• Lingkungan Hidup
  • Izin Pertambangan untuk Ormas Keagamaan akan Memicu Konflik Kepentingan

Izin Pertambangan untuk Ormas Keagamaan akan Memicu Konflik Kepentingan

PP Nomor 25 Tahun 2024 membuat ormas keagamaan yang seharusnya fokus pada kegiatan sosial dan keagamaan malah terlibat kegiatan yang tak sejalan dengan organisasi.

Ilustrasi transisi energi. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Noviana Rahmadani12 Juni 2024


BandungBergerak.id – Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan dengan kebijakan terbaru yang kontroversial. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 mengenai Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang memberikan jalan bagi organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan organisasi keagamaan untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Jalur ini dinilai sebagai bentuk privileging yang tidak adil bagi pihak lain yang ingin berusaha di sektor pertambangan. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai PP 25/2024 cacat prosedur dan mengindikasikan praktik nepotisme karena mengabaikan partisipasi publik dalam perumusannya. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan berbagai konsekuensi negatif, seperti pelanggaran hak masyarakat adat, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial secara berkesinambungan.

“Hal ini membahayakan demokrasi karena mengabaikan partisipasi bermakna (meaningfull participation) dari rakyat selaku subjek utama pengelolaan sumber daya alam (SDA),” dikutip dari keterangan resmi YLBHI, Selasa, 11 Juni 2024.

PP 25 Tahun 2024 mengandung risiko munculnya konflik kepentingan, di mana organisasi yang seharusnya fokus pada kegiatan sosial dan keagamaan malah terlibat dalam kegiatan bisnis seperti pengelolaan aset, investasi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai organisasi. Dampaknya, organisasi dapat kehilangan kepercayaan publik, citra organisasi tercoreng, dan bahkan berujung pada tindakan hukum.

“Pemberian penawaran khusus kepada organisasi keagamaan juga syarat akan kepentingan legasi kepemimpinan Jokowi dan penundukan terhadap organisasi kemasyarakatan yang seharusnya menjadi kawan kritis kebijakan negara. Dengan adanya jalan khusus pemberian WIUPK ini, maka sudah barang tentu penjaga kedaulatan rakyat dan sebagai perwujudan negara demokrasi kian melemah,” kata YLBHI.

Baca Juga: Pemerintah Mengabaikan Masyarakat Terdampak Pertambangan
Sistem Cewers sebagai Resolusi Konflik Pertambangan sebagai Upaya Pencegahan The Sixth Estinction pada Spesies di Papua
Membedah Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja di Area Pertambangan

Menyalahi UU Minerba dan Mengkhianati Pegiat Lingkungan

Pertambangan, sebuah industri yang menjanjikan keuntungan bagi negara dan perusahaan, tak jarang meninggalkan luka mendalam bagi alam dan masyarakat. Di balik gemerlap mineral dan batu bara, tersembunyi cerita tentang kerusakan lingkungan, pencemaran, dan intimidasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak mereka.

“Dalam catatan WALHI sepanjang periode pemerintahan Presiden Joko Widodo telah ada 827 kasus kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi yang dialami oleh rakyat dalam kasus-kasus terkait perjuangan lingkungan hidup. Sebagian besar dari kasus ini adalah pada wilayah-wilayah pertambangan,” kata keterangan resmi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), diakses Selasa, 11 Juni 2024.

WALHI menyoroti pemberian izin pertambangan sama artinya dengan ‘mengkhianati’ semangat pelestarian lingkungan hidup yang selama ini diperjuangkan oleh para tokoh agama di berbagai daerah. Para tokoh agama telah menyerukan agar alam dijaga dan dilestarikan, bukan dirusak demi kepentingan industri. Oleh karena itu, WALHI mengajak ormas-ormas dan masyarakat luas untuk bersatu dalam menolak PP 25 Tahun 2024.

“Kebijakan yang saat ini dijalankan oleh pemerintahan yang berkuasa telah mempercepat kerusakan lingkungan dan seringkali mengabaikan peri kehidupan rakyat dan malah membangkang amanat konstitusi dan perundang-undangan,” kata WALHI.

Jaringan GUSDURian, salah satu ormas keagamaan, turut menyuarakan penolakan terhadap PP 25 Tahun 2024. Salah satu poin keberatan mereka berfokus pada pertentangan PP ini dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, merupakan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Pasal 75 Ayat (2) dan (3) UU Minerba mengatur mengenai prioritas pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Jaringan GUSDURian berpandangan bahwa PP 25/2024, khususnya Pasal 83A, membuka peluang bagi organisasi kemasyarakatan (Ormas) untuk mendapatkan IUPK, bertentangan dengan prioritas yang diatur dalam UU Minerba.

Prioritas izin tambang untuk ormas keagamaan merupakan poin krusial yang perlu dikritisi dan direvisi. Diperlukan regulasi yang lebih kuat dan berkelanjutan untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam yang adil, transparan, dan akuntabel, serta mengedepankan kelestarian lingkungan dan kepentingan masyarakat.

“(GUSDURian) mengajak warga masyarakat untuk terus mengkritisi kebijakan pemerintah dan memastikan bahwa penyelenggaraan negara tetap sesuai dengan konstitusi dan diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat,” kata GUSDURian.

*Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Noviana Rahmadani, atau artikel-artikel tentang Pertambangan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//