• Opini
  • Mengukur Kesaktian Pancasila

Mengukur Kesaktian Pancasila

Setara Institute menjabarkan potret kekinian situasi ideologi negara. Terungkap, siswa SMA di Jakarta dan Bandung Raya ada yang beranggapan Pancasila bisa diubah.

Rama Zatriya Galih Panuntun

Pegiat Aksi Kamisan Bandung.

Seorang anak membawa lambang negara Garuda Pancasila dalam perayaan hari lahir Pancasila yang diselenggarakan Karang Taruna Liogenteng Bandung (1/6/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

9 Juni 2023


BandungBergerak.id“Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsawanan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tapi semua buat semua!”

Potongan pidato yang disampaikan Bapak Proklamator Sukarno itu kini menjadi cita yang sangat tinggi bagi bangsa, bagi kaum muda. Entah cita itu bisa dicapai atau tidak, nampaknya napas optimisme harus diatur sedemikian rupa. Di tengah gempuran cita-cita anak bangsa yang bergeser pada popularitas semata, lilitan paylater bahkan kekosongan pemanfaatan daya gedor bagi mereka yang merasa milenial.

Dihimpit oleh rusaknya lingkungan akibat kebijakan-kebijakan yang merugikan banyak pihak. Perlu ribuan anak tangga untuk mencapainya demi menghadapi jutaan permasalahan yang mengahalangi untuk mewujudkannya. Negara yang “semua buat semua!”

Apa yang bisa ditawarkan dari pemuda ketika dijamin dengan kenyamanan atas lahirnya ideologi bangsa? Lahirnya Pancasila, secara musiman (baca: tiap tahun) hanya disinggung dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Baik tingkat dasar hingga mata kuliah dasar dalam perguruan tinggi. Pertanyaan selanjutnya apakah aktivitas musiman ini yang dapat kita bisa panen setiap semesternya?

Setara Institute mencoba menjabarkan bagaimana potret kekinian tentang situasi ideologi yang mulia ini (Pancasila). Dalam risetnya yang dipamerkan pada awal tahun ini, dipaparkan temuan bahwa siswa SMA di Jakarta dan Bandung Raya menganggap Pancasila bisa diubah atau dapat diganti dengan ideologi lain. Gak bahaya ta?

Bahaya atau tidaknya dapat dijawab dalam beberapa kemungkinan. Jika riset dari Setara Institute di atas dibaca dengan nada ancaman, seharusnya stakeholder terkait mampu menjawab dengan terobosan dan kebijakan yang ramah Pancasila pada kaum muda.

Membayangkan Pancasila hadir dalam bentuk skin (baca: karakter) permainan game online Mobile Legend misalnya, lantas apakah langsung menaikan kesadaran nasionalis para gamer? Terlebih dari gamer yang mengambil duit cicilan motor orang tuanya untuk membeli kuota agar bisa main ML pakai skin Gatot Kaca!

Bisa ditimbang jika wacana yang bisa ditawarkan dengan kehadiran pemerintah misalnya untuk pembinaan atlet ML yang bisa mewakili dusun tempat tinggal mereka masing-masing. Bisa jadi ini (peran serta beberapa pemangku kepentingan terhadap aktualisasi Pancasila) akan lebih konkret. Balai-balai desa diisi oleh pangkalan Wi-Fi yang memfasilitasi para siswa dan mahasiswa yang ada di pelosok desa agar memiliki hak akses internet yang sama. Sembari petugas pemerintahan desa yang piket menjaga Router (pemancar sinyal internet) agar tidak dicuri, mengabsen dari kalangan anak usia berapa saja yang hobi main Free Fire, Mobile Legend hingga Zuma untuk diperlombakan tingkat Kecamatan dan diberikan pembinaan. Dipetakan, RT A sekian anak main Free Fire, RT B sekian anak main Mobile Legend. Nyata! Dari pada mengomeli mereka yang fokus ke layar daripada omelan orangtuanya. Karena aktualisasi anak kita bisa saja tidak sama dengan aktualisasi para orangtuanya dengan eksis di Facebook plus menandai teman-teman sebayanya.

