1,5 Jam di Angkot Margahayu Ledeng Pascakenaikan Harga BBM
Para sopir angkotlah yang paling pertama merasakan beratnya kenaikan harga BBM subsidi. Kemudian penumpang mengeluhkan segalanya serba naik.
Penulis Reza Khoerul Iman8 September 2022
BandungBergerak.id - Selasa (9/6/2022), hari yang murung bagi sopir angkot di Terminal Ledeng, Kota Bandung. Hari itu pekan pertama diberlakukannya harga baru BBM subsidi jenis Pertalite dari 7.500 rupiah menjadi 10.000 rupiah per liter.
Para sopir angkotlah yang paling pertama merasakan beratnya kenaikan harga BBM subsidi. Pemerintah beralasan harga BBM dinaikkan karena selama ini subsidi lebih banyak dinikmati orang kaya – alasan yang ditanggapi dingin oleh sopir angkot dan warga yang sehari-hari mengandalkan angkot.
Siang itu, Terminal Ledeng masih lengang, atau mungkin sudah biasa lengang. Terminal di perbatasan Bandung utara ini khusus melayani kebutuhan transportasi bagi warga utara menuju pusat kota.
Rute yang dilayani Terminal Ledeng kini terbatas, mulai dari Cicaheum Ledeng hingga Margahayu Ledeng. Terminal ini pernah memiliki bus kota DAMRI jurusan Ledeng Leuwipanjang, namun kini bus DAMRI telah ditiadakan karena alasan sepi penumpang.
Untuk melihat langsung dampak kenaikan harga BBM subsidi, saya mencoba naik angkot Margahayu Ledeng, angkot yang disebut-sebut memiliki rute terpanjang membelah Kota Bandung.
Angkot dengan warna khas biru bermotif kuning itu sudah lama menjadi andalan warga yang ingin ke Kota Bandung. Angkot ini memiliki 21 titik perhentian yang tersebar di antara Terminal Ledeng hingga Terminal Margahayu di selatan.
Saya naik angkot Margahayu Ledeng yang dikemudikan Andrinu Yadin, mantan sopir travel Jawa Bali yang kini berusia 54 tahun. Sekitar pukul 11.40 WIB, Yadin menghidupkan mesin, si biru kuning pun mulai merayap meninggalkan terminal.
Padahal di kursi penumpang baru ada saya, belum ada penumpang lain. Menurut Yadin, siang hari adalah jam-jam yang sepi dari penumpang, banyak warga yang masih sibuk di tempat kerja, anak-anak masih sekolah, atau orang memang merasa bukan saat yang tepat untuk bepergian. Terlebih pemerintah baru saja mengumumkan kenaikan harga BBM.
Yadin pun mengaku belum ada sepeser pun uang yang masuk ke saku celananya. Bukan karena tidak ada penumpang yang naik, tapi sopir asal Garut tersebut baru saja narik angkot hari itu.
Selama perjalanan, Yadin bercerita bahwa angkot Margahayu Ledeng sudah lama ditinggal peminatnya.
Namun yang Yandi dan rekan sesama sopir angkot rasakan, kenaikan harga BBM telah menyesakkan dada. Baru saja ia dan kawan-kawannya dihajar oleh pandemi, kini mereka mesti merasakan pahitnya dampak kenaikan harga BBM.
“Sebelum naik (BBM) juga kita sudah susah sama musibah ekonomi dan Covid. Kalau ibarat penyakit mah baru juga mau sembuh dari situasi Covid, sekarang malah ditimpa lagi sama BBM yang naik. Rakyat mau sembuh dari penyakit, sekarang malah ditimpa lagi. Itu tega amat orang. Apa gak bisa cari solusi lain?” tutur Yandi, sembari mengemudikan kendaraannya.
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Pepatah ini dialami Yandi dan sesama sopir angkot.
Sebelumnya, Yandi dan kawan-kawan sudah resah menghadapi rencana kenaikan harga BBM. Sekarang kabar tersebut bukan hanya sebatas angin lalu.
