Djuanda Kartawidjaja, Perdana Menteri Terakhir dan Terlama dalam Sejarah
Nama Djuanda Kartawidjaja diabadikan di banyak tempat, mulai nama jalan, nama bandara, stasiun kereta api, hingga hutan raya. Ia lahir di Tasikmalaya, kuliah di ITB.
Farly Mochamad
Menempuh pendidikan di Universitas Komputer Indonesia. Tertarik pada isu-isu teknologi, jurnalistik, perfilman, olahraga, dan sejarah.
14 Januari 2023
BandungBergerak.id - Djuanda Kartawidjaja lahir pada tanggal 14 Januari 1911, tepat hari ini 112 tahun lalu, di Tasikmalaya dari keluarga menak yang cukup terpandang. Ayahnya adalah Raden Kartawidjaja, seorang Mantri Guru di Hollandsch Inlansdsch School (HIS) yang masih berdarah bangsawan dari garis keturunan Kesultanan Cirebon, dan ibunya adalah Nyi Momot, seorang ibu rumah tangga. Djuanda merupakan anak pertama dari enam bersaudara.
Djuanda mengenyam pendidikan di tempat yang cukup bergengsi pada masanya. Ia bersekolah di Hollandsch Inlansdsch School di Kuningan. Namun ketika Djuanda mengikuti orang tuanya yang diangkat menjadi Mantri Guru di Cicalengka, ia dipindahkan ke Europese Lagene School (ELS) di Cicalengka.
Setelah menamatkan pendidikannya di ELS, Djuanda melanjutkan sekolahnya di Hoogere Burgerschool (HBS) Bandung lulus dengan schitterend geslaagd (nilai sangat baik). Atas prestasinya tersebut, Djuanda mendapat beasiswa dari Pemerintah Hindia Belanda untuk melanjutkan sekolahnya di Technische Hogeschool te Bandoeng (TH) sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada tahun 1933, Djuanda disebut telah menyelesaikan pendidikannya dengan gelar insinyur.
Setelah lulus dari TH Bandung, Djuanda menikah dengan Julia Virzsia, gadis berlatar belakang Belanda yang berprofesi sebagai guru TK. Ibunya masih keturunan Belanda, sedangkan ayahnya adalah Raden Wargadibrata yang seperti ayah Djuanda sendiri juga seorang mantri guru. Dari pernikahannya dengan Julia, Djuanda dikaruniai lima orang anak, empat di antaranya perempuan.
Djuanda mencoba peruntungan dengan mencari pekerjaan di sebuah instansi pemerintahan di Batavia. Kedatangannya di Batavia justru mengantarkan Djuanda untuk bertemu dengan Oto Iskandar Di Nata yang saat itu menjabat sebagai Ketua Paguyuban Pasundan. Dari pertemuaan itu, Djuanda kemudian menjabat sebagai pimpinan Muhamadiyah dan Sekretaris I Paguyuban Pasundan. Setelah beberapa tahun aktif, ia meninggalkan jabatannya di Muhamadiyah dan Paguyuban Pasundan. Hal itu dikarenakan Djuanda diangkat sebagai pegawai di Provinciale Waterstaat (Jawatan Pengairan Provinsi), Deapartemen Verkeer en Waterstaat (Dinas Pekerjaan Umum) di wilayah Jawa Barat.
Pada tanggal 28 September 1945, Djuanda membuat pemuda mengambil alih kantor kereta api dari Jepang, disusul dengan perebutan kantor tambang dan tempat-tempat penting lainnya di kawasan Gudang Utara Bandung. Atas perannya itu, Pemerintah Republik Indonesia mengangkat Djuanda sebagai Direktur Pelayanan Perkeretaapian wilayah Jawa dan Madura yang berkedudukan di Yogyakarta. Ini adalah tugas yang sulit karena keadaan perkeretaapian sudah kacau sejak zaman Jepang. Jaringan kereta api tidak terawat, gerbong, lokomotif, stasiun, dan rel rusak. Jepang menjarah sebagian besar dan menggunakannya untuk membangun jaringan kereta api ke negara lain sebagai bagian dari Perang Dunia II. Jaringan kereta api yang dibangun militer Jepang di Thailand dan Myanmar ternyata menggunakan bantalan kayu dan rel baja dari pulau Jawa.
