• Berita
  • Kenaikan Harga BBM, Pukulan Serius bagi Dunia Pendidikan di Bandung

Kenaikan Harga BBM, Pukulan Serius bagi Dunia Pendidikan di Bandung

Pemkot Bandung mengisyaratkan keprihatinannya dengan inflasi yang akan memicu turunnya daya beli masyarakat. Di sisi lain, dunia pendidikan semakin suram.

Guru memandu murid selesaikan tugasnya di SDN 025 Cikutra, Bandung, Jawa Barat, Jumat (2/9/2022). Kenaikan harga BBM akan berdampak pada tingginya biaya pendidikan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana8 September 2022


BandungBergerak.idSetelah dua tahun penuh dipukul pagebluk Covid-19, kini warga memikul beban baru berupa inflasi, yaitu kenaikan harga barang dan jasa akibat naiknya harga BBM subsidi. Warga di desa maupun kota akan merasakan pahitnya kebijakan pemerintah ini. Di Kota Bandung, Pemkot mengisyaratkan keprihatinannya dengan inflasi yang akan memicu turunnya daya beli masyarakat.

Menurut Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, kondisi saat ini berat. Sebab, di tengah upaya pemulihan berbagai sektor khususnya ekonomi akibat pandemi Covid-19, masyarakat kembali dihadapkan dengan tantangan baru pascakenaikan harga BBM. 

Hanya saja menurut Yana, kenaikan harga BBM yang sudah menjadi keputusan pemerintah pusat yang harus dikawal bersama.

"Kita semua turut merasakan bagaimana beratnya kondisi saat ini. Namun, sebagai warga, kita juga berkewajiban untuk mematuhi dan turut mengawal apa yang sudah diputuskan pemerintah pusat," ungkap Yana di Balai Kota Bandung, dalam siaran pers yang dikutip hari ini, Kamis (8/9/2022). 

Namun Pemkot Bandung pun bagian dari pemerintahan yang memang bertugas mengawal kebijakan pusat. Pemkot Bandung tidak cukup hanya menyatakan turut merasakan beban warga. Diperlukan langkah konkret untuk membantu warga dengan program-program tepat sasaran, menjangkau masyarakat menengah ke bawah yang paling terpukul dengan kenaikan harga BBM ini.

Sulit untuk tidak menduga bahwa kenaikan harga BBM ini tidak akan menambah angka kemiskinan baru di Kota Bandung. Sebelumnya, pandemi telah mendongkrak angka kemiskinan di Kota Bandung. Pada tahun 2021, angka kemiskinan sebanyak 112,5 ribu orang (4,37 persen), dengan kasus kemiskinan ekstrem sebesar 1.920-an jiwa. 

Dampak serius lainnya terjadi pada ranah pendidikan. Pada pagebluk kemarin, banyak anak sekolah di Bandung yang mengalami putus sekolah. Penyebabnya beragam, mulai dari ditinggal pergi orangtua yang terenggut Covid-19, PHK yang membuat penghasilan orangtua menurun, dirumahkan dengan penghasilan tidak utuh, usaha mereka terkena pembatasan PPKM, dan seterusnya.

Pemkot Bandung memang berancang-ancang mengalokasikan program perlindungan sosial terhadap dampak inflasi karena kenaikan harga BBM subsidi dengan menyiapkan dana 9,2 miliar rupiah. Sekretaris Daerah, Ema Sumarna mengatakan, dana ini akan dicairkan selama tiga bulan ke depan dari Oktober-Desember 2022.

Dana ini akan digunakan untuk program padat karya, bantuan produktif usaha mikro, dan efisiensi Trans Metro Bandung (TMB) agar tidak menaikan tarif, pasar murah di 30 kecamatan. Namun di bidang pendidikan, Ema hanya menyebut operasional bus sekolah yang tetap gratis.

"Dengan adanya peluang seperti ini, maka ritasinya kita kembalikan ke awal. Dengan catatan untuk tidak ada potensi kenaikan tarif. Termasuk juga bus sekolah tetap gratis dan operasionalkan," jelas Ema, dikutip dari siaran pers, Rabu (7/9/2022).

