• Lingkungan Hidup
  • Perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional Harus Melibatkan Partisipasi Publik yang Bermakna

Perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional Harus Melibatkan Partisipasi Publik yang Bermakna

Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) berperan penting dalam mencegah dampak buruk perubahan iklim.

Ilustrasi. Perubahan iklim terjadi karena aktivitas tidak ramah lingkungan yang dilakukan manusia. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak).

Penulis Awla Rajul11 September 2024


BandungBergerak.idPemerintah pusat tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) terbaru yang akan menggantikan PP No. 79 Tahun 2014. Organisasi sipil lingkungan mendesak pemerintah untuk meninjau kembali substansi isi RPP KEN, serta memastikan seluruh tahapan prosesnya dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi publik yang bermakna.

Manajer Advokasi dan Program Rhizoma Indonesia Wahyu Widianto menerangkan, pengesahan PP KEN itu menjadi penting karena memuat kebijakan iklim di sektor energi. Sektor energi merupakan sumber gas rumah kaca global sekitar tiga perempat. Jika berhasil mengganti penggunaan energi fosil ke energi terbarukan, Widi meyakini sektor energi akan memiliki peran penting dalam mencegah dampak buruk perubahan iklim.

“Mengganti energi fosil (batubara, gas, dan minyak) dengan energi terbarukan seperti angin dan matahari akan mengurangi emisi karbon secara signifikan. Rencana nasional energi dalam RPP KEN terbaru yang telah disetujui DPR RI justru semakin jauh dan memperkecil peluang mengurangi emisi karbon dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050,” sesal Widi, dalam pernyataan tertulisnya yang diterima BandungBergerak, Senin, 9 September 2024.

Widi menilai, RPP KEN yang disusun pemerintah cacat, baik proses dan muatan substansinya. Sebab, tahapan penyusunan yang dilakukan sejak Januari 2022, mulai dari persiapan bahan, naskah akademis, perancangan dan penyusunan, konsultasi-persetujuan DPR, harmonisasi dan penetapan KEN oleh Dewan Energi Nasional dinilai sangat eksklusif dan tertutup. Tahapan-tahapan itu tidak memberi ruang bagi masyarakat rentan pinggiran yang akan terdampak kebijakan ini.

“Ketiadaan akses informasi dan kesempatan publik menyampaikan pendapat dan berkontribusi dalam perencanaan dan aksi iklim merupakan bentuk pengabaian pemerintah atas perlindungan lingkungan dan keselamatan rakyatnya. Seharusnya pemerintah berupaya mengintegrasikan perspektif masyarakat sipil dan memastikan partisipasi secara efektif dalam setiap tahap proses penyusunan kebijakan energi nasional,” terang Widi.

Widi menyebutkan, pemerintah wajib memberikan akses informasi dan keterlibatan langsung masyarakat rentan yang akan termpak. Hal ini merupakan amanat Undang-Undang yang tercantum di Pasal 96 UU 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 6 UNFCCC dan pasal 12 Perjanjian Paris juga menegaskan agar pemerintah memastikan akses informasi dan melibatkan partisipasi bermakna dengan mendudukkan masyarakat rentan terdampak setara sebagai pemangku kepentingan.

Baca Juga: Satu Dekade Basa-basi Rezim Jokowi pada Keadilan Iklim dan Transisi Energi Berkeadilan
Saung Monteng, Gerakan Mandiri Menghutankan Hutan Kamojang
Izin Pertambangan untuk Ormas Keagamaan akan Memicu Konflik Kepentingan

Kebijakan yang Selaras

Target bauran energi pada Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional atau RPP KEN disebut-sebut akan diturunkan oleh pemerintah. Rhizoma Indonesia menolak keras wacana ini. Widi menyebut, penetapan periode pelaksanaan kebijakan energi sampai dengan 2060 harus selaras dengan target pengurangan emisi karbon 2030 dan emisi nol bersih pada tahun 2050 secara global.

Ia mendorong pemerintah untuk membuat arah kebijakan energi nasional yang dapat memaksimalkan energi terbarukan dan mengurangi penggunaan energi fosil. Selain itu, untuk mencapai target emisi nol bersih, pemerintah harus melakukan pensiun PLTU batubara, baik alami maupun pensiun dini secara bertahap sesuai dengan mandat Perpres 112/2022.

“Peta jalan pemanfaatan teknologi rendah karbon dalam upaya mengurangi emisi karbon seharusnya dilakukan secara bertahap selaras dengan rencana pengakhiran pengoperasian PLTU batubara yang menggunakan teknologi tidak efisien dan tinggi emisi. Secara bertahap dimulai dengan mempensiunkan PLTU berteknologi CFB, subkritis, superkritis dan terakhir ultra superkritis,” terangnya memberikan rekomendasi.