Presiden Sukarno berfoto bersama Kabinet Natsir. FOTO/commons.wikimedia.org
Pada bulan Maret 1946, Djuanda diangkat menjadi Menteri Perhubungan dan Kepala Badan Perkeretaapian pada Kabinet Sutan Sjahrir II (Maret 1946-Juni 1946) dan Menteri Perhubungan pada Kabinet Sjahrir III (Oktober 1946-Juni 1947), hingga Kabinet Amir Sjarifuddin I (Juni 1947-November 1947), serta Kabinet Amir Sjarifuddin II (1947-1948).
Djuanda kembali dipercaya sebagai Menteri Perhubungan dan Menteri Pekerjaan Umum sementara pada Kabinet Muhammad Hatta I (1948-1949), Menteri Negara pada Kabinet Muhammad Hatta II (1949) dan juga Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat yang dipimpin oleh Perdana Menteri Muhammad Hatta (1950).
Pada era demokrasi parlementer 1950-1959, Djuanda diangkat kembali menjadi Menteri Perhubungan pada kabinet Muhammad Natsir (1950-1951), pada kabinet Sukiman Wirjosandjojo (1951-1952) dan pada kabinet Wilopo (1952-1953). Ia kemudian diangkat menjadi Menteri Negara Perencanaan dalam kabinet Ali Sastroamijojo II (1956-1957).
Latar belakangnya sebagai teknokrat menjadi pertimbangan Presiden Soekarno untuk mempercayakan Djuanda sebagai Perdana Menteri (PM) untuk memimpin Kabinet Karya. Pemerintahan itu dilantik pada April 1957 di tengah keadaan darurat yang diumumkan Presiden Soekarno. Situasi republik saat itu kritis karena Muhammad Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956, terjadi pemberontakan di berbagai daerah terhadap berbagai kebijakan politik dan ekonomi pemerintah pusat dan perilaku politik partai-partai yang dianggap Presiden Soekarno sebagai "sumber penyakit".
Presiden Soekarno menetapkan program Panca Karya pada Kabinet Karya. Lima tujuan yang ditujukan untuk memajukan rakyat dan negara adalah, pertama, pembentukan Dewan Nasional; kedua, normalisasi negara republik; ketiga, terus membatalkan Konferensi Meja Bundar; keempat, Pertempuran Irian Barat; dan kelima, percepatan pembangunan.
Pemerintahan Kabinet Karya tidak bertahan lama, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959. Setelah berakhirnya pemerintahan Kabinet Karya, Presiden Soekarno mengambil alih jabatan PM Kabinet Kerja I (1959-1960) dan mengangkat Djuanda sebagai “Wakil" di pemerintahannya dengan menduduki posisi Menteri Pertama (hanya istilah lain untuk perdana menteri yang resminya dirangkap oleh Presiden Soekarno) merangkap menteri keuangan. Apabila Presiden Sukarno bepergian ke luar negeri, maka Djuanda menjadi pejabat Presiden RI. Djuanda tetap menjadi Menteri pertama pada Kabinet Kerja II (1960-1962) dan Kabinet Kerja III (1962-1963).
Deklarasi Djuanda
Salah satu sumbangsih terbesar Djuanda selama menjabat sebagai perdana menteri adalah Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi ini secara geopolitik dan geoekonomi sangat penting karena secara resmi memproklamirkan kepada dunia bahwa wilayah laut Indonesia bukan lagi seperti diatur dalam Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim pada 1939, tetapi mencakup juga laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.
Sebagian besar masyarakat dunia, termasuk Amerika Serikat dan Australia, tidak serta merta menerima Deklarasi Djuanda. Berkat perjuangan diplomasi yang gigih dari pemerintah, Deklarasi Djuanda yang memuat konsep Indonesia sebagai “negara kepulauan” akhirnya diterima oleh masyarakat dunia berdasarkan yang ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention On Law of the Sea) ke-III pada 1982.
