Siswa Berprestasi di Bandung Terancam tak Bisa Masuk SMA Negeri karena Terganjal Jarak pada Sistem PPDB Jabar
Foto anak berprestasi ketika lulus dari SMP, dipajang di Instagram Dinas Pendidikan Kota Bandung. Sang anak dinyatakan tidak bisa lolos jalur KETM PPDB.
Penulis Iman Herdiana1 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Sejumlah orangtua anak-anak calon murid SMA di Bandung harus berkali-kali melakukan unjuk rasa agar bisa lolos sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Jawa Barat. Anak-anak mereka terancam tidak bisa sekolah di SMA negeri karena tidak lolos jalur KETM PPDB. Mereka diping-pong ke sana ke mari dengan hasil nihil. Akses pendidikan bagi orang miskin sulit didapat.
Mariam Rahayu (39 tahun), termasuk salah seorang dari puluhan orangtua yang memperjuangkan anaknya agar bisa masuk SMA. Sudah berkali-kali Mariam turun ke jalan unuk memperjuangkan hak pendidikan bagi anaknya yang bernama Nuri. Terakhir, ia demonstrasi di depan Gedung Sate, kemudian bergeser ke Dinas Pendidikan Jawa Barat, lalu diping-pong ke Kantor Cabang Dinas (KCD) di Kota Cimahi, Jumat (29/7/2022).
“Dari aksi belum ada hasil,” keluh Mariam Rahayu, saat dihubungi BandungBergerak.id, Jumat (29/7/2022) malam.
Kesulitan yang dialami putri Mariam Rahayu cukup “menarik”. Nuri merupakan anak berprestasi dari SMPN 49 Bandung. Beberapa prestasinya antara lain, nilai matematikanya 100, juara 2 Aksara Sunda, finalis sains Ki Hajar Dewantara Kemendikbudristek.
Bahkan, foto Nuri ketika lulus dari SMP dipajang di instagram sebuah institusi pendidikan Kota Bandung, sebagai siswa berprestasi Kota Bandung. Nuri tampak memegang piala dan piagam.
Namun kenyataannya, Nuri tidak bisa masuk PPDB karena terkendala sistem jarak di mana di rumahnya tidak ada SMA yang terdekat.
Mariam menjelaskan, sebagai siwi berprestasi, putrinya sebenarnya bisa diterima di sekolah negeri menggunakan jalur prestasi. Masalanya, Mariam ingin anaknya memakai jalur KETM [keluarga ekonomi tidak mampu] agar biaya pendidikannya ringan.
Jalur KETM berbeda dengan jalur prestasi. Jalur prestasi meski ada kebanggaan, namun tetap harus membayar dana pendidikan pada saat sekolah.
Mariam mengaku tergolong KETM karena datanya tercatat di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Dinas Sosial Kota Bandung, sebagai syarat untuk menempuh jalur KETM pada PPDB.
Nuri lalu didaftarkan ke SMAN 20 sebagai pilihan pertama, dan SMAN 10 Bandung sebagai pilihan kedua, menggunakan jalur KETM. Tetapi kabar buruk datang, bahwa Nuri tidak lolos sistem jarak PPDB. Nuri kemudian harus masuk jalur zonasi, namun karena masalah jarak itulah Mariam psimis bisa lolos jalur zonasi.
Menurut Mariam, di kawasan rumahnya di Cicadas tidak ada SMA terdekat. Jarak rumahnya di bilangan Cicadas dengan SMAN 20 sejauh 600 meter. Sementara jarak KETM-nya harus 500 meter.
“Kendalanya apakah anak berprestai yang dipakai maskot [oleh Dinas Pendidikan Kota Bandung] pada kenyataannya tidak bisa sekolah?” kata Mariam.
Mariam sudah mengonfirmasi penggunaan foto anaknya di instagram sebuah institusi pendidikan, saat audiensi beberapa waktu lalu. Lembaga yang dikonfirmasi kemudian menjanjikan akan membantu Nuri.