Widi masih menilai kalau pemerintah gagal memahami makna transisi energi terbarukan. Sebab, pemerintah masih menggolongkan pemanfaatan biomassa sebagai pengganti batubara untuk ketenagalistrikan. Padahal, skema co-firing atau metode oplos bahan bakar di PLTU ini merupakan kebohongan. Biomassa dari sampah bukan energy terbarukan. Sementara biomassa kayu dengan hutan tanaman energi akan memicu deforestasi, merubah bentang alam bahkan konflik sosial.

“Rhizoma Indonesia menolak dan mendesak pemerintah untuk tidak mensahkan dan melakukan review terhadap peraturan pemerintah tentang kebijakan energi nasional. Menjadikan ekonomi sebagai indikator utama dan target sasaran capaian realisasi pasokan energi dalam pembangunan telah menempatkan kita dan anak cucu kita ke jurang kehancuran iklim dan ancaman keruntuhan global,” tegasnya.

Dorongan Industri

Sementara di sisi pemodal, para pelaku bisnis mendesak pemerintah Indonesia untuk meningkatkan ambisi dalam energi terbarukan dan membuka peluang investasi yang lebih besar dalam transisi energi. Hal itu disampaikan oleh CEO Climate Group, Helen Clarkson, mewakili anggota RE100 dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo.

RE100 merupakan inisiatif global yang mengumpulkan perusahaan-perusahaan paling berpengaruh di dunia yang berkomitmen pada 100 persen listrik terbarukan. Di dalamnya terdiri dari 430 perusahaan terbesar di dunia, yang 121 di antaranya beroperasi di Indonesia dengan total konsumsi listrik sebesar 2.1 TWh.

Dalam suratnya, RE100 menyebutkan setidaknya ada tiga kunci untuk membuka investasi swasta, yaitu peningkatan ambisi dengan menetapkan target energy terbarukan setidaknya 34 persen pada 2030. Selain itu, mempercepat masuknya proyek energI terbarukan ke dalam jaringan dan mendorong mendorong mekanisme yang memfasilitasi pengadaan langsung antara perusahaan dan produsen listrik, terutama melalui power wheeling energi terbarukan.

“Ini momen penting bagi Indonesia untuk mempertahankan daya saing industri dan ekonomi dengan memperkuat kepemimpinan di sektor energi terbarukan. Perusahaan global juga menginginkan ambisi dan investasi energi terbarukan yang lebih besar di Indonesia guna mencapai target RE100 mereka. Penetapan Kebijakan Energi Nasional dengan target yang ambisius sangat krusial untuk menentukan komitmen Indonesia terhadap net zero,” ujar Ollie Wilson, Pemimpin RE100, Climate Group, dikutip dari siaran pers IESR.

Sementara Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menerangkan, kredibilitas perusahaan yang tergabung dalam RE100 ditentukan dari pencapaian mereka terhadap target penggunaan energi terbarukan. Menurutnya, jika Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan energi terbarukan sesuai rencana ekspansi bisnis perusahaan, kemungkinan besar mereka akan memilih negara lain yang menawarkan peluang lebih baik untuk pemanfaatan energi terbarukan.

“Saat ini, draft KEN justru akan menurunkan target bauran energi terbarukan di tahun 2025 dan 2030. Kalau ini terjadi maka menimbulkan kekhawatiran bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk mencapai target 100 persen energi terbarukan mereka di 2050 atau lebih awal,” kata Fabby pada kegiatan media briefing “Seruan Industri untuk Akselerasi Energi Terbarukan di Indonesia”, Senin, 9 September 2024.

Fabby juga menyinggung masih terjadinya polemik penetapan power wheeling dalam perampungan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Padahal skema ini dapat menjadi peluang bagi perusahaan RW100 untuk mendapatkan listrik hijau. Fabby juga menyampaikan kalau RE100 pun mendorong pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kuota PLTS atap dan menyusun green tariff yang memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk berinvestasi secara langsung di pembangkit energi terbarukan.

Power wheeling merupakan mekanisme yang memperbolehkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjualnya secara langsung kepada masyarakat melalui jaringan transmisi PLN. Saat ini, satu-satunya off taker yang diperbolehkan menjual listrik kepada masyarakat hanyalah PLN.

*Simak tulisan-tulisan lain Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain tentang Lingkungan Hidup

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//