibuang dari wilayah Bandung Raya 2.000 ton per hari, sementara daya tampung TPSA Sarimukti hanya 1.200 ton per hari. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana24 April 2021


BandungBergerak.idInsinerator dinilai menjadi jalan paling akhir untuk memusnahkan limbah medis infeksius yang tergolong bahan beracun berbahaya (B3). Hingga saat ini memang belum ada teknologi pemusnahan sampah infeksius selain dibakar insinerator yang menghasilkan temperature tertentu.

“Kalau yang infeksius berat ngga ada jalan lain selain di insinerator,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Meiki W Paendong, saat dihubungi BandungBergerak, Sabtu (24/4/2021).

Sebagai jalan terakhir, tentu ada tahapan sebelumnya dari penanganan limbah medis, yaitu pemilahan untuk beberapa alat yang dianggap tidak mengarah ke infeksius tinggi untuk disterilisasi dengan alat bernama autoclave medical device. “Biasanya beberapa rumah sakit punya alat autoclave sendiri,” terang Meiki.

Perlu diketahui, pandemi Covid-19 meningkatkan volume limbah B3 dari bekas bahan medis yang bersifat infeksius atau berpotensi menimbulkan infeksi. Dalam 3 bulan pandemi, produksi limbah B3 medis di Kota Bandung mencapai 2 ton atau 6,6 kuintal per bulannya, menurut Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung.

Dilema Sampah Plastik

Peneliti sampah dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Enri Damanhuri mengatakan pengelolaan sampah mengandung dilemma yang tak mudah dipecahkan. Ketika orang berinisiatif melakukan pemilahan, ternyata bank sampah tidak menerima seluruh sampah plastik. Sehingga sampah plastik hasil pemilahan yang tak bisa diapa-apakan lagi itu harus dibuang.

Namun membuang sampah plastik secara sembarangan, akan menimbulkan pencemaran lingkungan berupa mikro plastik. Sampah plastik juga tidak boleh dibakar karena akan menghasilkan zat dioksin, zat yang membahayakan kesehatan makhluk hidup.

Untuk mengatasi sampah plastik yang tidak bisa diapa-apakan lagi, tidak ada jalan lain selain dengan insinerator. Enri menjelaskan, tungku bakar insinerator adalah proses oksidasi materi organik melalui pembakaran.

Insinerator memiliki tiga komponen utama, yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas atau api. “Bila salah satu dari tiga komponen ini tidak ada, maka proses pembakaran tidak akan berlangsung. Saya tidak mengatakan mari pakai insinerator karena teknologi ini efektif dan ramah lingkungan,” jelas Enri, dalam acara virtual “Ngobrol Santai Bahas Insinerator Sampah bersama Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri” yang digelar Laboraturium Buangan Padat dan B3, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), Sabtu (10/4/2021).

Enri Damanhuri adalah seorang peneliti senior di ITB tersebut. Ia juga ilmuwan yang banyak meneliti sampah. Acara ini dihadiri lebih dari 200 partisipan dari berbagai institusi. Enri membahas zat dioksin yang bisa muncul akibat pembakaran sampah plastik. Zat ini muncul dari media yang mengandung klorin akibat proses oksidasi.

Dioksin akan efektif muncul pada temperatur 200-400 derajat celcius. Artinya, insinerator harus bekerja pada temperatur di atas 400 derajat celcius agar dioksin hanya muncul di awal dan akhir pembakaran saja.

Ia menyebut, di Indonesia sudah banyak sampah dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah yang dibakar. Di seluruh penjuru negeri, membakar sampah dilakukan setiap hari. Bahkan ada beberapa daerah yang menjadwalkan gotong-royong membersihkan sampah kemudian membakarnya.

Namun sekarang hadir teknologi insinerator modular yang dinilai lebih baik dibandingkan membakar sampah di TPA-TPA liar. Insinerator ini bekerja pada temperatur di atas 850 derajat celcius yang dikontrol dengan alat-alat yang bisa secara otomatis menghidupkan burner agar temperatur bisa bertahan di atas 850 derajat celcius.

Meski demikian, sebaik apa pun insinerator modular tetap memiliki dampak negatifnya. ”Tidak pernah teknologi itu tanpa dampak,” kata Enri.

Dengan dilematisnya pengelolaan sampah plastik atau sampah yang tidak bisa didaur ulang, langkah paling bijak untuk saat ini dengan berusaha mengurangi sampah di level individu masyarakat. Pemilahan sampah perlu terus dilakukan, dan ditopang niat kuat untuk mengurangi produksi sampah baru.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//