Akan berbeda pula kondisinya jika gaya hidup Pancasila berlangsung secara arif tanpa paparan ideologi lain di bumi ini. Tapi nyatanya Tuhan menciptakan keberagaman karena yang berbeda itu menurut-Nya lebih indah, bukan?

Bayangkan saja jika dalam satu sekolah semua murid memiliki gaya rambut dengan sisir ke kanan semua. Muka yang sama semua, bentuk telinga, warna kulit, tingkat kemajuan hidung hingga diameter lubang hidung yang sama itu sama semua. Apakah hidup ini semembosankan itu? Itu baru sekala satu sekolah, bagaimana jika terjadi dalam suatu daerah dan sebuah bangsa yang memaksakan persamaan.

Baca Juga: (Tidak Telat) Merefleksikan G30S dan Memahami Gerakan Tahrirul Mar’ah, Titik Berangkat Pembebasan Perempuan
Radikalisame dan Ekstremisme, Dilema Berpikir yang Tertabrak Norma (?)
Agustus, Menerka Merdeka dalam (Belenggu) Kebebasan

Pancasila Lahir dari Perbedaan

Dalam beberapa irisan, sebuah perbedaan memiliki simpul-simpul persamaan. Begitu juga dengan persamaan yang tidak bisa menyatukan titik-titik perbedaan tertentu. Bisa dibayangkan bagaimana lucunya jika Pancasila lahir dari perumus yang terdiri hanya dari salah satu suku tertentu atau salah satu latar belakang tertentu. Mungkin warna lain tidak bisa memahami atau tidak mengerti maksud dari butir yang dimaksud. Maka dari itu, Pancasila bertujuan untuk menyatukan kita yang berbeda ini, minimal dengan bahasa ibu pertiwi, bahasa nasional, bahasa Indonesia.

Jika gedang bermakna papaya untuk orang Sunda, akan berbeda arti jika gedang yang sama dibawa ke tanah Jawa. Karena gedang dalam bahasa Jawa merupakan pisang. Perlu pembacaan sosial yang adaptif untuk bisa memaknai Pancasila walau dalam satu daratan yang sama sekalipun.

Rajasa (2007) berpendapat tentang bagaimana generasi ini harus menumbuhkan karakter nasionalisme, dengan tiga cara dalam Azzahra, dkk (2022) yaitu:

Pertama, dengan menumbuhkan jati diri pendiri karakter bangsa, artinya bahwa generasi ini harus berperan dalam mendirikan karakter yang positif bagi bangsa dengan kemauan yang gigih demi menjunjung tinggi nilai moral dan menanamkannya dalam kehidupan nyata.

Kedua, memberdayakan karakter, bahwa generasi ini harus menjadi panutan untuk mengembangkan karakter bangsa yang positif, secara aktif menumbuhkan kesadaran yang kolektif dengan kohesi yang besar.

Lalu yang ketiga, merekayasa karakter, berarti generasi ini berlaku unggul dalam ilmu pengetahuan bahkan budaya, ikut dalam proses pembelajaran untuk mengembangkan karakter yang positif sesuai zamannya (Ginting, 2017).

Jika kita sepakat dengan apa yang baru saja diuraikan Rajasa, maka seharusnya kita juga mengamini apa yang dikatakan oleh Damanhuri, dkk  pada 2016 bahwasanya nilai-nilai yang ada dalam Pancasila mengajarkan kepada masyarakat tentang cara berfikir dan bertindak yang sesuai dengan ideologi negara (dalam Rusmiati dan Dewi, 2021). Serta mengutuk segala tindakan pejabat – apalagi hingga penjahat – yang bertentangan dengan nilai-butir Pancasila yang kita cita-citakan bersama sebagai pengikat pemersatu bangsa!

Bukan sebagai alat memonopoli hingga membodoh-bodohi rakyatnya sendiri!

Tegak bersama, tetap setia melawan!  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//