• Opini
  • Kerangka Bahasa dan Worldview: Sebab-sebab Terjadinya Konflik dan Perdamaian

Kerangka Bahasa dan Worldview: Sebab-sebab Terjadinya Konflik dan Perdamaian

Permainan bahasa dan kerangka berpikir atau "worldview" sebagai pandangan secara besar dan keseluruhan ternyata mampu menjadi suatu elemen penyebab konflik.

Benediktus Hasiholan Gultom

Mahasiswa Filsafat Budaya Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Warga berkumpul untuk berdoa dan menunjukkan pembelaan bagi perdamaian dalam Aksi 1.000 Lilin di depan Gedung Sate Bandung Kota Bandung, Sabtu (13/5/2017) selepas magrib. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

19 Desember 2023


BandungBergerak.id – Secara historis, keberlangsungan hidup manusia tampaknya selalu dihiasi dengan berbagai macam persoalan. Hal ini terlihat dari setiap fase-fase zaman seperti memiliki keresahan yang berbeda-beda, seakan-akan setiap zaman adalah hal yang mengotak-ngotakkan permasalahan itu berdasarkan periodenya masing-masing. Di satu sisi, zaman yang sudah lampau ini kemudian identik dengan sejarah. Zaman bergulir, sehingga mampu menjadikan suatu sejarah ini menjadi semacam statistika inferensial, di mana sejarah kemudian menjadi suatu data sebagai media menilik zaman lampau.

Kerap kali situasi permasalahan yang ada sebetulnya seperti roda yang berputar, di mana permasalahan adalah suatu hal yang selalu berulang-ulang namun selalu terbungkus dengan fenomena yang berbeda. Semisalnya bagaimana suatu kebudayaan selalu menjadi subjek perbincangan, beberapa pemikir selalu berusaha merefleksikan setiap fenomena yang ada dengan sekaligus menawarkan gagasannya.

Para antropolog misalnya, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. perbincangan mengenai tantangan kebudayaan terhadap revolusi industri dan perkembangan IPTEK menjadi wacana yang lumayan diminati (Sugiharto, 2023) sehingga tidak terelakkan pula mengundang problematik pro dan kontra. Hal ini setidaknya seperti semacam konflik dalam dunia akademisi sebagai bentuk adu argumentasi.

Setidaknya, bukan hanya pada konteks beradu argumentasi, namun tidak terelakkan juga apabila semacam gagasan pada akhirnya mampu mempengaruhi suatu pola pikir manusia dalam lingkup yang luas dan tentunya berdampak secara sosial. Seperti Lewis Henry Morgan (1818-1881) dalam membuat klasifikasi tingkat-tingkat evolusi peradaban, Edward Burnett Tylor (1832-1917) seorang antropolog dari Oxford yang memberi pengertian lebih eksplisit tentang kebudayaan dalam perspektif evolusionis, kemudian pada abad awal ke-20 Franz Boas melihat kebudayaan secara pluralistik dan non-evaluatif/non-normatif. Selanjutnya, pengertian, istilah, dan gagasan-gagasan lainnya juga dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti Gehlen. Kluckhohn, Kroeber, Bennet, Herskovitz, Mead, Levi-Strauss, Geertz, James Clifford, sampai Raymond Williams (Sugiharto, 2023).

Beralih dari spektrum konflik antara kebudayaan dan peradaban, pada spektrum yang lain, semacam ideologi juga merupakan suatu hal yang lahir atas pertentangan atau sebagai bentuk intervensi. Boleh dikatakan bahwa terdapat beberapa ideologi yang lahir seperti semacam gugatan terhadap suatu penindasan.

Seperti pada fase era revolusi industri yang selalu identik dengan ide-ide tentang "kelompok dan kelas". Adanya suatu kelas yang dianggap berkuasa dan superior pada masa era revolusi industri memunculkan isu penindasan terhadap kaum yang lemah sehingga menyebabkan suatu pertentangan yang akhirnya menyulut konflik antara kelas proletar dengan kelas borjuis. Sederhananya, kaum proletar adalah kaum miskin, sedangkan kaum borjuis adalah para pemilik modal atau orang-orang kaya. Pada konflik ini, kebebasan berekspresi pada era revolusi industri merupakan suatu anggapan atau interpretasi yang salah dalam memaknai kebebasan individu. Ide tentang kebebasan awalnya sangat identik dengan ideologi liberalisme yang digagas oleh beberapa filsuf besar seperti John Locke dan Hegel. Akan tetapi, bentuk intervensi dan kritik yang kuat pada masa itu mampu menumbangkan ideologi liberalisme dan beralih memasuki fase era ideologi sosialisme.

