• Opini
  • Animal Symbolicum dan Hermeneutika Pancasila: Dialektika Panjang Menuju Perdamaian

Animal Symbolicum dan Hermeneutika Pancasila: Dialektika Panjang Menuju Perdamaian

Tulisan ini menguraikan jalan panjang menuju perdamaian berdasarkan perspektif hermeneutika simbol dan Pancasila.

Jessica Cornelia Ivanny

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak

Seorang anak membawa lambang negara Garuda Pancasila dalam perayaan hari lahir Pancasila yang diselenggarakan Karang Taruna Liogenteng Bandung (1/6/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

20 Desember 2023


BandungBergerak.id – Kesadaran manusia, sekalipun berada di tengah peradaban yang jauh berkembang pesat, tak diragukan lagi, nyatanya masih belum mampu mencapai derajat keutuhan yang kuat-masih rentan dan terancam mengalami keterpecahan (Jung, 1964). Barangkali, ini adalah pintu masuk untuk memahami sosok manusia sebagai makhluk berakal budi yang sungguh terbatas, dan keterbatasan ini diakui atau tidak adalah sumber dari konflik dan kekerasan. Ini terjadi karena akal budi bukan hanya soal kemungkinan manusia yang berpotensi hidup dan bertindak rasional (reasonable being). Keberadaan akal budi tidak menjustifikasi manusia akan selalu bertindak rasional (natura rasionalist), karena kodrati itu nyatanya tidak cukup menyelamatkan mereka dari anomali-anomali yang mengantarkan mereka pada kemungkinan lain-konflik dan kekerasan. Akar kekerasan ini tumbuh dan bermutasi dengan aneka wujud seiring perkembangan peradaban.

Bahkan, dalam peradaban maju seperti sekarang, potensi manusia untuk bertindak irasional menjadi lebih tinggi dan riskan. Kehadiran teknologi berkekuatan tinggi, internet, dan algoritma mampu secara mudah memerangkap daya pikir dan indra-indra (terutama alat penglihat dan pendengar) manusia pada lapisan-lapisan realita yang sangat terbatas. Kontribusi signifikan perusahaan induk 18 Facebook, Meta, dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat terhadap kelompok etnis Rohingya di Myanmar sebagaimana dilaporkan Amnesty Internasional (Guzman, 2022) merupakan bukti konkret bagaimana doktrinasi kekerasan berhasil dilakukan melalui algoritma, hingga terus bertransformasi menjadi ideologi yang dianut sekelompok massa.

Apabila ideologi kekerasan dibiarkan berkembang, atau bahkan dinormalisasi karena hilangnya empati kemanusiaan, maka manusia sejatinya telah mendekatkan dirinya pada risiko kepunahan eksistensi. Maka dari itu, sebagai antitesis dari kekerasan, perdamaian seharusnya bisa menjadi jalan keluar atas problematika kekerasan. Tulisan ini selanjutnya akan menguraikan jalan panjang menuju perdamaian berdasarkan perspektif hermeneutika simbol dan Pancasila.

Baca Juga: Mengukur Kesaktian Pancasila
Merangkul Perdamaian Berkelanjutan Melalui Kearifan Lokal
Kerangka Bahasa dan Worldview: Sebab-sebab Terjadinya Konflik dan Perdamaian

Hakikat Manusia sebagai Animal Symbolicum

Secara kodrati, kekerasan dan potensi rasional untuk membebaskan diri dari kekerasan sejatinya ada dalam setiap insan manusia. Dikatakan Eric Weil (1996), hidup adalah proses menjadi yang bukan sekadar bersifat alamiah, melainkan juga yang sifatnya mentransformasi potensi-potensi alamiah ke kehidupan bebas dan rasional (h. 12). Sehingga status kodrati individual-instingtif manusia ini yang perlu ditransformasi menjadi manusia rasional-komuniter melalui dinamika berfilsafat. Proses berfilsafat, menurutnya, adalah soal pembaruan komitmen untuk mewujudkan perdamaian dalam kehidupan komunal secara terus menerus. Seperti para pejuang kemerdekaan Palestina dari berbagai negara yang terus menggemakan perdamaian bagi Palestina di tengah gempuran kekerasan HAM berat oleh Israel.

