• Berita
  • Bandung Smart City Sayup-sayup di Cicaheum

Bandung Smart City Sayup-sayup di Cicaheum

Narasi Kota Bandung sebagai smart city terasa jauh bagi masyarakat bawah. Program smart city harus membumi agar dirasakan semua kalangan masyarakat.

Situasi Terminal Cicaheum, Kota Bandung, Minggu (5/9/2022). Bandung dicanangkan sebagai kota cerdas (smart city). Program yang tidak mudah mengingat masih banyak sektor yang belum mendapat sentuhan teknologi, salah satunya di bidang transportasi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana8 September 2022


BandungBergerak.idDi balik narasi pembangunan Kota Bandung yang berbasiskan kota cerdas (smart city), ada persoalan mendasar bahwa tidak semua warga Bandung mampu mengakses teknologi digital. Akses terhadap teknologi digital hanya bisa dilakukan kelompok menengah ke atas, sebaliknya kelompok bawah tidak demikian.

Hal itu sejalan dengan hasil temuan tim pengabdian masyarakat ITB tentang pemanfaatan teknologi informasi dan media sosial di masyarakat Cicaheum, Kota Bandung, dikutip dari laman ITB, Kamis (8/9/2022).

Pengabdian masyarakat ITB dilatarbelakangi bahwa era perkembangan instrumen Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) kini erat kaitannya dengan seluruh lapisan masyarakat.

Apabila dimanfaatkan dengan baik, TIK akan berdampak positif terhadap peningkatan pemberdayaan sektor pendidikan dan perekonomian di daerah urban, maupun rural. Kendalanya, masyarakat bawah tidak bisa mengakses TIK ini.

Adit Kurniawan, dari Kelompok Keahlian Teknik Telekomunikasi, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, menjelaskan bahwa kesenjangan kemampuan masyarakat dapat terjadi karena faktor kemiskinan, buta aksara, kurangnya kemampuan menggunakan gawai, serta hambatan bahasa.

“Secara khusus, mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengeksploitasi potensi dari TIK baru,” jelasnya.

Di sisi lain, latar belakang dan sosio-kultural kelompok masyarakat tersebut juga menjadi tantangan tersendiri. Sering kali, pemanfaatan TIK ditafsirkan secara berbeda-beda, bahkan cenderung menyesatkan.

Menurut Bank Dunia, masyarakat menengah ke bawah perlu mendapatkan perhatian lebih sebagai pengguna informasi, dengan memberikan pelatihan-pelatihan yang relevan dan mudah dipahami. Intervensi TIK dapat diarahkan pada pemberdayaan secara ekonomi dengan memanfaatkan potensi teknologi, seperti jaringan koperasi di Indonesia yang berperan besar apabila didukung oleh akses TIK yang mumpuni.

Kondisi Warga Cicaheum

Tim pengabdian masyarakat ITB yang terdiri atas dua mahasiswa Teknik Telekomunikasi ITB dan dosen, menjalankan program pengabdian masyarakatnya di RW 07, Kelurahan Cicaheum, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung.

Melalui pendampingan ini, warga mendapat edukasi dalam pemanfaatan teknologi informasi dan media sosial. Harapannya, masyarakat dapat menerima binaan yang berkelanjutan karena adanya dinamika perkembangan TIK yang pesat.

“Adapun indikator dari pengabdian ini adalah peningkatan kualitas hidup, kecerdasan dalam mengolah informasi, serta reputasi dan apresiasi masyarakat kelas bawah terhadap perguruan tinggi, terutama ITB,” lanjut Adit.

Warga diberikan bimbingan, pelatihan, dan ceramah terkait penggunaan TIK, serta modul-modul yang berisi panduan dalam menggunakan marketplace sebagai kanal pemasaran produk secara daring. Penyuluhan ini merupakan kontribusi yang sangat berarti bagi masyarakat Kelurahan Cicaheum dalam merevitalisasi kondisi sosioekonominya, terutama yang mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19.

