Bahaya Memperluas Perkebunan Kelapa Sawit bagi Masa Depan Hutan Indonesia
Pengabaian fungsi hutan demi perkebunan kelapa sawit akan mempercepat kerusakan ekologis, juga meningkatkan konflik agraria.
Penulis Yopi Muharam4 Januari 2025
BandungBergerak.id - Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengeluarkan pernyataan kontroversial tentang rencana memperluas kebun sawit di hutan-hutan di Indonesia. Selain sebagai aset bangsa, perkebunan sawit dinilai tidak tidak jauh berbeda dengan pepohonan yang tumbuh di hutan karena dasarnya adalah pohon.
Sebaliknya, sejumlah penelitian justru menunjukkan bahwa salah satu dampak paling mencolok dari perkebunan kelapa sawit adalah deforestasi yang melibatkan penebangan hutan secara luas. Hal ini menyebabkan kerusakan habitat bagi berbagai spesies hewan dan tumbuhan, termasuk orang utan, harimau, dan berbagai jenis burung langka. Banyak spesies terancam punah karena perubahan drastis dalam lingkungan hidup mereka akibat perubahan yang ditimbulkan dari hadirnya perkebunan kelapa sawit.
Menurut Riset bersama Sawit Watch, Madani Berkelanjutan, dan Satya Bumi (2024), ambang batas perkebunan kelapa sawit di Indonesia ada batas maksimalnya. Riset ini menunjukkan bahwa batas maksimal dalam perkebunan kelapa sawit sebesar 18,15 juta hektare. Juga ditemukan data bahwa perkebunan sawit menyumbang 14 persen dari total deforestasi di Indonesia.
Berdasarkan riset Kementerian Pertanian luas wilayah kebun sawit di Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang signifikan. Pada tahun 1950 perkebunan sawit di Indonesia sebesar 0,1 hektare, hal ini terus bertambah seiringnya banyak perusahaan sawit yang terus mengekspansi hutan untuk diubah jadi perkebunan sawit.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, perkebunan sawit di Indonesia seluas 10,75 juta hektare dan angka tersebut terus memuncak hingga tahun 2023 seluas 16,83 juta hektare. Sedangkan data dari Badan Informasi dan Geospasial (BIG) hingga akhir 2023 lalu, luas lahan sawit sudah menjadi 17,3 juta hektare, atau hampir 1,5 kali luas Pulau Jawa.
Sebelumnya, rencana perluasan perkebunan kelapa sawit disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam sambutanya di Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasioanl Pembangunan Jangka Menengah Nasional (Murenbangnas RPJMN) 2025-2029 di Kantor Bappenas, Senin, 30 Desember 2024.
Menurut Prabowo perkebunan sawit merupakan aset bangsa yang harus dipertahankan. Banyak negara yang takut tidak kebagian produk kelapa sawit. Dia juga memerintahkan kepada para kepala daerah, pejabat, hingga TNI/Polri untuk menjaga aset negara tersebut.
Selanjutnya, bekas Menteri Pertahanan di era Presiden Jokowi ini mengungkapkan bahwa pemerintah akan terus menambah tanaman kelapa sawit dengan mengganti hutan-hutan di Indonesia. “Nggak usah takut apa itu namanya membahayakan, deforestation. Namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan? Benar nggak? Kelapa sawit itu pohon, ada daunnya, kan?" ujarnya disambut tertawa kecil audiens.
Perkebunan Sawit Mengancam Hutan Hujan Indonesia
Pengabaian deforestasi terhadap hutan hujan karena perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak bisa disepelekan. Perkebunan sawit tidak sama dengan hutan. Begitu juga pohon sawit tidak bisa disamakan dengan pohon yang tumbuh di hutan-hutan karena dia tidak bisa menjalankan fungsi hutan sesungguhnya.
Ishmah Nurhidayati, dalam artikel di mertani.co.id menjelaskan perbedaan mendasar pohon sawit dengan pohon yang tumbuh di hutan alias pohon liar. Pergantian hutan dengan pohon sawit akan menghilangkan ekosistem alami yang ada, seperti spesies hewan dan tumbuhan, termasuk orang utan, harimau, dan berbagai jenis burung langka.
Perkebunan sawit juga memicu pencemaran tanah dan air. Ishmah menjelaskan, penggunaan pestisida dan bahan kimia lainnya dalam perkebunan dapat mencemari sumber air, merusak ekosistem perairan, dan kesehatan manusia. Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi kelapa sawit juga bisa mencemari sungai dan tanah sehingga mengancam kehidupan akuatik dan keseimbangan ekosistem.Selain itu, terdapat emisi gas rumah kaca dari proses pembakaran lahan untuk membersihkan area perkebunan kelapa sawit. Hal ini menyebabkan pelepasan karbon dioksida (CO2) ke atmosfer dan berkontribusi pada pemanasan global. Limbah perkebunan kelapa sawit juga menghasilkan metana, gas rumah kaca yang lebih kuat efek pemanasannya daripada CO2.
Belum lagi dengan konflik agraria. Praktik land grabbing untuk perluasan perkebunan kadang-kadang merampas tanah masyarakat lokal, memicu konflik sosial dan ekonomi. Dampak sosial juga terjadi akibat pembagian yang tidak merata dari keuntungan perkebunan kepada masyarakat lokal sehingga menciptakan kesenjangan ekonomi.