Meski kekuatan teknologi dan sensor algoritma sempat membatasi dukungan maya dari warga internet untuk Palestina, namun berkat kemampuan manusia untuk membentuk/mengonstruksi, memakai, dan menafsirkan objek- objek visual, dukungan tersebut kemudian direkonstruksi melalui penggunaan simbol-simbol. Ini adalah hakikat dari eksistensi manusia sebagai animal symbolicum (makhluk simbol-simbol). Dalam konteks Palestina-Israel, semangka disimbolisasi sebagai dukungan terhadap Palestina karena warna buahnya yang mirip dengan warna bendera Palestina (merah, hitam, putih dan hijau). Ruang tafsir yang sama terhadap semangka mendorong gerakan-gerakan dan pemanfaatan emoji semangka di ruang berekspresi sebagai representasi kehadiran dan penegasan pendirian pada sisi kemanusiaan yang sama untuk membela Palestina.

Berkaca dari simbolisasi semangka dalam kasus Palestina-Israel, maka bisa dipahami: a) manusia memiliki kecenderungan untuk menggunakan simbol-simbol sebagai alternatif komunikasi; b) simbol dapat menjadi media komunikasi antar-subjektivitas di mana makna simbol tersebut dirumuskan subjek melalui interaksi sosial (interaksi simbolik); c) simbol mampu menjadi jawaban alternatif sementara di saat bahasa mengalami kendala berekspresi, terutama jika penggunaan bahasa dilimitasi oleh algoritma (simbol bisa juga bermanfaat saat bahasa mengalami situasi doublespeak [hasil kawin silang antara konsep newspeak dan double-think]); dan d) penggunaan simbol tidak bisa serta merta mengalahkan kekuatan bahasa, karena simbol merupakan enigma yang tetap membutuhkan peran bahasa sebagai sarana interpretasi untuk memecahkan makna denotasi pembuat simbol.

Pada dasarnya, simbol memiliki aspek semantik yang berusaha membuka revolusi makna (Ricoeur, 1974, h. 288), sehingga simbol terus bergerak dari makna awal menuju makna berikutnya. Makna ini diperoleh sebagai hasil dari proses dinamika simbolisasi yang melibatkan banyak pikiran (interpretasi) manusia.

Hermeneutika Pancasila

Studi filsafat mengenal ilmu tafsir atau interpretasi sebagai "hermeneutika", sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani "hermeneuin" yang artinya "menerjemahkan" atau "bertindak sebagai penafsir" (Hardiman, 2015). Pengertian harfiah ini mengandung makna seperti yang dikemukakan Palmer (1969) bahwa hermeneutika selain merupakan a theory of understanding, di sisi lain juga adalah eksegesis dari teks linguistik (h. 67). Sehingga dalam rangka memahami dan menafsirkan sebuah simbol, objek ini akan dipandang sebagai teks terlebih dahulu, sebelum masuk ke 16 area (lingkaran) hermeneutik yang bergerak dari pra-pemahaman, melewati penafsiran, dan menuju pemahaman (Indraningsih, 2011). Pemahaman ini akan sangat bergantung pada kemampuan dan pengalaman subjek memaknai simbol-simbol, apakah mereka berhasil menangkap pesan dan makna denotasi simbol secara utuh, hingga merasakan konteks yang melatarbelakangi pembuatan simbol tersebut. Yang pasti, ruang tafsir/interpretasi terhadap simbol-simbol harus senantiasa terbuka bagi setiap subjek agar makna-maknanya pun terus berevolusi dan tidak bersifat mono- statis. Jika kuasa tafsir/interpretasi tersebut hanya dipegang oleh beberapa pihak saja, terlebih pihak tersebut memiliki kekuasaan untuk mengindoktrinasi penafsiran simboliknya secara luas, maka kekerasan menjadi sangat rentan terjadi.

Sebagaimana simbol negara resmi, Pancasila, pernah direinterpretasi oleh rezim Orde Baru untuk diterapkan secara murni dan konsekuen. Penafsiran itu kemudian diindoktrinasi pemberlakuannya secara seragam sebagai satu-satunya ideologi yang boleh diusung oleh partai dan organisasi masyarakat. Kebijakan ini tepatnya lahir pasca ditetapkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Sebagai imbas dari kebijakan/doktrin asas tunggal Pancasila ini, kekerasan tidak bisa dihindari. Tragedi berdarah Tanjung Priok 1984 dan Talangsari 1989 adalah potret nyata bagaimana kekerasan terjadi karena tidak dibukanya secara luas ruang tafsir/interpretasi terhadap simbol.