Berkaca dari dampak pandemi kemarin, banyak anak-anak Kota Bandung yang rawan putus sekolah. Di sisi lain, data statistik menunjukkan bahwa jenjang pendidikan sumber daya manusia (SDM) Kota Bandung belum mencapai target minimal minimal 12 tahun (minimal sampai SMA).

Jika melihat data BPS Kota Bandung tahun 2021, Pemkot Bandung memiliki pekerjaan rumah serius di bidang pendidikan. Ada 18.581 warga Kota Bandung yang tergolong tidak atau belum tamat SD, kemudian ada 28.379 warga yang tamat SMP, dan warga yang sampai SMA sebanyak 41.386 orang.

Jumlah warga Bandung yang tamat diploma lebih sedikit, yakni 6.656 orang, dan universitas 21.538 orang.

Belum lagi Kota Bandung menghadapi ledakan jumlah penduduk setiap tahunnya. Menurut BPS Kota Bandung, pada 2021 pertumbuhan penduduk Kota Bandung bertambah 0,45 persen menjadi 2.452.943 jiwa. Dari jumlah tersebut, penduduk usia sekolah dasar sampai SMA mencapai 568.987 jiwa.

Baca Juga: Aliansi Sipil Bandung Menolak Sosialisasi Formalitas RKUHP, Mahasiswa Kembali Turun ke Jalan Menyerukan Pembatalan Kenaikan Harga BBM
Menaikkan Harga BBM Menyengsarakan Warga yang tak Punya Kendaraan
Mahasiswa Bandung Menuntut Penurunan Harga BBM

Mahasiswa saat aksi menolak kenaikan harga BBM di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Barat di Bandung, Rabu (7/9/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Mahasiswa saat aksi menolak kenaikan harga BBM di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Barat di Bandung, Rabu (7/9/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Angka Putus Sekolah Persoalan Lama di Bandung

Sudah lama Pemkot Bandung menargetkan pendidikan minimal warganya adalah 12 tahun. Dalam penelitian ilmiah yang dilakukan Irna Adiba, pada 2017 tingginya angka putus sekolah juga merupakan isu yang mengancam anak-anak di Kota Bandung [Kompetensi Pemahaman Matematis dan Motivasi Belajar Anak Jalanan Putus Sekolah di Kota Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia, 2017].

Tahun tersebut, Dinas Pendidikan mencatat 98.700 siswa rawan meneruskan sekolah. Padahal rata-rata lama sekolah warga kota Bandung hanya sekitar 10,81 tahun dari data di tahun 2014.

“Hal ini jauh dari target pemerintah kota Bandung yang menginginkan warganya mendapatkan pendidikan minimal 12 tahun,” tulis Irna Adiba, yang diakses Kamis (8/9/2022).

Irna membeberakan data penduduk Bandung 10 tahun ke atas menurut jenis kelamin dan ijazah tertinggi yang dimilikinya, berdasarkan data BPS tahun 2014. Waktu itu, jumlah penduduk Kota Bandung masih di bawah jumlah penduduk sekarang yakni sekitar 2,5 juta jiwa.

Data BPS Kota Bandung itu menunjukkan sebanyak 51,27 persen warga berusia di atas 10 tahun memiliki ijazah hingga tamat SLTP/sederajat, 31,05 persen hanya memiliki ijazah hingga tamat SD/sederajat, dan 10,11 persen tidak memiliki ijazah.

Angka Putus Sekolah Menggejala di Indonesia

Angka pusus sekolah dialami di semua daerah di Indonesia. Bahkan Irna Adiba mencatat, Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka putus sekolah yang tinggi. Menurut data UNICEF tahun 2016, sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan.

Padahal angka putus sekolah merupakan salah satu indikator dalam menentukan mutu pendidikan. “Kondisi pendidikan yang baik di suatu wilayah digambarkan dengan angka putus sekolah yang semakin kecil,” tulis Irna.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//