Dalam sehari, Yandi biasa menjalankan angkot tiga rit atau tiga kali pulang pergi Ledeng Margahayu. Kalau disambung-sambung, jarak yang ia tempuh setara dengan perjalanan Bandung Bogor.
Jarak panjang yang ditempuh Yandi sehari-hari bukan jaminan bahwa pendapatannya panjang juga. Selama sehari ia mesti setor 90.000 rupiah ke perusahaan pemilik angkot.
Sebelum kenaikan harga bensin, ia biasa beli BBM 90.000 rupiah. Tetapi setelah BBM naik, pengeluarannya membengkak menjadi 120.000 rupiah per hari.
Kini total pengeluaran yang harus dikejar Yandi dan sopir jurusan Margahayu Ledeng lainnya adalah 210.000 rupiah per hari, yaitu uang setoran dan membeli BBM. Jika dalam sehari mereka tak mencapai target, maka esoknya mereka harus nombok.
Itu baru pengeluaran pokok. Sebab Yandi dan kawan-kawan tidak mungkin menjalankan angkotnya seharian tanpa makan dan minum.
Tingginya pengeluaran membuat uang yang dibawa pulang tak menentu. Di saat yang sama, anak istri mereka menunggu di rumah.
Kadang ia hanya membawa pulang 50.000 rupiah, tetapi kadang tidak membawa uang sama sekali, bahkan harus nombok. Pendapatan kotornya pun tak menentu, bisa 300.000 rupiah atau 600.000 rupiah atau kurang dari itu.
“Saya juga perlu makan, terus ngasih ke istri sama ketiga anak saya di Garut buat sekolah. Untung istri bantu saya buat pemasukan sehari-hari dengan jualan di sana,” ungkapnya.
Cuma 2.000 Rupiah
“Pemberitahuan. Dengan naiknya BBM bersubsidi kami akan menyesuaikan tarif/ongkos angkot trayek Margahayu-Ledeng mulai hari Senin, 5-09-2022. Harap maklum,” tulis selebaran yang mengatasnamakan pengurus KPU XV, sebagaimana yang tertempel di pintu angkot yang dikemudikan Yandi.
Pemberitahuan tersebut sebagai respons pemilik angkot terhadap kebijakan pemerintah yang menaikan harga BBM.
Angkot yang dikemudikan Yandi sudah melewati dua pemberhentian. Di dalam angkot masih kosong melompong. Baru kemudian setelah melintas Jalan Setiabudi, dua orang ibu beserta kedua anaknya naik. Mereka turun di Pasar Sederhana dan memberikan ongkos sebesar 5.000 rupiah.
“Tuh. Masih ada yang ngasih segini,” ujar Yandi, seraya menunjukkan ongkos yang diberikan oleh kedua ibu tadi.
Padahal sudah selebaran berisi pengumuman kenaikan ongkos sudah ditempel di pintu angkot. Memang pada awalnya, ongkos jarak dekat hanya cukup dengan 2.000 rupiah. Namun setelah BBM naik, ongkos jarak dekat naik jadi 3.000 rupiah.
Sementara untuk jarak perjalanan jauh Margahayu Ledeng, sekarang ongkosnya sudah naik 2.000 rupiah dari ongkos sebelumnya, yaitu 10.000 rupiah.
Keluhan dampak kenaikan harga BBM tidak hanya datang dari Yandi, sang sopir angkot. Indah, seorang ibu yang cukup sering menggunakan angkot Margahayu Ledeng, membenarkan bahwa sebelumnya ongkos Margahayu Ledeng hanya 10.000 rupiah.
“Segala naik sekarang mah. Dulu saya hanya perlu mengeluarkan ongkos sebanyak 8.000 rupiah, kemudian perlahan naik hingga sekarang menjadi 12.000 rupiah. Belum lagi di pasar, harga bahan-bahan pokok juga pada naik. Sementara gaji gak naik-naik,” tutur Indah yang merupakan pensiunan dari sebuah bank.