Kekerasan akibat mono tafsir terhadap Pancasila ala era Orde Baru telah menimbulkan luka trauma yang membekas di ingatan sebagian besar masyarakat. Sejak Soeharto jatuh dari tampuk kekuasaannya, proses interpretasi terhadap simbol Pancasila dilakukan secara lebih hati-hati dan bijaksana ruang tafsir pun dibuka seluas dan semerdeka mungkin untuk setiap orang. Ini adalah momen yang tepat untuk menguatkan gagasan perdamaian dalam ruang-ruang interpretasi tersebut. Apalagi, Pancasila memiliki nilai instrumental yang sifatnya dinamis dan inovatif untuk senantiasa beradaptasi dengan perkembangan zaman, di mana perdamaian sedang dirindukan dan dinantikan oleh banyak manusia Indonesia dan dunia.

Simbolisasi Lima Sila Pancasila ( Sumber: Virdianti, 2014)
Simbolisasi Lima Sila Pancasila ( Sumber: Virdianti, 2014)

Pentingnya Memahami Konteks Historis Simbolisasi Pancasila

Dengan bekal pemahaman hermeneutika, simbol Pancasila pertama-tama harus dipandang sebagai sebuah teks untuk kemudian diupayakan pencarian atas makna konotasi dan kontekstualisasinya dengan perjuangan mewujudkan perdamaian. Proses pencarian ini, selain mengharuskan penafsir masuk ke lingkaran hermeneutik di mana penafsiran dilakukan secara bahasa (grammatical) dan pikiran (psychological), juga harus melihat konteks ruang dan waktu saat simbol Pancasila dirancang seperti digagas Gadamer lewat teori hermeneutika filosofisnya. Objektivitas konteks historis Pancasila ini selanjutnya direkonstruksi menggunakan hermeneutika kritis yang dipelopori Juergen Habermas atau bahkan dibongkar-pasang menggunakan hermeneutika dekonstruktif yang digagas oleh Jacques Derrida (Syahroni, 2022).

Karena itu, proses penafsiran Pancasila sebagai simbol dari perdamaian tidak bisa dilepaskan dari konteks historis perancangan Garuda Pancasila sebagai lambang negara Indonesia. Meski konteks historis tersebut tidak akan dijabarkan secara komprehensif dalam tulisan ini, namun ringkasnya, sayembara lambang negara pada 1950 berhasil menetapkan rancangan gambar Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin sebagai dua yang terbaik (Virdianti, 2014), dan dalam perkembangannya, rancangan Sultan Hamid II yang ditetapkan sebagai lambang negara. Sultan Hamid Il mengubah gambar yang awalnya menampilkan figur burung dari mitologi Garuda menjadi figur asli Elang Rajawali Garuda Pancasila. Pasca diresmikan sebagai lambang negara pada masa RIS, Garuda Pancasila tetap mengalami penyempurnaan hingga akhirnya di finalisasi terakhir kali (skala ukuran dan tata warnanya) pada Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.

Sementara ide mengenai perisai Pancasila, sebagaimana dikutip dari transkipsi rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung pada 1974, muncul setelah Soekarno menitipkan pesan agar lambang negara hendaknya merepresentasikan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara (Sahroji, 2017),. Ini yang mendorong beberapa anggota Panitia Lambang Negara mengajukan simbolisasi terhadap sila Pancasila seperti terlihat pada gambar di atas (Foto 1).

Proses historis simbolisasi sila-sila Pancasila tersebut menunjukkan: (1) sila-sila Pancasila mengandung nilai-nilai filosofis yang merepresentasikan kebudayaan bangsa Indonesia; (2) nilai-nilai Pancasila kemudian dikonstruksikan dalam simbol Bintang, Rantai, Pohon Beringin, Kepala Banteng, serta Padi dan Kapas sebagai bentuk sekunder dari simbolisasi bahasa; (3) para pencipta simbol yang tergabung dalam Panitia Lambang Negara memberikan makna terhadap sila- sila Pancasila itu berdasarkan hasil asosiasi dengan gagasan-pikiran, emosi, pengalaman, dan kehidupan nyata mereka; (4) simbol Pancasila dikonsensuskan sebagai kebudayaan bangsa; dan (5) hasil konsensus tersebut bersifat final. Artinya, terhadap sila-sila Pancasila, tidak dapat dilakukan simbolisasi kembali. Hanya ruang interpretasi terhadap simbol-simbol tersebut yang tetap terbuka luas dan bersifat kontinu untuk dikontekstualisasikan dengan keadaan riil pada status quo.

