Sistem Cewers sebagai Resolusi Konflik Pertambangan sebagai Upaya Pencegahan The Sixth Estinction pada Spesies di Papua
Risiko yang dapat terjadi dari konflik dan perusakan lingkungan oleh tambang adalah The Sixth Extinction. Risiko kepunahan masal yang disebabkan aktivitas manusia.
Farrel Mukti Attallah
Mahasiswa Manajemen Universitas Indonesia
21 Desember 2023
BandungBergerak.id – Indonesia mengalami pada dasarnya telah mengalami sejarah Panjang konflik sejak zaman dahulu. Seperti contohnya adalah adanya potensi konflik internal laten antara kelompok negarawan sipil dengan kelompok pejuang, keragaman etnik, serta mayoritas kelompok Islam yang sejak awal merdeka. Potensi laten konflik ini pada akhirnya memuncak seiring perkembangan zaman.
Contoh konflik pertama adalah konflik pada 1949 di mana Kartosuwiryo hendak mendirikan Darul Islam/ TII. Contoh kedua Gerakan kedaerahan yang hendak memecah Indonesia adalah didirikannya Republik Maluku Selatan pada tahun 1950. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa Indonesia mengalami suatu tragedi besar yang menumpahkan darah yaitu tragedi G30SPKI. Sejak saat itu maka penyelesaian konflik di tangan Presiden Soeharto cenderung dilakukan dengan kekerasan (Malik, 2017).
Menurut penulis pribadi, kekerasan bukanlah suatu solusi yang dapat menyelesaikan masalah secara long term dan sustainable. Diperlukan adanya sebuah sistem yang dapat mendeteksi konflik secara dini sehingga konflik dapat dicegah. Selain itu kita juga memerlukan penanaman karakter akan toleransi guna menghadapi konflik yang terjadi di Indonesia.
Baca Juga: Merangkul Perdamaian Berkelanjutan Melalui Kearifan Lokal
Kerangka Bahasa dan Worldview: Sebab-sebab Terjadinya Konflik dan Perdamaian
Animal Symbolicum dan Hermeneutika Pancasila: Dialektika Panjang Menuju Perdamaian
Berbagai Macam Konflik di Papua
Papua sebagai bagian dari Indonesia, adalah daerah yang paling sering mengalami konflik. Contoh pertama adalah konflik Papua dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang ditandai dengan perlawanan Raja Kokas, Gerakan Reni, Gerakan Konor, dan Gerakan Warbesren. Konflik kedua adalah adanya konflik perebutan wilaya Irian Barat antara Indonesia dengan Belanda setelah Konferensi Meja Bundar. Konflik ketiga adalah konflik diantara elite Papua terkait status dan masa depan Papua. Keempat adalah adalah konflik era terkini/ reformasi yang berupa konflik antara OPM dan TNI/ Polri. Kelima adalah konflik pertambangan di Papua.
Dalam tulisan ini, penulis akan berfokus kepada konflik pertambangan yang ada di Papua. Konflik Pertambangan di Papua dipilih dikarenakan memiliki dua dampak serius jika tidak ditangani. Dampak pertama adalah keretakan hubungan masyarakat Papua dengan pemerintah. Dampak kedua adalah terjadinya kerusakan lingkungan yang mengarah kepada the sixth extinction.
Kemudian, setidaknya ada empat akar masalah dari konflik yang terjadi di Papua. Pertama adalah adanya Papuanisasi. Papuanisasi dapat diartikan sebagai upaya untuk mengembalikan kemerdekaan kepada orang Papua sendiri. Hal ini disebabkan oleh perlakuan memaksa dari orang Melayu atau orang Belanda. Kedua adalah dikarenakan adanya sengketa sejarah integrasi Papua. Ketiga adalah dikarenakan kesenjangan pembangunan kesejahteraan. Keempat adalah dikarenakan marginalisasi dan diskriminasi orang Papua (Pekey, 2018).
Adanya berbagai konflik yang terjadi di Papua menjadikan esai ini ditulis dengan tujuan memberikan gagasan solusi atas permasalahan yang ada sehingga nantinya dapat menjaga persatuan Indonesia serta mencegah terjadinya the sixth extinction dalam skala tatanan global.
