• Opini
  • Membedah Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja di Area Pertambangan 

Membedah Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja di Area Pertambangan 

BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2019 terdapat 114 ribu kasus kecelakaan kerja, dan pada 2020 kasus tersebut terjadi peningkatan.

Gabrielle Tiffany Cristanti

Mahasiswa Teknik Industri Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Pekerja proyek pembangunan depo stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 7 April 2021. (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

15 Januari 2023


BandungBergerak.id - Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian atau fenomena yang tidak dikehendaki dan sering kali tidak terduga. Kecelakaan kerja juga dapat didefinisikan sebagai insiden atau kejadian di tempat kerja yang mengakibatkan orang cedera fisik. Di lain hal, tak hanya kecelakaan di tempat kerja saja yang masuk ke dalam kategori kecelakaan kerja, namun juga perjalanan dalam menuju tempat kerja.

Risiko kecelakaan kerja ini ada di pertambangan. Tingkat kecelakaan kerja pada area tambang memiliki resiko yang tinggi apalagi bekerja di lapangan dengan area terbuka, akan banyak sekali resiko yang didapat seperti cidera atau bahkan kematian. Berbagai penyebab utama kecelakaan kerja pada proyek pertambangan adalah hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik proyek yang bersifat unik, lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka, dan dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis, dan menuntut ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak cakap dan terlatih dalam bekerja di sektor pertambangan serta manajemen keselamatan kerja yang tidak terorganisir.

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia pengalaman kerja dari seorang tenaga kerja dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja. Penelitian berkaitan dengan pengalaman kerja terhadap 383 kasus kecelakaan kerja di Hongkong membuktikan bahwa kecelakaan kerja pada tangan akibat kena mesin terjadi pada tenaga kerja yang bekerja kurang dari 1 tahun (Helda, 2007).

Menurut Suma‘mur (1987) bahwa lama kerja mempunyai hubungan dengan kecelakaan kerja. Pengalaman untuk waspada terhadap kecelakaan kerja bertambah baik sesuai dengan pertambahan masa kerja dan lama bekerja di tempat kerja yang bersangkutan. Tenaga kerja baru biasanya belum mengetahui secara mendalam seluk beluk pekerjaan dan keselamatannya. Para pekerja seringkali lebih mementingkan pekerjaan yang diberikan kepada mereka daripada kesehatan dan keselamatannya, sehingga keselamatan dan kesehatan tidak cukup mendapatkan perhatian. Selain itu, banyak tenaga kerja baru yang belum mengetahui dengan jelas operasional cara kerja mesin dan keselamatannya.

Dilihat dari segi angka kasus kecelakaan kerja, berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2019 terdapat 114 ribu kasus kecelakaan kerja, dan pada 2020 kasus tersebut terjadi peningkatan. Pada rentang Januari hingga Oktober 2020, BPJS Ketenagakerjaan mencatat terdapat 177 ribu kasus kecelakaan kerja.[1]

Menurut data yang dimiliki oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia pada area pertambangan sendiri terdapat sekitar 93 kecelakaan yang terjadi di area pertambangan pada tahun 2021. Artinya, kecelakaan kerja merupakan suatu hal yang memuat urgensi yang harus segera diselesaikan yang mana mesti melibatkan seluruh stakeholder agar efektivitas implementasinya dapat optimal. Perlunya evaluasi berkala yang dilakukan oleh perusahaan tambang dalam meminimalkan dan menghindari terjadinya kecelakaan kerja.

Setiap perusahaan selayaknya menerapkan standar operasional baik dari peralatan yang digunakan, kondisi area pertambangan yang aman, dan kemampuan para pekerjanya. Dalam hal ini penting untuk diperhatikan karena kecelakaan kerja dapat menyebabkan kerugian materi dan juga mempengaruhi produktivitas pekerja atau bahkan kematian. Minimnya pengalaman kerja dapat berdampak pada keselamatan dalam bekerja. Dalam hal ini bukan hanya pengalaman yang diperlukan, namun juga pengetahuan yang luas.

Setidaknya kerja di pertambangan memerlukan pengetahuan tentang keamanan dan perlindungan kerja. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan, seperti luka, cidera, hingga kematian.

Dalam upaya mencegah terjadinya kecelakaan kerja di area pertambangan, perusahaan tambang wajib memberikan sosialisasi mengenai standar operasional di area pertambangan bagi para pekerja. Bahwa pengetahuan kesehatan dan keselamatan di lingkungan kerja adalah sesuatu yang fundamental dan penting, juga memastikan para pekerja memiliki perlengkapan dan peralatan pendukung keselamatan bekerja di area pertambangan. Ketidakpahaman seorang karyawan tambang akan pekerjaan yang ditekuni membuat maraknya kecelakaan kerja. Perusahaan tambang selayaknya memiliki standar operasional baku untuk menghindari terjadinya kecelakaan kerja di mana sering kali terjadi kecelakaan yang mengakibatkan luka hingga kematian.

Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap wawasan dan pengetahuan seorang pekerja tambang. Hal tersebut sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan kesadaran akan arti pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja. Berdasarkan analisis data yang dilakukan oleh Depkes RI, diperoleh hasil bahwa tingkat pendidikan responden tidak berhubungan dengan kecelakaan kerja. Hal ini tidak sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa pendidikan seorang tenaga kerja mempengaruhi cara berpikirnya dalam menghadapi pekerjaannya, termasuk cara pencegahan kecelakaan maupun menghindari kecelakaan saat ia melakukan pekerjaannya (Helda, 2007). Hal ini dapat disebabkan oleh adanya faktor lain yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja, seperti tingkat pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja serta sikap tenaga kerja itu sendiri dalam melakukan pekerjaannya.

Baca Juga: Djuanda Kartawidjaja, Perdana Menteri Terakhir dan Terlama dalam Sejarah PENULIS FARLY MOCHAMAD 14 JANUARI 2023
Sayap-sayap yang Terjerat
Rekayasa Lalu Lintas ke Masjid Al Jabbar Dinilai tidak Efektif, Transportasi Publik dan Pelebaran Jalan Solusinya

Dampak dari Minimnya Pengalaman dan Pengetahuan Pekerja Tambang

Tidak cakapnya atau ketidakmampuan seorang pekerja dalam bertindak, sering kali mengakibatkan kesalahan-kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh manusia. Kesalahan-kesalahan ini berhubungan dengan keahlian dan kebiasaan kerja (skill – based error), kesalahan dalam memenuhi standar dan prosedur yang berlaku (rull based error), kesalahan dalam mengambil keputusan karena kurang pengetahuan (knowledge based error), pelanggaran sebagai salah satu bentuk kesalahan yang sering dilakukan (violation).

Dalam hal ini, perilaku tenaga kerja sebenarnya dapat dikendalikan dengan pendekatan secara kaku atau secara eksternal dan pendekatan secara fleksibel atau secara internal. Pendekatan secara kaku atau secara eksternal dilakukan  dengan membentuk peraturan dan prosedur keselamatan kerja yang baik dan benar, mudah dimengerti dan diterapkan oleh semua pekerja. Sedangkan pendekatan secara fleksibel atau secara internal yang terbentuk dari pengetahuan dan prinsip-prinsip yang diperoleh dari pelatihan dan pengalaman.

Minimnya pengalaman, keterampilan, dan pengetahuan merupakan faktor utama yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja. Terlebih, egoisme pekerja muda yang enggan bertanya agar tidak dianggap bodoh, menjadi permulaan kelalaian keselamatan kerja. Sehingga saat bahaya mulai muncul, mereka tidak bisa mengidentifikasi dan mengendalikannya. Fenomena ini merupakan gambaran nyata dari peribahasamalu bertanya, sesat di jalan”. Sekalipun bertanya adalah hal yang wajib, namun hal ini juga bukan alasan bagi safety supervisor untuk tidak memberikan bimbingan. Sebab setiap sebelum bekerja, safety supervisor yang tetap harus memastikan cukupnya pengetahuan dan ketaatan para pekerja terhadap aturan keselamatan yang telah ditetapkan.

Berbagai metode dapat dilakukan untuk memastikan keselamatan kerja. Hal paling umum adalah safety briefing setiap awal bekerja dan patroli di setiap titik rawan kecelakaan. Tak kalah penting juga, pengetatan aturan dan sanksi sangat dibutuhkan guna membangun iklim keselamatan kerja yang baik. Jika demikian, tidak akan ada lagi pekerja yang akan meremehkan keselamatan kerja di suatu proyek, sekalipun merupakan hal yang sangat remeh.

Terlepas dari kewajiban tenaga kerja seperti yang diulas di atas, memastikan keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya merupakan kewajiban perusahaan. Pemberian pelatihan K3, keberadaan ahli K3 bersertifikasi, penjaminan alat kerja yang aman, sistem penjaminan K3, hingga faktor lingkungan seperti pencahayaan dan sirkulasi udara yang cukup wajib difasilitasi oleh setiap perusahaan.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja adalah hak mendasar bagi setiap pekerja. Di samping itu, secara ekonomis perusahaan juga dapat terhindar dari kerugian akibat kecelakaan kerja. Oleh karenanya, aturan dan hukum mengenai K3 di Indonesia saat ini telah diatur sedemikian rupa agar dapat dilaksanakan dan ditaati sebaik-baiknya. Begitu juga halnya pekerjaan di bidang pertambangan yang wajib memperhatikan K3 agar kecelakaan kerja yang marak terjadi di proyek pertambangan dapat diminimalkan. Dengan demikian, efektivitas dan optimalisasi kinerja dapat tercapai.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//