Sosialisme sendiri merupakan suatu ideologi yang mengkritik dan menentang ide liberalisme. Ide sosialisme pertama kali diperkenalkan oleh salah satu filsuf besar yang sangat berdampak pada masa itu, yaitu Karl Marx. Maka tidak heran apabila Karl Marx kemudian dijuluki bapak sosialisme.

Menurut Karl Marx, suatu rasa kebebasan yang dalam mewujudkan kemerdekaan tiap-tiap individu malah melahirkan suatu ketidakadilan. Karl Marx melihat adanya suatu ketimpangan, ketimpangan itu ialah bagaimana era ideologi liberalisme menciptakan suatu kelas di mana para kaum proletar hidup di bawah tangan para kapitalis. Karl Marx juga melihat dari perspektif lain, bukan hanya memandang bagaimana kapitalis atau para pemilik modal bekerja, kini Karl Marx melihat dari sudut pandang kehidupan para proletar. Masyarakat kaum proletar kemudian menjadi buruh yang dimanfaatkan oleh para kapitalis sebagai suatu daya yang memproduksi nilai (Alwino, 2016). Para buruh adalah pekerja, para buruh hidup di atas tangan-tangan para pemilik modal. Mereka tidak akan berkembang, mereka hanya akan hidup, tetapi lebih dari pada itu para pemilik modal hidup dengan sejahtera dan makmur. Seakan-akan para pemilik modal yang memiliki kuasa atas mesin produksi dan pabriklah yang menentukan hidup para buruh.

Tentunya ada banyak sekali tragedi-tragedi konflik yang lahir dari praktik egoisme dan kepentingan pribadi dalam setiap fase zaman dan itu semua dibalut dalam suatu tindakan intervensi dan pertentangan. Namun sebetulnya, apa yang kemudian ingin dibahas adalah berangkat dari perspektif permainan bahasa dan kerangka berpikir atau "worldview" sebagai pandangan secara besar dan keseluruhan. Bahasa dan suatu paradigma berpikir ternyata mampu menjadi suatu elemen penyebab konflik secara besar dan itu sudah tercatat dalam sejarah. Maka dalam hal ini, kita akan menyelami suatu konflik secara esensinya melalui bahasa dan paradigma dan membedahnya dalam perspektif filosofis yang kemudian akan sampai pada terciptanya suatu perdamaian.

Baca Juga: Merawat Tradisi Ngadulag, Mengokohkan Harmoni Islam dan Kearifan Lokal
Melestarikan Bahasa Ibu Mencegah Punahnya Kearifan Lokal
Merangkul Perdamaian Berkelanjutan Melalui Kearifan Lokal

Bahasa dan Konflik

Menurut Schleiermacher, bahasa pada dasarnya bersifat sosial. Lebih tepatnya, meskipun bahasa tidak bergantung pada fenomena sosial (sehingga, bahkan tanpa adanya fenomena sosial, setiap manusia dapat mengembangkan bahasa mereka sendiri), bahasa sudah melibatkan kecenderungan atau arah implisit terhadap komunikasi sosial. Kemudian, bahasa dan pemikiran bukan sekadar tambahan di atas proses mental lain yang dimiliki manusia. Sebaliknya, hal-hal tersebut sudah lebih dulu tertanam atau ada dalam seluruh proses keseluruhan dalam diri manusia sekaligus memberikan karakter yang khas pada manusia. Secara khusus, mereka menyusun gambaran ideal manusia dengan cara yang berbeda (Daniel & Schleiermacher, 2004).

Dalam hal ini, kiranya melalui konsep bahasa, manusia kemudian memiliki gambaran idealnya masing-masing tentang bagaimana mereka memandang suatu kehidupan, dunia, bahkan kebudayaan. Bahasa tidak dapat dijelaskan dalam kerangka ekspresi perasaan yang primitif. Sebaliknya, penggunaan bahasa merupakan langgam dasar bagi sifat manusia. Ini adalah landasan dan memang identik dengan pemikiran. Hal ini juga merupakan dasar dari ciri khas manusia lainnya, khususnya kesadaran diri dan pembedaan yang jelas antara persepsi dari perasaan dan pandangan.