Kondisi Pencetus Gagasan
Pada dasarnya ada dua masalah yang penulis ingin angkat pada esai kali ini. Pertama adalah konflik antara masyarakat, pemerintah, dan pengusaha. Masalah kedua adalah isu kerusakan lingkungan. Kedua isu inilah yang mencetuskan gagasan penulis untuk merekonstruksi strategi untuk mengatasi kedua permasalahan tersebut.
Pertama adalah terkait konflik. Konflik pertambangan yang ada di Papua sendiri merupakan sebuah hal yang memiliki sejarah Panjang. Konflik pertambangan terjadi di beberapa daerah seperti Freeport Mimika, Degeuwo Papniai, Nabire, Jayapura, dan seterusnya. Salah satu noda besar di dalam dunia pertambangan adalah penambangan di Degeuwo. Ada beberapa pelanggaran yang terjadi dari investigasi yang dilakukan oleh Dewan Adat Daerah Paniai tahun 2005. Di antaranya adalah pendulangan emas ilegal, perusakan lingkungan hidup, dan perusakan moral dan pembangunan. Berbagai pelanggaran ini tentu membuat masyarakat sekitar resah. Keluhan dilontarkan masyarakat ke beberapa Lembaga negara legislatif maupun eksekutif.
Tentu masyarakat memohon agar penambangan liar dihentikan. Namun sayangnya, kekerasan dan intimidasi justru dirasakan oleh masyarakat dari tentara dan aparat keamanan di areal pendulangan di Degeuwo Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai. Hal ini bahkan terjadi hingga memakan korban jiwa. Isu ini tentu hanya salah satu contoh isu di antara banyaknya isu seperti konflik PT Freeport dan konflik kewenangan tambang Nikel di Kabupaten Raja Ampat. Ini tentu isu yang serius dan berpotensi memecah belah bangsa.
Kedua adalah masalah lingkungan. Salah satu contoh kerusakan lingkungan dari pertambangan di Papua adalah Ketika Freeport membuang tailing dengan kategori limbah B3 melalui sungai Ajkwa. Menurut hasil audit lingkungan yang dilakukan parametrix, terungkap bahwa tailing yang dibuang oleh Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan asam berbahaya bagi kehidupan akuatik. Bahkan sejumlah spesies akuatik sungai Ajkwa telah punah. Inilah yang disebut dengan the sixth extinction yang akan dilanjutkan di chapter selanjutnya. Selain itu, menurut data dari Greenomics, dana yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan yang rusak adalah 67 Triliun Rupiah (Kum, 2015). Lalu strategi apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana meresolusi konflik sekaligus mencegah the sixth extinction? Sebelum masuk ke resolusi penulis perlu menelisik lebih jauh teori-teori yang relevan untuk kasus ini
Perdamaian, Konflik, serta Terorisme
Perdamaian pada dasarnya memiliki beberapa definisi. Berdasarkan definisi dari Webster's Third New International Dictionary, perdamaian didefinisikan secara negatif dan positif. Secara negatif perdamaian didefinisikan sebagai kebebasan dari keributan dan kekacauan sipil. Secara positif, perdamaian dapat diartikan sebagai keadaan masyarakat yang tenang. Dalam perkembangannya, Webster's kemudian mendefinisikan perdamaian sebagai keadaan aman atau ketertiban dalam masyarakat yang diatur oleh hukum, adat, atau opini publik (Galtung & Webel, 2022). Sedangkan konflik berasal dari bahasa latin configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lainnya (Kum, 2015).
Sebagai suatu proses sosial, konflik menjadi gejala yang selalu hadir. Ini berarti bahwa keberadaan manusia selalu disertai dengan kemungkinan konflik (Santoso, 2019). Perdamaian dan konflik menjadi isu yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Hal ini dikarenakan proses resolusi konflik memerlukan waktu. Menurut Johan Galtung dalam bukunya yang berjudul "Handbook Studi Perdamaian dan Konflik", konflik bukanlah antitesis dari perdamaian. Antitesis dari perdamaian adalah Terorisme, yaitu kekerasan yang digunakan untuk kekerasan itu sendiri (Galtung & Webel, 2022). Dengan pemahaman yang tepat, maka kita dapat merekonstruksi resolusi konflik dengan tepat
Konflik dalam Pandangan Sosiologi
Berbagai konflik yang ada di Papua dan Indonesia dapat dijelaskan melalui teori sosiologi konflik. menurut sosiologi, konflik bermakna “the overt struggle between inthviduals or groups within a society, or between nation states" yakni pertentangan terbuka antara individu atau kelompok di dalam masyarakat secara umum. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas konsep konflik dalam perspektif sosiologi mazhab positivis. Salah satu tokoh yang memelopori sosiologi konflik struktural adalah Lewis Coser. Lewis Coser menjelaskan bahwa konflik tidak hanya membawa keburukan, namun konflik memiliki fungsi positif dalam masyarakat melalui perubahan-perubahan positif yang diakibatkannya. Sejarah membuktikan. bahwa banyak peristiwa penyatuan yang sebenarnya dipengaruhi oleh faktor positif konflik (Susan, 2009).