Tetapi hingga kini, lanjut Mariam, belum ada realisasi dari janji tersebut. Sampai berkali-kali ibu-ibu melakukan demonstrasi di depan Gedung Sate, janji tersebut tak kunjung teralisasi. Mariam bertanya-tanya, apakah akses sekolah bagi anak-anak miskin di Bandung memang sedemikian sulitnya, atau sekolah hanya milik orang kaya?
Baca Juga: SDN 5 Cikidang, Riwayatmu Kini
Orangtua Murid Demonstrasi di Gedung Sate, Korupsi Dipermudah Sekolah Dipersulit
Pemkot Bandung Membentuk Tim Percepatan Pembangunan di Masa Jabatan yang Tinggal Setahun, Keputusan Terlambat?
Korban Covid-19
Mariam sehari-hari mengontrak di kawasan Cicadas dengan biaya kontrak 1,5 juta rupiah. Sebelum pandemi, Mariam bekerja dan masih bisa membantu kehidupan rumah tangganya. Namun sejak pandemi, Mariam tidak lagi bekerja.
Biaya hidup saat ini praktis mengandalkan gaji suaminya yang hanya 2 juta rupiah sebulan, yang habis dipakai biaya ngontrak dan makan. Belum lagi biaya listri, air, dan kebutuhan lainnya. Untuk menambal kebutuhan itu, Mariam jualan kecil-kecilan di rumah kontrakannya, yang penghasilannya tak menentu.
“Yang bikin keselnya itu PHP, dijanjikan terus. Kalau [anak saya] ga bisa [masuk sekolah] dari awal harusnya bilang saja. Apakah salah kalau saya orang miskin? Padahal gurunya Nuri yang di SMP bilang, sing sabar kalau pada tauneun mah pada diambil Nuri teh, sekolah [SMA] ga tahu prestasinya,” cerita Mariam.
Selama memperjuangkan anaknya agar bisa masuk sekolah, Mariam bergabung dengan Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) Jawa Barat. Selain Mariam, di forum ini masih ada 23 orang anak kurang mampu yang terancam tidak bisa sekolah karena tidak lolos jalur KETM PPDB.
BandungBergerak sudah mengonfirmasi kepada Dinas Pendidikan Jawa Barat, Dedi Supandi, terkait masalah yang dihadapi Mariam maupun orangtua lainnya yang tergabung dalam FMPP Jawa Barat. Namun, hingga berita ini ditulis, pesan konfirmasi yang disampaikan belum mendapatkan respons.
BandungBergerak sudah mengonfirmasi kepada Dinas Pendidikan Jawa Barat, Dedi Supandi, terkait masalah yang dihadapi Mariam maupun orangtua lainnya yang tergabung dalam FMPP Jawa Barat. Namun, hingga berita ini ditulis, pesan konfirmasi yang disampaikan melalui Whatsapp belum mendapatkan respons.
Akses Warga Miskin dan Jumlah SMA
Untuk diketahui, PPDB SMA di Jawa Barat pengelolaannya di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sedangkan PPDB tingkat SD dan SMP di bawah kewenangan pemerintah kota dan kabupaten.
Menurut laman Kemendikbudristek, data jumlah sekolah SMA di Kota Bandung sebanyak 144 unit, terdiri dari 27 sekolah negeri dan 117 sekolah swasta. Jumlah SMK terdiri dari 119 unit terdiri dari 16 SMK negeri dan 103 SMK swasta. Jumlah SLB setara SMA terdiri dari 45 unit, yakni 3 SLB negeri dan 42 SLB swasta.
Kemendikbudrisetek mencatat total SMA di Jawa Barat sebanyak 1.703 unit. Namun data jumlah SMA ini berbeda dengan yang disampaikan BPS Jawa Barat, bahwa tahun 2021 terdapat 1.667 unit SMA, di Kota Bandung terdapat 139 unit SMA.
Namun kenyataannya, jumlah sekolah tingkat SMA yang ada di Jawa Barat maupun Kota Bandung tidak bisa menampung seluruh calon murid. Artinya, ada kekurangan jumlah ruang kelas jika ingin menampung seluruh murid. Selain itu, akses warga miskin juga masih belum menjadi prioritas.