Dalam konteks bahasa, perbuatan mengisyaratkan dan berbicara merupakan suatu usaha manusia untuk mengungkapkan ide dan gagasan dengan perantaraan tanda- tanda atau objek yang dibuatnya. Dalam hal ini, maka tidak heran apabila kita melihat berbagai paradigma dan kerangka berpikir "worldview", manusia memiliki versinya masing-masing. Adanya berbagai macam pandangan ini merupakan usaha manusia sebagai makhluk yang mampu mengisyaratkan pikiran dan perasaannya (Leahy, 2005).

Adanya tindakan menilai, memahami, dan mempertanyakan juga berasal dari kerangka berpikir yang berangkat dari aktivitas "memandangi itu". Dalam hal ini, berbagai macam pendapat yang berbeda juga merupakan salah satu ciri dari hasil persepsi yang berbeda-beda atau boleh dikatakan adanya perbedaan pendapat ini berasal dari hasil persepsi yang ditangkap dari objek yang berbeda-beda karena tergantung tanda-tanda yang dibuatnya. Bicara mengenai bahasa, suatu "worldview" juga ditentukan oleh bahasa, dalam arti bahasa digunakan untuk menciptakan pengertian-pengertian atau idiom-idiom baru demi merumuskan dinamika kehidupan yang berubah-ubah (Leavis, 1948). Secara kontekstual, bahasa kemudian diolah menjadi suatu gagasan yang kemudian tertuang dalam suatu ideologi, aturan, yang sekaligus mengandung nilai.

Dalam prosesnya, konteks zaman terkhususnya era modernitas ini tentunya. membawa sejumlah "logika narasi" atau "logika kebaruan", dan itu memaksa tradisi kultural kembali membuat suatu formulasi dan kembali mengkaji kembali tentang pandangan atau "worldview" ke dalam kerangka-kerangka makna yang baru, tuntutan baru, maupun peluang-peluang baru. Dalam hal ini, proses itu kian melahirkan cabang- cabang makna yang tidak terduga, bahkan mungkin saja mengubah gravitasi sentral kebudayaan dan memicu adanya konflik (Sugiharto, 2023).

Sekilas, bahasa kemudian memainkan perannya ke dalam suatu alur berpikir logis, ia bisa mewujud ke dalam simbol-simbol yang pada akhirnya tersusun menjadi satu kerangka utuh. Menurut perspektif Gilles Deleuze filsuf asal Prancis mengatakan bahwa suatu makna dan nilai pada dasarnya selalu membongkar dan menyebarkan dirinya sendiri ke dalam bentuk yang selalu baru. Suatu realitas (Being) mengembangkan dirinya dengan cara "membedakan diri" (Deleuze, G. and Guattari, 1983). Kemudian dalam struktur kerangka worldview, realitas objek memampukan dirinya untuk memantik keluar suatu gagasan sehingga terciptalah suatu pandangan terhadap berbagai macam fenomena. Dalam hal ini, selaras dengan perkembangan zaman, realitas (Being) selalu menampilkan dirinya dalam suatu kebaruan yang kemudian mempengaruhi alur berpikir serta melahirkan kerangka-kerangka baru dalam perumusan kerangka pandang world view dalam aktivitas yang "memandangi itu" dalam proses telaah transaksi kontekstual melalui simbol bahasa.

Argumentasi bahasa yang dipaparkan di atas seolah-olah hanya menekankan bahwa bahasa hanya membantu proses pembentukan kerangka worldview bersifat konseptual atau sekedar spekulasi saja (sifatnya spekulatif). Namun tak terelakkan, bahwa suatu pandangan atau worldview itu sebetulnya bisa saja terjadi melalui proses dialog sehari-hari, bahkan proses sirkulasi kehidupan setiap harinya bergulir.

Manusia adalah subjek penerima dan pengolah bahasa itu sendiri, manusia mampu mendistribusikan bahasa dan simbol-simbol yang diolah menjadi suatu aktivitas kerangka dialog, maka dalam hal ini terjadilah suatu aktivitas transaksi dan kerangka pandang baru pun kerap kali muncul dari aktivitas ini. Perdebatan mengenai pandangan atau worldview ini kerap kali melahirkan suatu konflik. Konflik ini disebabkan karena adanya suatu gesekan dari proses aktivitas interaksi atau dialog individu atau kelompok. Tanpa disadari, hal ini kerap kali terjadi karena adanya suatu konsekuensi dari fakta bahwa manusia hidup di tengah pluralitas orientasi dan nilai yang mengakibatkan perbedaan kepentingan dan hal ini sekaligus harus ditangani secara bijak (Leicht & Jenkins, 2010).

