Radikalisame dan Ekstremisme, Dilema Berpikir yang Tertabrak Norma (?)
Radikal pada akhirnya diartikan sebagai cara pandang secara detail terhadap sesuatu, sehingga menimbulkan semangat berpikir progresif dan mengarah pada perubahan.
Rama Zatriya Galih Panuntun
Pegiat Aksi Kamisan Bandung.
10 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Narasi radikal-radikul yang selama ini mewarnai kancah wacana publik tidak sedikit menyita perhatian untuk dibahas – terlebih jika hal demikian dikaitkan dengan ekstrimisme hingga terorisme. Apalagi sampai dipolitisasi, kan Chuakszx!
Sebagai anak muda entah itu perannya apa, literally anak paling muda di keluarga, pelajar, mahasiswa, anggota karang taruna, partisipan organisasi, agisator komunitas hingga didapuk pada pundak sebagai pimpinan kerap kali harus memakai lencana “Kristis Dong!”. Ya layaknya jatuh selalu ke bawah, kritis adalah buah dari rahim radikalis. Bagaimana kritikus bisa muncul ke permukaan sedangkan dia dibungkam tidak boleh bertanya, dijajah pikirannya, dirampas haknya bahkan dihilangkan malunya di tengah-tengah kehidupan sosialnya, misalnya. Cukup pelik!
But kita akan membedah sebenarnya bagaimana kedua benda ini (radikalisme dan ekstrimisme) bisa menjadi konsumsi yang umum dan (harapannya) layak diterima oleh masyarakat. Bukan lagi tabu dan bertendensi yang langsung dilabeli, “Ih lo masuk kelompok radikal ya?”, “Kenapa gitu sih mikirnnya?”, “Oh lu itu ekstrim radikal ya?” Dari pada hah hah hah? Markidah, mari kita bedah.
Radikalisme dalam The Concise Oxford Dictionary (1987) diklaim berasal dari bahasa Latin yakni “radix, radicis”. Arti kedua kata tersebut berkutat pada akar, sumber, atau asal mula. Kamus Oxford pun menyatakan bahwa term radikalisme berasal dari akar kata radikal. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), term “radikalisme” memiliki definisi sebagai berikut: paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis [Ayu Alfiah Jonas, 2021, BincangSyariah].
Membaca “kekerasan” dalam pengertian radikalisme dalam KBBI saya lebih melihat dengan artian “bagaimana pun caranya”, karena belum tentu kesungguhan yang satu ini juga identik dengan baku hantam. Karena “bagaimanapun caranya saya harus masuk sekolah favorit berarti saya harus mati-matian belajar, bagaimana pun caranya saya harus mendapatkan nilai bagus, berarti saya harus melahap semua tugas dengan mengerjakannya tanpa celah, juga sebagaimanapun caranya saya harus naik jabatan walaupun saya harus ikut lelang jabatan misalnya”.
Bukan suap atau jual-beli jabatan misalnya, beda lho ya.
Namun radikal masih dalam lingkup berpikir. Radikal adalah gaya berpikir yang menjadi ibu lahirnya argumen kritis sebagai produk salah satu softskill yang harus dimiliki di abad ke-21 ini, yaitu critical thinking. Berpikir kritis akan memunculkan banyak sekali pertanyaan untuk menguji a, a’, b, b’ dan seterusnya hingga menemukan titik kesepakatan. Kesepakatan dengan kenyataan, dengan logika, dengan data, dengan lawan bicara, atau bahkan dengan prinsip-prinsip yang dimiliki.
Radikal pada akhirnya diartikan sebagai cara pandang secara detail terhadap sesuatu, sehingga menimbulkan semangat berpikir progresif dan mengarah pada perubahan yang menyeluruh [Wilkinson, 1977 dalam Saifudin Asrori, 2019 dengan judul Mengikuti Panggilan Jihad; Argumentasi Radikalisme dan Ekstremisme di Indonesia].
Ektrimisme pun demikian. Merujuk kamus Merriam-Webster Dictionary, ekstremisme secara harfiah berarti “kualitas atau keadaan yang menjadi ekstrem” atau “advokasi ukuran atau pandangan ekstrim”. Istilah eskstremisme cenderung banyak dipakai dalam esensi politik atau agama. Penggunaan istilah ekstremisme merujuk kepada ideologi yang dianggap berada jauh dari pemikiran dan perilaku atau sikap masyarakat umum. Padahal, sama seperti istilah radikalisme, term ekstremisme juga kerap dipakai dalam hal di luar agama dan politik seperti misalnya diskursus dalam ekonomi misalnya [Ayu Alfiah Jonas, 2021, BincangSyariah].
Radikalisme dan ekstremisme saling berkaitan satu sama lain. BNPT menyatakan bahwa ada proses perubahan seseorang dari yang tadinya radikalis menuju ekstremis. Hal tersebut bisa membuat seseorang melakukan aksi teror yang tidak terlepas dari proses radikalisasi.
Ya, aksi. Ekstremisme sudah turun dalam buah tindakan atau sikap yang dimunculkan oleh seseorang. Yang offside adalah bagaimana ekstrimisme ini menerobos norma, hak bahkan hukum. Hingga lahirnya ekstremisme kekerasan atau violent extrimism.
Baca Juga: Menyeret Keluar Fotografi dari Kooptasi Media Sosial
Renungan dari Antrean Panjang di SPBU Cikancung
Di Balik Jerit Hantu Perempuan Indonesia
Disalahpahami
Itulah mengapa orang yang sudah teradikalisasi tidak segan menggunakan cara-cara kekerasan yang ekstrem untuk mewujudkan perjuangannya, termasuk aksi teror. Meski begitu, ada juga ekstremisme yang hanya ada dalam pikiran dan tidak dipraktikkan dalam tindakan. Proses radikalisme menuju ekstremisme harus melalui radikalisasi terlebih dahulu [Ayu Alfiah Jonas, 2021, BincangSyariah].
Namun keduanya kerap kali dicampuradukkan bahkan hingga salah dipahami. Dan saya sepakat dengan statement pak Nafis Atoillah yang satu ini kalau,
Seseorang atau kelompok radikalis dapat mengalami perubahan menggunakan cara-cara ekstrem, dalam kekerasan ekstrem melalui aksi teror dipengaruhi banyak hal. Mulai dari pengaruh faktor yang bersifat internasional seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan, dan penjajahan. Selain itu juga dipengaruhi faktor domestik seperti persepsi ketidakadilan, kesejahteraan, pendidikan, kecewa pada pemerintah, serta balas dendam. Di luar faktor internasional dan domestik, faktor lainnya adalah faktor kultural, yaitu karena pemahaman agama yang dangkal, penafsiran agama yang sempit dan tekstual, dan indoktrinasi ajaran agama yang salah [Nafis, Atoillah, 2021 dalam “Menangkal Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme].
Karena ya norma kita kalau ndak boleh begini, begitu. Kalau ndak boleh begitu ya mesti begini. Semua berkutat antara benar dan salah. Siapa benar siapa salah, hingga tak ada ruang untuk beretorika, bertukar gagasan, mengkonfirmasi pandangan hingga berefleksi lebih jauh dan lebih dalam. Bagaimana kita bisa melaksanakan “Sekali merdeka tetap merdeka” jika di dalam pikiran saja masih dipenjara (?).
Sebuah tanya yang menutup kita untuk terus bersua via udara maupun di meja-meja kopi pinggir jalan atau angkringan favorit kita ya!
*Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi Panuntun Rama, Search for Common Ground Indonesia, Indika Foundation, Toleransi.Id, dan Millenial Islami