• Cerita
  • Suatu Hari di SLBN A Pajajaran

Suatu Hari di SLBN A Pajajaran

Anak-anak tak bisa tidur menghadapi hari esok, hari pertama sekolah di SLBN A Pajajaran. Semangat melampaui keterbatasan fisik yang ada pada mereka.

Rafa (7) di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Pajajaran, Kota Bandung, pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau20 Juli 2022


BandungBergerak.id - Subuh-subuh sekali sekira pukul 4 WIB, Fidelis (7) sudah bangun lebih dulu dari kedua orang tuanya. Sejak malam ia deg-degan sampai tak bisa tidur karena saking semangatnya bersekolah. Pakaian seragam yang sudah disiapkan sejak akhir pekan, telah ia coba untuk hari pertama masuk sekolah pada Senin (18/7/2022).

“Siap-siap sekolah dari jam 5 subu, dia jam 4 malah sudah bangun duluan. Karena dari semalam itu sudah gak bisa tidur, semangat kan mau sekolah hari pertama,” cerita Uji Setia, ibu Fidelis.

Waktu menunjukkan hampir pukul 7. Fidelis bersama kedua orangtuanya sudah tiba lebih dulu di halaman Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Pajajaran, Kota Bandung. Sejarah baru bagi Fidelis dimulai: masuk pendidikan formal level SD. 

Tampak guru dan perangkat sekolah mulai sibuk mempersiapkan upacara bendera. Siswa siswi yang lain mulai berdatangan. Mereka langsung diarahkan ke lapangan upacara. Fidelis berdiri di antara 5 orang siswa sekolah dasar lainnya. Di barisan lainnya, ada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Mengah Atas (SMA).

Ketika ditanya BandungBergerak.id, tentang hari pertama masuk sekolah, Fidelis menjawab dengan ringan, bahwa ia begitu bersemangat. Siswi yang lahir pada 19 Oktober 2015 itu, bercita-cita ingin menjadi penyanyi.

“Semangat, (mau) jadi penyanyi,” jawab Fidelis, mantap.

Fidelis adalah anak pertama, ia lahir dengan kondisi prematur, pada usia 7 bulan kandungan, dengan berat badan rendah hanya 1,6 kilogram. Ia sempat tinggal di inkubator selama 8 hari, sebelum dipulangkan dari rumah sakit. Seiring berjalannya waktu, Fidelis tumbuh dengan kelaianan di kedua matanya.

Sutiman (35), sang ayah, menceritakan bahwa kelaianan pada mata anaknya mulai diketahui ketika suatu waktu, ia memberikan mainan pada si bayi Fidelis, namun sang anak tak merespons. Tapi ketika mainan dibunyikan barulah ia bereaksi. Dari situlah ia mengetahui ada perbedaan pada mata anaknya. Fidelis menyandang disabilitas netra.

Segala upaya sudah dilakukan penyembuhan mata Fidelis, namun hingga kini belum membuahkan hasil. Dokter menyarankan agar orangtua berfokus pada pendidikan sang anak.

Sutiman dan istri berasal dari Cilacap, Jawa Tengah. Baru berpindah ke Bandung pada 2019 lalu, ketika Sutiman dipindah tugaskan ke Kota Bandung. Istri dan anaknya baru bisa pindah ke Bandung pada 2021 lalu, ketika liburan, Fidelis ternyata merasa nyaman di Kota Kembang sampai ia ingin sekolah di sini.

“Dia bilang, ‘ayah saya pengin sekolah di Bandung saja’. Kenapa minta sekolah di Bandung? ‘Ya pengin sama ayah saja’. Di situ aku nyari sekolah khusus di sini, pas di internet banyak sekolah cuma gak tahu aku kayak lebih sreg ke di sini [SLBN A Pajajaran]. Jadinya coba daftar online di sini, pas Senin kemarin daftar ulang di sini, udah masuk,” urai Sutiman.

Sutiman dan sang istri berharap, pendidikan dapat membantu buah hatinya yang berkebutuhan khusus itu berguna.

“Saya cuma pengin ngebuktiin ke orang-orang kalau misalkan anak disabilitas juga punya masa depan biar ga dipandang sebelah mata sama orang. Intinya sekolah itu penting buat bekal dia ke depannya gimana, gitu saja,” ungkap Sutiman. 

Fidelis (7), pada hari pertama masuk sekolah di SLBN A Pajajaran, Bandung, Senin (18/7/2022). Siswi disabilitas tunanetra ini semangat sekolah. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Fidelis (7), pada hari pertama masuk sekolah di SLBN A Pajajaran, Bandung, Senin (18/7/2022). Siswi disabilitas tunanetra ini semangat sekolah. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Harapan Orangtua

“SLBN A Padjajaran?” “Saya mampu, saya sanggup, saya berhasil, yes.. yes.. yes..”

Semangat dari para siswa siswi menjalani masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) di hari pertama. MPLS dimulai dengan penjelasan sejarah SLBN A Pajajaran. Para siswa mengikuti pengenalan sekolah dengan semangat.

Pukul 09.30 WIB, masa pengenalan bagi siswa SD usai. Sementara siswa SMP dan SMA masih melanjutkan pengenalan sekolah.

