• Opini
  • Renungan dari Antrean Panjang di SPBU Cikancung

Renungan dari Antrean Panjang di SPBU Cikancung

Antrean Pertamax sangat lengang. Siapa pun yang menyaksikan pemandangan di SPBU Cikancung akan langsung dapat membedakan mana orang kaya dan mana orang miskin.

Muh. Zaky Maulana Malik

Mahasiswa Ikopin University

Di kejauhan, para pengendara motor mengular untuk membeli Pertalite di SPBU Cikancung, Kabupaten Bandung, pascakenaikan harga BBM, 2022. (Sumber Foto: Muh. Zaky Maulana Malik/penulis)

3 Oktober 2022


BandungBergerak.idPara pengendara motor yang tak saling mengenal kini sedang berdekatan. Sayangnya, bukan sedang berkumpul yang menyenangkan, melainkan membosankan. Orang-orang ini sedang mengantre membeli BBM jenis Pertalite.

Sejak pemerintah menaikkan harga BBM Pertalite dari 7.650 rupiah per liter menjadi 10.000 rupiah per liter; solar subsidi dari 5.150 rupiah per liter menjadi 6.800 rupiah per liter; Pertamax  nonsubsidi dari 12.500 rupiah menjadi 14.500 rupiah per liter pada 3 September, kehidupan masyarakat berubah.

Sebenarnya budaya mengantre BBM sudah ada sejak dulu. Tapi kini antrean bertambah semakin panjang oleh sebab pengendara motor enggan membeli Pertamax dan lebih memilih membeli Pertalite. Alasan mereka rasional: selisih harga per liter Pertalite dan Pertamax hampir mencapai 50 persen. Jika mereka membeli dua liter Pertamax, maka uang yang akan mereka keluarkan adalah 29.000 rupiah. Namun jika mereka membeli dua liter Pertalite, mereka hanya akan mengeluarkan uang sebesar 20.000 rupiah.

Beda 9.000 rupiah sungguh berarti bagi mereka. Mereka di sini adalah masyarakat pada umumnya yang berpenghasilan kurang dari UMR dan UMK. Meskipun demikian beberapa orang yang penghasilannya di atas UMR pun ikut mengantre Pertalite. Kiranya mereka pun merasa bahwa selisih 9.000 rupiah pun berarti.

Mereka mengantre lama sehingga waktu mereka pun banyak terbuang di SPBU. Anak-anak SMA jadi terlambat pergi ke sekolah, pegawai-pegawai pabrik dan sebagian ASN pun demikian. Akibatnya kedisiplinan masuk ke sekolah atau pabrik atau kantor tepat waktu berkurang. Tingkah laku mereka menyiratkan pesan bahwa menghemat uang lebih baik daripada terlambat.

Yang menjadi pertanyaan adalah: kalau alasan mereka memilih membeli Pertalite daripada Pertamax adalah karena lebih murah supaya dapat berhemat, apakah sebelumnya mereka sudah berhemat? Jangan-jangan mereka tak dapat mengatur uang dan memboroskannya sehingga ketika BBM naik mereka merasa harus berhemat dengan cara membeli Pertalite meskipun artinya harus terlambat ke sekolah, pabrik atau kantor.

Sungguh menggelikan andai kata mereka menghemat uang dengan cara membeli Pertalite, tapi pada waktu lain yang tak terpaut jauh mereka membeli barang-barang mahal—yang mereka sendiri pun tak suka—hanya untuk diunggah di media sosial supaya dipuji orang-orang yang padahal orang-orang ini tak akan peduli.

Perbedaan panjang antrean antara Pertalite dan Pertamax sangat jauh. Antrean Pertamax sangat lengang. Siapa pun yang menyaksikan pemandangan di SPBU Cikancung akan langsung dapat membedakan mana orang kaya dan mana orang miskin.

Tapi hal itu tidak mutlak. Ada juga orang miskin yang membeli Pertamax. Mereka membeli Pertamax bukan untuk bergaya, tapi untuk mengemat waktu. Bagi mereka waktu adalah segalanya. Ada juga orang kaya yang membeli Pertalite. Alasan mereka membeli Pertalite adalah karena mereka ingin menghemat uang.