Secara kontekstual, bahasa dalam kemampuannya dipakai sebagai sarana penyampai nilai yang mengejawantah dalam proses dialog, namun sering kali ditemukan dalam bentuk afirmasi, negasi, bahkan sebagai alat diskriminasi. Problematika ini kemudian menggiring suatu opini bahwa terkadang manusia dalam kapabilitas dan kemampuannya ternyata belum cukup untuk mengolah bahasa menjadi suatu alat yang objektif atau universal, dan ini adalah salah satu duduk perkaranya. Suatu bahasa yang dalam ketidakmampuan untuk menampilkan realitas yang sesungguhnya (atau realitas konkretnya), dapat diminimalisir melalui kemampuan metaforis yang kerap kali dipakai oleh manusia. Namun kerap kali, kemampuan metaforis ini sendiri belum cukup untuk menciptakan dialog-dialog penyampai nilai. Maka dalam hal ini, baik dan luar biasanya suatu pandangan seseorang, masih terkesan lemah karena permasalahan keterbatasan bahasa ini. Dalam hal ini, suatu universalitas kian tidak ditemukan kepastiannya, karena bahasa malah menjadi suatu hal yang memenjarakan realitas itu.

Dalam wujud praktisnya, dalam ranah radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme, bahasa dan suatu pandangan "worldview" merupakan suatu hal yang sangat esensial dan cukup signifikan mempengaruhi. Hal ini terlihat dari situasi konkretnya, dari berbagai fase-fase zaman memiliki permasalahannya masing-masing baik secara internal dalam suatu negara maupun secara internasional. Radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme merupakan suatu tindakan yang sampai saat ini masih menjadi isu yang sangat kental, problematis, dan selalu disangkut pautkan oleh banyak hal, terkhususnya agama. Radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme sejatinya merupakan hal yang secara spesifik menimbulkan kekerasan dan sekaligus menghantui kehidupan manusia dengan budaya kematian. Kehidupan sosial dan masyarakat menjadi tertekan, tidak aman, dan selalu dihantui dengan rasa ketakutan. kematian dini korban tidak berdosa dan hilangnya rasa aman merupakan pelanggaran akan hak-hak individu-hak untuk hidup, hak untuk merasa aman. Buntutnya dalam kehidupan sosial adalah ketegangan dan yang berkepanjangan, serta sikap saling mencurigai. Hal ini jelas nyatanya, karena setiap tindakan terorisme sering kali terjadi di luar dugaan, sehingga setiap individu selalu diliputi kecemasan dan sikap antisipasi. Kehidupan sosial seolah larut dalam situasi yang anarkis (Wuli, 2020).

Gagasan Perdamaian

Sikap-sikap anarkis seperti radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme, di satu sisi merupakan suatu tindakan yang sangat merugikan dan meresahkan. Namun siapa sangka, sebetulnya di balik adanya tindakan ini sebetulnya terkandung suatu ideologi yang membuat seseorang atau kelompok menjadi cenderung terkendalikan secara otomatis. Katakanlah dalam proses pencucian otak, dalam tindakan pencucian otak (dalam artian mempengaruhi seseorang) di sana terdapat suatu bahasa sebagai alat penyampai suatu gagasan, dan bahasa itu kemudian membentuk suatu kerangka berpikir yang baru. Namun kerangka berpikir yang baru ini menjadi suatu kerangka berpikir yang keliru. pandangan dunia atau paradigma, kini menjadi seolah-olah dunianya sendiri. Dunia sebagai jawaban atas keresahan dunia yang sebenarnya. Tindakan radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme, biasanya merupakan suatu perlawanan atas ideologi yang berlaku dengan menciptakan ideologi yang baru, atau boleh dikatakan bahwa tindakan radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme lahir atas intervensi dan negasi terhadap ideologi yang sudah ada. Dalam hal ini, konsep bahasa dan pola berpikir menjadi suatu elemen konflik yang mendasar namun luar biasa dampak yang diberikan.

