(Tidak Telat) Merefleksikan G30S dan Memahami Gerakan Tahrirul Mar’ah, Titik Berangkat Pembebasan Perempuan
Masyarakat kita masih gagap bagaimana membedakan mana benda yang disebut jenis kelamin dan mana konsep peran sosial yang disebut gender itu.
Rama Zatriya Galih Panuntun
Pegiat Aksi Kamisan Bandung.
19 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Walau sudah terlewat dari tanggal 30 September (sekalipun setiap tahunnya), kita semua bertanya dan boleh memikirkan kembali apa yang bisa diambil dari sebuah refleksi tahunan berspanduk G30S/PKI? Selain nonton bareng pas hari peringatan Kesaktian Pancasila 1 Oktober tiap tahunnya, ceramah satu arah atau berbual-diskusi semalam suntuk dengan baju ultranasionalis?
Namun yang dirasakan agaknya narasi komunisme yang kita dapatkan erat dengan pertumpahan darah, melabeli haram dalam berbangsa keturunannya, sampai mengesampingkan perasaan kemanusiaan mereka yang lahir dan mereka harus patuh hingga membanggakan nama Indonesia karena tatanan keluargnya beririsan dengan komunis.
Anda bisa sepakat bahwa dibunuhnya para jenderal dalam peristiwa G30S sebagai pengkhianatan terhadap bangsa. Namun di tingkat diskursus, tragedi yang membentang jauh dalam lipatan-lipatan sejarah itu kemudian melahirkan beragam wacana pemikiran, kajian, tafsiran, dan seterusnya. Antara lain tentang simbolisasi dari matinya budaya patriarki terlebih dari lembaga yang memiliki kuasa yang tidak kecil.
Namun juga yang bisa kita sepakati di awal memang Pancasila menjadi ideologi terbaik dan lebih baik jika praktiknya juga mampu dikawal oleh seluruh elemen masyarakat dan didukung oleh pemerintah kita tercinta ini.
Pembebasan Perempuan
Terlepas itu semua, menarik untuk menilik bagaimana kita mampu berefleksi dengan mengetahui bahkan sampai memahami, gerakan pemberdayaan (pembebasan) perempuan yang hari ini menurut saya cenderung relevan untuk dapat digunakan di sela-sela perdebatan boleh nggak perempuan itu pulang pagi, boleh gak cewe nyupirin cowoknya atau boleh gak istri bertukar peran sebagai pengangkat galon sedangkan suami lihai dengan centong nasinya?
Hadirin, gerakan pembebasan perempuan yang akan kita berkenalan dengannya ialah pokok-pokok pikiran dari Qasim Amin, Tahrirul Mar’ah. Dalam buku “Bebas Dari Patriarkhisme Islam” yang ditulis oleh Syafiq Hasyim, 2010, gerakan ini berbicara tentang polemik patriarki yang selama ini kita rasakan, baik dalam lingkup kehidupan Islam mupun mengakar pada budaya bangsa.
Masyarakat kita masih gagap bagaimana membedakan mana benda yang disebut jenis kelamin dan mana konsep peran sosial yang disebut gender itu. Jika perempuan lantang dalam gerakan perempuan itu ya default-nya begitu namun pemikiran Qasim Amin, seorang intelektual muslim laki-laki yang ingin mencoba membahasnya ke dalam tiga hal di antaranya tentang diskursus pemakaian jilbab bagi perempuan, pembatasan hak suami dalam memutuskan talak dalam perkawinan, hingga kritiknya yang mendarat pada bahasan sistem pernikahan poligami.
Menurut Asgar Ali (1994) terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga mereka setara dalam hal akses, berpartisipasi, mengontrol pembangunan. Mereka bisa memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Secara historis telah terjadi dominasi laki-laki dalam segala lapisan masyarakat di sepanjang zaman, di mana perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Dari sinilah doktrin ketidasetaraan antara laki-laki dan perempuan [Warni Tune Suamr].
Qasim Amin bisa saja membahas secara akademis ketiga hal di atas. Namun realitanya spektrum patriarki tersebut melebar hingga pada bahasan-bahasan sehari-hari yang kental dalam keseharian. Mungkin akan jauh lebih baik jika kita kembali menerapkan home economics seperti apa yang dikatakan oleh Satia Zen (2022) [Satia Zen, 2022, mediaindonesia.com], yang dulu di Indonesia disebut dengan pendidikan keterampilan keluarga (PKK). Pelajaran yang mencakup semua aspek kegiatan di dalam rumah tangga mulai dari mencuci baju, memasak, hingga membersihkan rumah. Dalam pelajaran ini, siswa laki-laki dan perempuan belajar untuk memiliki peran dan tanggung jawab yang berimbang dalam melakukan tugas-tugas rumah tangga.
Baca Juga: Radikalisame dan Ekstremisme, Dilema Berpikir yang Tertabrak Norma (?)
PAYUNG HITAM #5: Apa yang Bisa Diperbuat Setelah Pemekaran Papua?
PAYUNG HITAM #10: Agustus, Menerka Merdeka dalam (Belenggu) Kebebasan
Atau kita bisa berkaca pada negara-negara Nordik yang sering menjadi salah satu contoh akan kesetaraan gender yang dianggap berhasil mewujudkan pencapaian berkeadilan. Norma kesetaraan gender secara ekonomi dalam model ini menyebutkan adanya kesetaraan kesempatan pendidikan, kesetaraan gaji sesuai dengan nilai pekerjaan, keseimbangan gender dalam rumah tangga, dan partisipasi gender yang seimbang dalam pasar kerja (Teigen & Skjeie, 2017).
Niken Savitri pun mengamini demikian. Salah satu tenaga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar) yang tergabung di dalam Asosiasi Pengajar Hukum dan Gender Indonesia, mengatakan kesetaraan gender dalam dunia pendidikan merepresentasikan kesetaraan gender di khalayak masyarakat. Semua bidang pendidikan harus dibuka seluas mungkin bagi perempuan maupun laki-laki tanpa pembatasan.
Ketidasetaraan itu sendiri dapat dilihat dari dua sisi, yaitu de jure maupun de facto. Menurut Niken, diskriminasi de jure dalam konteks pendidikan, misalnya, berkaitan erat dengan aturan yang membedakan kaum perempuan dan laki-laki dalam memasuki bidang-bidang pendidikan tertentu. Secara de jure, tidak ada diskriminasi gender dalam pendidikan karena setiap warga negara berhak atas pendidikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun, secara de facto, masyarakat memiliki persepsi bahwa perempuan dan laki-laki berbeda sehingga ada bidang-bidang tertentu yang hanya cocok untuk perempuan dan bidang lain untuk laki-laki. Misalnya, perempuan lebih cocok di bidang sastra atau sosial, dan laki-laki di bidang teknik atau eksakta.
Anda mungkin masih bisa menyebutkan banyak ragam atau hal yang berkaitan dengan pelangaran gender lain atau bahkan yang berhubungan dengan patriarki. Namun kekerasan itu harus putus dan berhenti sekarang, dari kamu!