Konstruksi Simbol dalam Pikiran (Sumber: Hendro, E.P., 2020)
Konstruksi Simbol dalam Pikiran (Sumber: Hendro, E.P., 2020)

Pancasila, Simbol Budaya Perdamaian

Karena masih dibuka ruang untuk interpretasi, maka salah satu cara untuk mengontekstualisasikan hermeneutika Pancasila dengan persoalan konkret bangsa Indonesia hari ini adalah melalui reinterpretasi simbol Pancasila sebagai gagasan dan gerakan memperjuangkan budaya perdamaian, atau sebagai antitesa dari ideologi kekerasan yang mengakar kuat dalam bangsa-bangsa. Ideologi Pancasila sebagai simbol budaya perdamaian sangat dimungkinkan karena: a) Pancasila, meminjam istilah dari Franz Magnis-Suseno, merupakan ideologi terbuka sehingga tafsir/interpretasinya dapat disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu bangsanya; b) Pancasila memiliki sifat yang universal sehingga dapat menjadi jalan tengah dari ideologi-ideologi untuk melahirkan perdamaian di Indonesia dan dunia; dan c) Pancasila memiliki lima sila, masing-masing mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, yang nilai-nilai ini kemudian diabsorpsi dan dikonstruksi ke dalam konsep budaya perdamaian.

Agar simbolisasi perdamaian Pancasila berperan optimal dalam mereduksi potensi-potensi kekerasan, subjek harus terus berupaya mengkonkretisasikan hakikat dirinya sebagai animal symbolicum, dilanjutkan dengan penggunaan hermeneutika untuk melakukan tafsir/interpretasi. Karena konsep sentral dari penafsiran berarti menegosiasikan sebuah situasi yang mengakui adanya konsensus (Habermas, 1984), maka tafsir-tafsir subjektif tadi harus didialektikan bersama-sama penafsir lain untuk mencapai konsensus mengenai makna dari simbol Pancasila..

Dialektika sebagai konsep dialog dua arah telah eksis di zaman Yunani Kuno, sejak dipelopori oleh Socrates dan dikembangkan Plato dan Aristoteles. Pada perkembangannya, salah satu konsep dialektika cukup populer adalah metode pemecahan masalah berdasarkan elemen tesis, antitesis, dan sintesis yang digagas Hegel (Purwaka, 2020). Namun, di luar itu, dialektika pada intinya penting karena menyangkut hal berbahasa dan bernalar dengan dialog untuk mencapai konsensus mengenai makna dari simbolisasi sila-sila Pancasila sebagai budaya perdamaian. Dalam dialektika, simbol akan menjadi lebih bermakna, komunikasi perjuangan perdamaian menjadi lebih rasional dan potensi bias-kognitif lebih berkurang.

Dialektika akan membantu subjek penerima simbol untuk berpikir dan bertindak seperti kerangka di atas. Sebagai sebuah tanda yang menghubungkan signifier dan signified, simbol memiliki dua tingkat (staggered system) yang akan menghasilkan dua tingkat pemaknaan, yaitu tingkat denotasi (sifatnya eksplisit, langsung, dan pasti) dan tingkat konotasi (terbuka terhadap berbagai kemungkinan) (Hendro, 2020). Makna denotasi dari simbolisasi Pancasila dapat dibaca langsung dari kelima sila yang terkandung di dalamnya, sementara makna konotasi yang membuka peluang diasosiasikannya Pancasila sebagai simbol budaya perdamaian. Pemaknaan konotasi ini harus dilakukan melalui dialektika dengan bertumpu pada konteks historis dan makna denotasi pembuat simbol, agar tafsir-tafsir subjektif- individual bersih dari anasir-anasir anomali dan makna Pancasila sebagai simbol perdamaian dapat dikonsensuskan.

Singkatnya, Pancasila sebagai simbol perdamaian adalah perjuangan seumur hidup. Hakikat manusia sebagai animal symbolicum perlu dioptimalkan untuk mendorong terbukanya ruang-ruang penafsiran-pemaknaan konotasi terhadap Pancasila, juga dialektika sebagai kunci mencapai kesepakatan makna. Ke depan, dialektika harus diprioritaskan sebagai basis fundamental dalam pengajaran dan pendidikan. Harapannya, semakin banyak manusia yang berhermeneutika dan berdialektika, maka semakin banyak gagasan dan gerakan untuk memperjuangkan terwujudnya perdamaian. Mari kita berdialektika bersama menuju perdamaian!

* Artikel ini merupakan salah satu pemenang kategori Good pada Lomba Esai Nasional 2023 dengan tema "Peace For Indonesia, Peace For All! yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//