Di sisi lain, elemen dasar yang mendukung bahasa kemudian diafirmasi dan menjadi suatu perbuatan juga dipengaruhi oleh sifat egois manusia itu sendiri. Tak terelakkan apabila suatu konflik terjadi karena adanya gesekan kepentingan antara kedua belah pihak, dan sifat egois ini di satu merupakan suatu mesin yang berada di dalam diri manusia. Menurut ahli biologi evolusionis Richard Dawkins, berpendapat bahwa kita adalah mesin yang bertahan hidup dan diprogram sedemikian rupa untuk melestarikan molekul egois yang dikenal sebagai gen (Dawkins, 1976). Lanjut menurut Dawkins, sebetulnya manusia tidak lebih dari pada hewan. Meski ia berbeda dengan hewan, sebetulnya sifat dan perilaku hewan dan manusia hampir serupa, namun kemudian kelebihan yang dimiliki manusia adalah anggapan "manusia yang memiliki akal budi". Namun secara praktis, manusia serupa dengan hewan, apabila hewan memiliki akal budi, sifat mekanisme bertahan, berlindung, dan mencari makan, pada hakikatnya adalah sama, yaitu sama-sama memiliki kepentingan dan harus terpenuhi.

Pada akhirnya bagaimana menjembatani dan mengakhiri konflik ini? Sejauh ini, banyak orang-orang selalu mencari bahkan merumuskan suatu nilai agar menjadi suatu nilai yang sangat universal, namun pada akhirnya selalu saja berakhir pada kegagalan. Sejauh ini pula, nilai yang sangat baik, sangat humanis, selalu berangkat dari ajaran-ajaran keagamaan. Namun pada akhirnya, selalu saja berakhir pada konflik dengan bentuk yang lain pula. Maka dalam hal ini, apakah yang universal itu? Apabila kita hendak memandang suatu perdamaian sebagai suatu keseluruhan yang terpadu, maka ada baiknya apabila kita menggunakan suatu alternatif gagasan dari sekian banyak produk pemikiran. Alternatif ini merupakan suatu jalan untuk setidaknya mengetahui dan menjawab suatu pertanyaan mengenai "bagaimana terciptanya suatu perdamaian" dari satu sisi. Kondisi dilematis yang sebelumnya sudah dibahas membuat manusia cenderung selalu bertemu dengan konflik, kekerasan, dan penindasan. Hal ini seakan-akan membuat manusia akhirnya menutup mata dan pada akhirnya selalu terjebak dalam tindakan yang keliru. Maka dalam hal ini suatu alternatif dibutuhkan untuk menjernihkan suatu gagasan yang sekiranya mengalami kejatuhan dalam artian terdapat suatu kesalahan atau terjadinya miskoneksi antara esensi, gagasan, serta penerapan dan perilaku manusia dalam menyikapi konsep keadilan ini.

Berangkat dari gagasan Aristoteles, perdamaian memiliki hubungannya dengan suatu kebaikan dan keutamaan. Bahkan Aristoteles menyebutkan bahwa perdamaian merupakan salah satu elemen dari terbentuknya suatu kesejahteraan masyarakat. Nicomachean Ethics merupakan salah satu karya Aristoteles yang di dalamnya menggagas suatu tujuan esensial manusia yang mengarah pada suatu "kebaikan" (Helwig et al., 2004). Hal ini yang juga merupakan salah satu landasan gagasan Aristoteles dalam menyoal suatu keadilan, moral, dan tindakan. Dalam konsentrasinya mengenai keutamaan ini, Aristoteles dalam Nicomachean Ethics secara eksplisit mengarahkan pada suatu kebahagiaan, di mana suatu kebaikan akan menghantar manusia pada suatu tujuan esensial lainnya yaitu kebahagiaan (Sugiharto, 2023) dan suatu perdamaian akan terwujud apabila semua orang akhirnya sepakat dengan tujuan bersama yaitu kebahagiaan. Berarti dalam hal ini suatu bahasa pada akhirnya harus dipakai untuk mengarahkan pola berpikir menjadi suatu paradigma membentuk suatu perdamaian. Bahasa kemudian dipakai menjadi bahasa kasih dan doktrin-doktrin yang dipakai adalah demi kebahagiaan bersama. Apakah itu akan memakai perspektif atau cara-cara yang dipakai oleh multikulturalisme, inkulturalisme, atau interkulturalisme dalam suatu ajaran mengenai "toleransi"? apa pun itu, sehingga pada akhirnya, melalui bahasa terciptalah suatu paradigma atau "worldview" tentang bagaimana manusia berdamai satu sama lain. Budaya damai juga dijelaskan oleh secara gamblang oleh Johan Galtung, bukan sebagai kompromi atau perdamaian semu-budaya damai tercipta ketika tiadanya kekerasan dan mekarnya keadilan, ketika ada penegakkan terhadap hak asasi manusia dan kemerdekaan manusia (Wuli, 2020).

* Artikel ini merupakan salah satu pemenang kategori Good pada Lomba Esai Nasional 2023 dengan tema "Peace For Indonesia, Peace For All! yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//