Yandi pening menghadapi perubahan besar akibat kenaikan harga BBM. Di kepalanya berputar-putar bagaimana harus mengejar uang setoran, biaya bensin, makan, biaya bulanan, ongkos sekolah anaknya, dan kebutuhan istri serta sanak keluarganya.
Meski demikian, Yandi mengaku ia dan sopir lainnya tidak bisa melawan pemerintah. Mereka hanya bisa pasrah. Untungnya masih banyak juga para penumpang yang mengerti dengan keadaan yang sedang mereka hadapi.
Tak terasa, perjalanan kami telah menempuh 20 kilometer yang memakan waktu satu setengah jam. Kami tiba di Terminal Margahayu pada pukul 13.10 WIB.
Terminal tidak ramai namun juga tidak terlalu sepi. Total ada 18 orang yang naik ke angkot Yandi. Jumlah tersebut sudah bagus baginya. Dengan wajah semringah, ia menunjukkan uang 98.000 rupiah.
Yandi yang sudah diberitahu bahwa saya jurnalis, mengaku tidak bisa mengantarkan saya kembali ke Ledeng. Sebab setibanya ke Terminal Margahayu, ia masih harus menunggu antrean terlebih dahulu yang lamanya bisa mencapai satu jam. Begitu aturan mainnya.
Baca Juga: Aliansi Sipil Bandung Menolak Sosialisasi Formalitas RKUHP, Mahasiswa Kembali Turun ke Jalan Menyerukan Pembatalan Kenaikan Harga BBM
Bandung Smart City Sayup-sayup di Cicaheum
Kenaikan Harga BBM, Pukulan Serius bagi Dunia Pendidikan di Bandung
Suka Duka Sepanjang Jalan
Angkot dari Terminal Margahayu yang menemani saya ke Ledeng dikemudikan Rusman. Perawakan pria setengah baya ini kecil, namun ia cukup temperamental terutama ketika mendapati penumpang yang memberi ongkos dengan tarif lama.
“Sudah naik, Bu. Enggak cukup kalau cuma 2.000 rupiah mah,” ucap Rusman, kepada ibu-ibu yang memberi ongkos di bawah standar yang telah ditetapkan.
Bagi Rusman, menjadi sopir angkot berarti harus menempuh jalan hidup yang sulit. Perihal ongkos, ia merasa serba salah ketika ada penumpang yang memberikan ongkos terlalu kecil. Di satu sisi ia membutuhkan ongkos yang cukup besar untuk memenuhi kewajiban hariannya, di sisi lain kadang ia juga merasa tak tega memberitahu anak sekolah atau orangtua yang ongkosnya kurang.
Sopir angkot juga kerap menghadapi beragam karakter penumpangnya. Yandi, sopir sebelumnya yang menemani perjalanan saya, angkotnya pernah dimasuki anak-anak jalanan. Kalau mereka tidak mengganggu sebetulnya tidak apa-apa, namun apabila menimbulkan ketidaknyamanan penumpang lainnya, maka yang rugi adalah sopir angkot.
Bahkan angkot yang saya naiki dicegat orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) saat berhenti di persimpangan Kiaracondong dan Jalan Jakarta. ODGJ tersebut masuk tiba-tiba dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi para penumpang lainnya.
Meski demikian, lagi-lagi yang hanya dapat sopir angkot lakukan hanya bersabar menjalani dan menghadapi. Meskipun kesejahteraan mereka kian hari kian tergerus, mereka tetap melakukan pekerjaan tersebut semaksimal mungkin.
Di antara deretan duka sopir angkot karena naiknya harga bensin, ada hiburan kecil yang cukup memberi mereka oase, yaitu ketika mereka sudah sampai di terminal. Saat itulah para sopir berkumpul untuk bercengkerama sambil menghilangkan penat. Nasib telah menyatukan mereka. Menunggu kapan pemerintah berpihak.