Secara umum, kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini diikuti oleh peserta yang berdomisili di dekat Masjid Al-Hidayah sebagai tempat pelaksanaan pelatihan tatap muka. Dalam kesehariannya, mereka terbiasa menjajakan produk rumahan menggunakan meja-meja kecil atau gerobak kaki lima.

Pemanfaatan teknologi daring melalui berbagai aplikasi diharapkan dapat meningkatkan omzet penjualan dan memperluas jangkauan pemasaran, hingga akhirnya kesejahteraan masyarakat pun meningkat.

Kegiatan diawali dengan diskusi dalam grup WhatsApp Jamaah Masjid Al-Hidayah, yang kemudian dikerucutkan pada adanya kebutuhan warga untuk memperoleh pelatihan tentang marketplace. Setelah mendata jumlah peserta yang bersedia ikut, rapat koordinasi dengan pengurus DKM masjid pun dilakukan sebagai upaya integrasi dengan program internal masjid.

Pelatihan pun akhirnya dilakukan setiap Jumat sore selama 6 minggu. Kontinuitas program kemudian dipantau dan dikomunikasikan melalui grup masyarakat dan narasumber.

Peserta pelatihan mengaku sangat terbantu dengan peran serta para pelaksana dalam mengajarkan kiat menggunakan aplikasi pada perangkat smartphone untuk menjual produk-produk secara daring. Melalui kontribusi dalam mengatasi masalah akses TIK, masyarakat dapat berangsur-angsur bangkit dari keterpurukan dengan dukungan tim ITB.

Baca Juga: Demam Istilah Smart City Dilihat dari Masalah Cekungan Bandung
Warga Bandung Keberatan dengan Rencana Kenaikan Tarif PDAM Tirtawening
Jatuh Bangun Pusparita Tedjasari Merawat Bangunan Cagar Budaya dengan Hasil Berjualan Kue

Smart City untuk Siapa?

Konsep smart city Kota Bandung tujuannya untuk kualitas hidup masyarakat yang lebih baik, seperti disampaikan Sekretaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna pada FGD Review Kebijakan Smart City Bandung di Balai Kota Bandung, Kamis (1/9/2022).

Wujud dari konsep ini adalah pelayanan publik dengan pendekatan digital, seperti pelayanan di bidang perizinan, kependudukan, kepegawaian, dan layanan di SKPD lainnya.

"Kota cerdas terutama dari segi pelayanan dan pembangunan berbagai teknologi. Maka dengan itu, berbagai inovasi, kolaborasi hadir untuk memberikan pelayanan yang maksimal," kata Ema Sumarna.

Dengan kata lain, tujuan smart city bermuara pada kepentingan masyarakat. Bandung sebagai smart city artinya memfasilitasi warganya dalam mengakses layanan yang mudah berbasiskan teknologi.

Maka dari itu, semua warga Kota Bandung mesti didekatkan dengan layanan smart city ini. Cara yang bisa dilakukan bermacam-macam, salah satunya bisa dengan pendekatan yang telah ditempuh oleh tim pengabdian masyarakat ITB di Cicaheum, atau dengan cara lainnya.

Karena dengan cara demikian istilah smart city bisa membumi di masyarakat, tidak hanya predikat yang dibangga-banggakan secara nasional atau pun internasional. Membumikan kota cerdas lebih penting daripada predikat atau penghargaan.

Akademisi Universitas Telkom, Ryan Adhitya Nugraha mengatakan, salah satu yang menjadi poin penting yang harus dikembangkan dalam roadmap smart city Kota Bandung adalah melibatkan seluruh stakeholder yang di dalamnya ada masyarakat.

Ryan juga menggarisbawahi bahwa yang namanya kota cerdas tidak melulu menyangkut teknologi digital, melainkan lebih pada bagaimana menyiapkan tata kelola birokrasi yang cerdas dan sanggup mengubah budaya masyarakat lebih cerdas lagi.

"Cerdas bukan hanya teknologi lebih luas menyiapkan infrastruktur, tata kelola, mengubah budaya dan menyiapkan sumber daya manusia. Inovasi bukan hanya digitalisasi, tapi inovasi yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat," tutur Ryan Adhitya Nugraha

Editor: Redaksi

COMMENTS

//