Dapat disimpulkan, bahwa secara sosiologis pada akhirnya konflik adalah suatu mekanisme perubahan sosial yang memberi peran dengan sangat baik. Perspektif ini adalah fundamental, karena konflik tidak bisa kita lihat secara kasat mata sebagai sesuatu yang buruk, namun dapat dimaknai secara ganda melalui perspektif dua mata koin. Sebagai pengambil kebijakan, pemerintah juga harus cermat dalam mengamati bentuk konflik. Bentuk konflik yang harus dihindari adalah konflik yang memasuki ranah koersif. Gambar 1 Menunjukkan tingkat Tindakan Koersif.
Filsafat Perdamaian dan Genealogi Kekerasan
Perdamaian bisa dibilang bukan hanya tentang sikap politik belaka. Namun dapat diartikan sebagai sikap intelektual. Jika kita melihat ke dalam tradisi keilmuan, terlihat nilai penting yang dapat dipakai dalam proses perjalanan mewujudkan perdamaian. Filsafat sebagai mater scientiarum "ibu segala ilmu" dipilih seorang filsuf bernama Eric Weil untuk melakukan refleksi intelektual terkait perdamaian. Eric Weil memiliki pendapat bahwa filsafat memiliki peran besar yang dapat memutus rantai kekerasan dan menciptakan tatanan masyarakat yang lebih damai (Taufiq, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa Papua sebagai daerah konflik dapat melakukan revolusi intelektualitas dan mengaplikasikan filsafat sehingga logical fallacy dan kekerasan dapat diminimalisir. Selanjutnya Genealogi pada dasarnya adalah sebuah narasi sejarah yang menjelaskan aspek kehidupan manusia dengan menunjukkan asal muasal dari sesuatu. Kekerasan yang merupakan buah dari konflik tidak semerta-merta ada. Menurut Eric Well, filsuf asal Jerman, ia menjelaskan bahwa pada dasarnya seorang manusia Ketika dilahirkan membawa dua kodrat yaitu kodrat rasional dan irasional. Lahirnya kekerasan disebabkan karena adanya dorongan irasional yang tidak bisa dikendalikan (Wuli, 2020). Gambar 2 berikut menunjukkan bagaimana tahapan genealogi kekerasan.
Bahaya Competitive Victimhood bagi Perdamaian Bangsa
Sebuah konsep bernama Competitive Victimhood dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana psikologis masyarakat berdampak pada perpecahan skala daerah maupun nasional. Competitive Victimhood yaitu kecenderungan untuk melihat kelompok sendiri sebagai kelompok yang relatif menderita dibandingkan dengan kelompok luar (Young & Sullivan, 2016), hal ini bisa berbahaya bagi perdamaian suatu bangsa.
Competitive Victimhood pada dasarnya adalah sebuah pemahaman yang keliru dan membuat suatu kelompok bersaing pada suatu hal yang bisa dibilang semu. Sebagai contoh adalah seorang pemerintah daerah yang berpikir bahwa mereka kinilah saatnya mendapatkan uang daerah karena sebelumnya uang hanya dinikmati pemerintah pusat. Pemahaman ini tidak hanya menimbulkan gesekan antargolongan, namun juga melahirkan budaya korupsi. Penelitian membuktikan, bahwa dengan berkurangnya Competitive Victimhood, maka rasa percaya antar satu kelompok dengan kelompok lainnya akan timbul (Noor et al, 2008 dalam Malik, 2017). Dalam konteks ini, maka pemerintah perlu mewaspadai terjadinya competitive victimhood pada masyarakat Papua.