Baca Juga: Doa dari Taman Cikapayang atas Tragedi Kanjuruhan
Penjualan Kaus Solidaritas untuk Dago Elos
Mengaji Aksara Sunda

Antrean Pertalite dan Media Sosial

Antrean panjang Pertalite tidak hanya terjadi di SPBU Cikancung. Di seluruh Indonesia pun demikian. Antrean panjang ini pun tidak terjadi setiap waktu. Hanya pada waktu-waktu tertentu di mana orang-orang berangkat ke sekolah, pabrik atau kantor. Demikian juga saat mereka pulang.

Antrean ini pun dapat menjadi semacam fakta bahwa orang-orang Indonesia masih dikendalikan uang dan bukan sebaliknya.

Mengelola uang sungguh sulit. Apalagi sekarang kita hidup di era segala sesuatu harus diunggah di media sosial yang mana berdampak pada pengeluaran yang semakin banyak untuk biaya foto atau video (membeli barang atau liburan ke suatu tempat) yang hendak diunggah, sebab ini merupakan kebutuhan baru orang-orang. Pengeluaran yang semakin banyak ini menuntut orang-orang untuk semakin dapat mengelola uangnya.

Pengelolaan ini dimaksudkan agar mereka dapat berhemat dalam mengeluarkan uangnya hanya untuk hal-hal yang benar-benar mereka butuhkan, sebab sekarang sangat sulit untuk membedakan mana hal yang penting dan tidak.

Ketidaktahuan ini menciptakan masalah besar. Mereka menjadi boros untuk hal-hal yang sama sekali mereka tak perlu boroskan. Malah, mereka menjadi sangat pelit jika berkaitan dengan kebutuhannya sendiri. Tidak menuruti perintah dosen untuk membeli sebuah buku, misalnya.

Mereka menganggap uang 50.000 ribu untuk sebuah buku adalah sesuatu yang mahal, tapi menganggap makan di kafe yang sedang trend yang harga menu-menunya di atas 50.000 rupiah murah. Padahal mengisi otak sama pentingnya dengan mengisi perut. Atau bahkan bisa saja lebih penting.

Orang-orang sekarang agaknya harus mulai merenungi kalimat Socrates, gnothi seauton kai atau kenalilah dirimu. Mengenal diri berarti mengetahui kelebihan-kelebihan, kekurangan-kekurangan diri termasuk keinginan dan kebutuhan hidupnya. Jika seseorang sudah mengenal dirinya, maka segala tingkah lakunya akan sesuai dengan keadaan dirinya sehingga ia akan lebih mudah dalam mengendalikan dirinya dan menentukan pilihannya termasuk dalam pilihan antara membeli Pertalite yang murah tapi akibatnya terlambat atau membeli Pertamax yang lebih mahal hingga anggaran lain harus dikorbankan.

Untuk dapat menentukan pilihan ini orang harus banyak membaca buku agar pikirannya lebih terbuka—dapat melihat sesuatu dari banyak sudut pandang. Namun jika membaca dirasa berat mereka bisa melihat video-video bermanfaat di Youtube. Jika tidak membaca buku dan melihat video di Youtube, lalu mereka kesulitan mengambil keputusan, itu salah siapa, ia atau dunia?

Para mahasiswa aktivis tentunya akan menyalahkan pemerintah. Padahal sekeras apa pun mereka berdemonstrasi, kenaikan harga BBM pasti akan terjadi—kalau tidak sekarang, nanti. Mereka akan berargumen: pemerintah dulu berjanji tidak akan menaikkan harga BBM, tapi mereka mengingkarinya. Mahasiswa-mahasiswa yang kritis akan mentertawakan mereka. Mereka—para mahasiswa aktivis pun suka lupa akan janjinya terhadap organisasinya sendiri dan mahasiswa-mahasiswa lainnya. Dilihat dari sini, mereka dan pemerintah sama. Sama-sama tidak menepati janjinya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//