Isi dari Deklarasi Juanda ini menyatakan:
- Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri;
- Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan;
- Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi.
Baca Juga: Pemanfaatan Bambu sebagai Bahan Bangunan Berkualitas
Tantangan Pembelajaran Jarak Jauh Menggunakan Alat Digital
Inovasi Bahan Bangunan Ramah Lingkungan dari Jamur
Dengan deklarasi tersebut, maka luas laut Indonesia menjadi sangat luas, yakni 5,8 juta kilometer persegi, yaitu tiga perempat dari luas seluruh negara. Ini mencakup lebih dari 17.500 pulau dan dikelilingi oleh garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Perlu juga diingat bahwa Deklarasi Djuanda juga merupakan salah satu dari tiga pilar utama membangun “persatuan dan kesatuan” negara dan bangsa Indonesia. Dua pilar lainnya adalah “kesatuan kejiwaan persatuan” yang dirumuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan “Persatuan Nasional” yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Meskipun Indonesia adalah negara kepulauan, Konvensi Hukum Laut PBB mewajibkan Indonesia membuka sebagian wilayah maritimnya (high seas) untuk dilalui kapal-kapal internasional. Sekitar 40 persen pelayaran dunia saat ini melewati empat selat jalur ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Timor.
Ir. H. Raden Djuanda Kartawidjaja. FOTO/Arsip Nasional Republik Indonesia.
Pada 7 November 1963, Ir. H. Raden Djuanda Kartawidjaja mengalami serangan jantung mendadak yang fatal saat menghadiri acara resmi di Hotel Indonesia. Dia meninggal sebagai pemimpin nasional yang relatif muda, baru 52 tahun. Djuanda dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta dalam upacara akbar yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Presiden Soekarno yang merasa sangat kehilangan, hanya beberapa hari kemudian menganugerahinya gelar pahlawan nasional.
Atas jasa Djuanda terhadap negara yang begitu besar, namanya abadikan sebagai nama Bandar Udara di Surabaya, Jawa Timur, yaitu Bandar Udara Internasional Juanda. Penamaan ini terkait jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut sehingga dapat terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda. Dan namanya pun juga diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta yaitu JL. Ir. Juanda di bilangan Jakarta Pusat, dan nama salah satu Stasiun Kereta Api di Indonesia, yaitu Stasiun Juanda, dan diabadikan menjadi nama unversitas, Universitas Djuanda.
Pada 19 Desember 2016, Pemerintah Republik Indonesia melalui Gubernur Bank Indonesia memberikan penghargaan kepada Djuanda dengan mengabadikan dirinya sebagai tokoh baru yang menghiasi uang pecahan 50.000 rupiah. Dan ketika peresmiannya, putri busungnya, Nurwati Djuanda, mewakili keluarga menerima penghargaan ayahnya tersebut.
Djuanda adalah orang yang luar biasa, seorang prajurit dengan 1.000 jabatan. Djuanda adalah seorang pemimpin yang menggerakkan pemuda untuk mengambil alih perkeretaapian dari otoritas pendudukan Jepang. Ia juga seorang pendidik, perdana menteri terakhir dan terlama dalam sejarah, seorang yang jujur ??dan sederhana, tepat waktu dan disiplin, pekerja keras yang tak kenal waktu hingga wafatnya pun sedang dalam tugas negara, menguasai berbagai bahasa (Inggris, Prancis, Belanda, dan Jerman), jenderal tituler, tak tersangkut skandal dan sekedar gosip-gosip miring, perencana dan manajer yang andal, superteknokrat, piawai mengemban tugas-tugas berat dan berhasil menyelesaikannya tanpa pernah membanggakan diri, juru damai dan bukan sosok yang suka mengadu-domba, piawai berdansa, selalu ramah dan hangat menghadapi wartawan, dan banyak lagi.