“Makanan cokelat koin, minuman macha latte,” jawab Rafa (6), siswa penyandang disabilitas netra lainnya di SLBN A Pajajaran, ketika ditanya salah satu guru tugas makanan yang diberikan oleh kaka kelas, sebelum mengakhiri MPLS.

Rafa, seperti siswa lain di hari pertama masuk sekolah, begitu bersemangat. Dewi Lidyawati (39), ibu Rafa, merasa lega, hari pertama MPLS telah usai dan berlangsung lancar.

Dewi mengungkapkan Rafa memang telah bangun sejak subuh, sama seperti siswa lainnya. Rafa juga tak bisa tidur, karena begitu bersemangat untuk sekolah keesokan harinya.

Rafa ternyata memang sudah cukup aktif, di rumah ia sudah memiliki waktu untuk belajar dan mengaji ke madrasah. Ia cukup rajin berusaha mengasai huruf braille, dan baru bisa membaca sampai huruf K. “Kalau nulis dia bisa A sampai Z, titiknya dia sudah tahu,” ungkapnya.

Ia berharap ke depan Rafa bisa jadi anak yang mandiri dan membanggakan. Minimal bangga untuk dirinya sendiri. “Biar dia bisa punya bekal kedepannya,” ucapnya.

Baca Juga: ITB Terima 1.716 Calon Mahasiswa Termasuk Penyandang Disabilitas dan Lulusan Paket C
Transpuan, Penyandang Disabilitas, dan Persma Berbicara: Jurnalis Mendengarkan
Kapan Penyandang Disabilitas Bisa Mudah Mengakses Pelayanan Administrasi Pemkot Bandung?

Upacara bendera di SLBN A Pajajaran, Kota Bandung, pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Upacara bendera di SLBN A Pajajaran, Kota Bandung, pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

SLBN A Pajajaran Kekurangan Guru

Pada penerimaan siswa baru tahun ajaran 2022/2023 ini tercatat ada 4 siswa baru untuk tingkat sekolah dasar, kemudian siswa SMP ada 4 siswa, dan SMA ada 10 siswa. Saat ini, total siswa yang menempuh pendidikan di SLBN A Pajajaran tercatat ada 71 siswa.

Wali Kelas 1, Syifaa Astuti Nurhidayah mengungkapkan bahwa untuk metode pengajaran pihaknya membagi dua kelas tunanetra, yakni siswa yang murni tunanetra masuk ke kelas Louis Braille, dan siswa tunanetra yang memilki hambatan lebih dari satu atau Multi Disability Visual Impairment (MDVI). Jadi, siswa yang mengalami hambatan intelektual atau pun fisik akan mendapat kelas berbeda.

Metode pembelajaran bagi kedua kelompok siswa juga berbeda. Tunanetra murni untuk pembelajarannya sama dengan lainnya, hanya saja ada perbedaan cara penyampaian materinya. Materi pelajaran harus dideskripsikan dengan baik.

Begitupun dengan siswa tunanetra disertai MDVI, pengajarannya tiap anak diajarkan khusus. Metode untuk anak tunanetra MDVI tidak mendapatkan pembelajaran secara klasikal atau umum, namun menggunakan layanan program pembelajaran individual. Sesuai dengan kebutuhan siswa tersebut.

Tantang mengajar pada siswa berkebutuhan khusus memang berbeda dengan siswa umumnya. Syifaa mengungukapkan bahwa para guru harus lebih banyak mengajar dengan gaya bercerita. Segala sesuatu harus dideskripsikan dengan jelas dan detil.

“Kita lebih story telling lebih banyak, segala sesuatu harus dideskripsikan, misalnya kita jalan-jalan melewati jalanan yang penuh pohon. Jalan tuh kayak apa, kalian tahu pohon, kayak gimana, pasti pemahamannya berbeda. Jadi kita harus menjelaskan juga, jalan itu, pohon itu apa kayak gitu harus dijelaskan banget,” terangnya.

Hingga saat ini total siswa yang memiliki hambatan MDVI tercatat siswa SD ada sebanyak 15 siswa, SMP 6 siswa, dan SMA 3 siswa. Total ada 24 siswa.

Menurut Wakasek Kesiswaan SLBN A Pajajaran, Basuki Raharjo, seharusnya siswa dengan kebutuhan tambahan seperti MDVI ditangani per siswa oleh seorang guru. Namun ia tak menampik kini sekolahnya kekurangan jumlah guru. Beberapa guru yang telah lulus P3K ada yang dipindahtugaskan untuk mengajar di Majalaya, Bogor, dan daerah lainnya.

Tak ideal jika satu orang guru harus menangani empat siswa yang MDVI. Hingga kini total guru ada 45 orang. Untuk mengajar SD, SMP dan SMA. Idealnya, jika guru honorer yang lulus seleksi P3K mestinya tetap ditempatkan di sekolah yang sama.

“Sebetulnya, ya idealnya ketika seperti tadi ada anak MDVI yang lumayan parah yang itu tidak bisa ditangani satu guru, kalau rasionya sekarang 4 banding 2, tapi realitas untuk MDVI itu satu banding satu,” katanya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//