“Perkebunan kelapa sawit adalah salah satu sektor ekonomi yang penting bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, bersama dengan manfaat ekonomi yang signifikan, perkebunan kelapa sawit juga menimbulkan isu lingkungan yang serius,” tulis Ishmah Nurhidayati.
Berdampak pada Ekonomi dan Ekologi
Wakil Direktur Madani Berkelanjutan Giorgio Budi Indrarto mengatakan, tren pengembangan sawit di Indonesia selama ini tidak berfokus pada peningkatan produktivitas sawit (intensifikasi), melainkan lebih ke perluasan perkebunan sawit (ekstensifikasi).
Girgio mengungkapkan pertumbuhan industri sawit jika dibiarkan tanpa pengendalian akan berdampak pada ekonomi dan ekologi. Dampaknya, lanjut Girgio, Indonesia akan mengalami kerugian jangka panjang yang besar.
Pada akhirnya, produktivitas sawit akan mengancam ketahanan ekonomi jangka panjang bagi industri sawit bahkan nasional. “Karena dampak sosial dan ekologis yang tidak terkendali akan menciptakan beban besar bagi negara," ungkap Giorgio Budi Indrarto, seperti dikutip BandungBergerak dalam rilisnya, Jumat, 3 Desember 2024.
Sayangnya sebesar 34 persen perkebunan sawit didirikan di atas hutan lindung dan gambut. Hutan lindung di Indonesia memiliki luas total 5,6 juta hektare. Tiga daerah yang memiliki hutan lindung terbesar di Indonesia di antaranya berada di pulau Papua, Kalimantan, dan Sumatera.
Sementara untuk lahan gambut di Indonesia diperkirakan memiliki luas sekitar 13,43 juta hektare atau 10 persen dari luas daratan Indonesia. Penyumbangnya tetap sama dengan luas hutan lindung. Di Indonesia, krisis lahan gambut yang diubah menjadi kebun sawit malah memperpanjang masalah.
Kepala Global untuk Hutan Indonesia Greenpeace Kiki Taufik menjabarkan saat webinar yang diselenggarakan Warga Berdaya tentang Warisan Kekacauan Restorasi Gambut Era Jokowi, Rabu, 20 Oktober 2024 lalu, bahwa luas areal terbakarnya lahan gambut di Indonesia tahun 2023 mencapai 2,13 juta hektare.
Dari jumlah itu, sebanyak 1,3 juta hektare merupakan lahan yang sebelumnya pernah atau bahkan sering terbakar sepanjang tahun 2015-2022. Artinya, menurut Kiki permasalahan menyoal lahan gambut tidak terselesaikan, bahkan makin memburuk.
Baca Juga: Visi Prabowo Pensiunkan Seluruh PLTU pada 2040 Kurang Ambisius
Penataan Kota Perlu Mempertimbangkan Aspek Keberlanjutan Lingkungan
Perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional Harus Melibatkan Partisipasi Publik yang Bermakna
Memperpanjang Konflik Agraria
Perintah Prabowo kepada aparat TNI/Polri hingga kepala daerah untuk menjaga kebun sawit dikhawatirkan akan memperpanjang konflik agraria di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2023 terjadi letusan konflik agraria sebanyak 241 di sejumlah titik di Indonesia.
Dari total kasus tersebut melibatkan perampasan lahan seluas 638.188 hektar tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan pemukiman dari 135.608 kartu keluarga. Tidak hanya itu, sebanyak 110 konflik di antaranya menyebabkan 608 pejuang hak atas tanah menjadi korban akibat pendekatan represif di wilayah konflik agraria.
Akibat dari konflik tersebut, Indonesia meduduki peringkat teratas terkait konflik agraria di antara negara Asia lainnya seperti; India, Kamboja, Filipina, Bangladesh dan Nepal.
“Angka di Indonesia mencapai 74 persen dari total insiden, 94 persendari total korban individu dan 84 persen dari total rumah tangga yang terdampak, jika dibandingkan antara keenam negara tersebut,” jelas Marianne Jane Naungayan dari Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development seperti dikutip BandungBergerak.
Tidak hanya itu, Merianne juga mengatakan bahwa banyak konflik agraria yang tidak terdokumentasikan hingga terlaporkan. Menurutnya data yang didapatkan tersebut bersifat indikatif. Angka yang belum tercatat itu mencakup penderitaan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak, termasuk penggusuran, pengrusakan terhadap rumah, pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, serta kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Sementara untuk pelaku penggusuran disertai tindakan represif didominasi oleh aparat negara bersenjata sebanyak 73 persen dan aparat keamanan dari korporasi 11 persen, sisanya dilakukan oleh orang tidak dikenal (OTK).
Catatan akhir tahun KPA tahun 2023 mengungkapkan konflik agraria ini meningkat tajam pada era pemerintahan Joko Widodo sebanyak 2.939 kasus. Sedangkan pada masa SBY sebesar 1.345 kasus.
“Kita bisa lihat bahwa masyarakat sipil di berbagai negara menghadapi situasi yang sama, walau berbeda konteks. Pelaku utama dari konflik ini adalah pemerintah pusat dan aparat hukum seperti polisi, militer,” ungkap Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artikel lain tentang Kelapa Sawit