Strategi Resolusi Konflik Pertambangan Papua
Strategi yang hendak penulis bawa untuk mengatasi isu konflik pertambangan papua adalah metode sistem peringatan dini konflik. Sistem peringatan dini konflik pada awalnya adalah dibuat tahun 1970-an pada perang dingin (cold war). Metode sistem peringatan dini konflik seiring berjalannya waktu disebut sebagai Confict Early Warning and Early Respon System (CEWERS).
Pada dasarnya ada beberapa tujuan dari CEWERS. Pertama adalah mengidentifikasi berbagai indikator konflik yang menonjol. Kedua adalah menilai skenario konflik. Ketiga adalah mengidentifikasi strategi perdamaian. Keempat adalah menganalisis situasi. Kelima adalah membuat pilihan tanggapan (Suyono, 2017). Sistem pencegahan dipilih karena pada dasarnya pencegahan kuratif kurang efektif bagi konflik lingkungan (Suyono, 2021). Berikut adalah gagasan penulis terkait sistem peringatan dini konflik Pertambangan Papua. Skema ini adalah modifikasi yang penulis lakukan dari gagasan yang telah dibuat oleh Suyono sebelumnya (Suyono, 2017).
Dengan delapan Langkah di atas maka harapannya kita dapat membuat rekomendasi kebijakan yang nantinya akan disampaikan kepada pemerintah pusat dan daerah. Harapannya dengan gagasan ini maka konflik serta kepunahan spesies dapat diatasi sekaligus. Selanjutnya framework resolusi dari sistem peringatan dini dapat dilihat pada Gambar 4 di mana strategi menjadi output luaran.
Risiko jika Konflik Pertambangan Papua Tidak Diselesaikan
Risiko yang dapat terjadi dari konflik dan perusakan lingkungan oleh tambang adalah The Sixth Extinction. The Sixth Extinction atau Kepunahan Keenam merujuk pada fenomena penurunan drastis dalam keragaman hayati di Bumi, yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Kepunahan keenam ini dibandingkan dengan lima peristiwa kepunahan massal sebelumnya dalam sejarah geologis Bumi. Kepunahan-kepunahan sebelumnya terjadi secara alami, seperti akibat perubahan iklim besar, tumbukan asteroid, atau aktivitas. vulkanik yang ekstrem. Namun, kepunahan keenam ini dianggap sebagai satu-satunya kepunahan massal yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Faktor-faktor utama yang menyebabkan kepunahan keenam melibatkan salah satunya adalah pertambangan (Kolbert, 2014). Konflik dan perusakan lingkungan yang terjadi di Papua tentu sangat berisiko bagi kepunahan spesies. Hal ini telah terbukti dari punahnya beberapa spesies di sungai Ajkwa Papua. Sudah menjadi tanggung jawab kita untuk melindungi kedamaian bangsa sekaligus spesies alam Papua.
Penutup
Dalam menghadapi kompleksitas konflik pertambangan di Papua, diperlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Gagasan untuk menerapkan metode sistem peringatan dini konflik (CEWERS) sebagai strategi resolusi memberikan landasan yang kuat untuk mendeteksi potensi konflik secara dini, menganalisis situasi, dan merumuskan respons yang tepat. Pentingnya menciptakan perdamaian berbasis pemahaman dan penanganan konflik dengan pendekatan yang lebih baik menjadi kunci untuk mencegah terjadinya the sixth extinction. Selain itu, upaya penanaman karakter toleransi dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan juga memegang peranan penting dalam menjaga keberlanjutan dan persatuan bangsa. Kesadaran akan risiko yang mungkin terjadi jika konflik pertambangan di Papua tidak diselesaikan, seperti the sixth extinction, harus menjadi panggilan untuk tindakan bersama dalam mencapai perdamaian dan pelestarian lingkungan di Papua.
* Esai ini memiliki judul asli "Sistem Cewers sebagai Resolusi Konflik Pertambangan Papua dalam Sudut Pandang Berbagai Teori Perdamaian sebagai Upaya Pencegahan The Sixth Estinction pada Spesies di Papua" merupakan salah satu pemenang kategori Good pada Lomba Esai Nasional 2023 dengan tema "Peace For Indonesia, Peace For All! yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.