Memasak di Depan Gedung DPRD Jabar, Protes Kenaikan Harga BBM Berdampak pada Mahalnya Biaya Sekolah
Selain mendongkrak harga kebutuhan pokok, kenaikan harga BBM membuat biaya pendidikan ikut melambung. Cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa terbentur biaya.
Penulis Emi La Palau22 September 2022
BandungBergerak.id - Api menyala kecil dari kompor portabel. Di atasnya terpanggang ikan asin. Tak ada minyak goreng, sehingga ikan asin harus dibakar. Minyak goreng yang ada di pasaran harganya mahal akibat naiknya harga BBM.
Neni (48), perempuan di balik kompor tersebut, terus memasak. Sementara ibu-ibu lainnya, di antara mereka ada yang memboyong anak, memegang poster tuntutan. Aksi simbolik yang menyindir pemerintah karena menaikkan harga BBM ini digelar di depan Gedung DPRD Jabar, Bandung, Kamis (22/9/2022).
“Kenapa zaman sekarang korupsi dipermudah sekolah dipersulit,” demikian salah satu poster yang mereka usung. “Cabut Pergub no 44 karena dianggap mendiskriminasi masyarakat miskin,” demikian tuntutan lainnya.
Tak hanya membawa poster tuntutan. Mereka juga memboyong peralatan dapur. Wajan, panci, sendok, kompor, juga bahan dapur lainnya. Nasi, ikan asin, mie goreng, tak lupa kerupuk.
Aksi ini dilakukan orangtua siswa yang didominasi ibu-ibu. Mereka tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) Jawa Barat. Mereka bergabung dengan Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) dan Gerakan Masyarakat Pemantau Pendidikan untuk Reformasi (Gempur).
Tingginya biaya sekolah membuat mereka turun ke jalan. Hidup mereka sudah lama terbebani. Kini ditambah dengan kebijakan kenaikan harga BBM yang kemudian mendongkrak kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.
Neni yang berperan memasak, memiliki tiga orang anak, dua di antaranya masih sekolah, anak keduanya masih kelas 1 di sekolah menengah kejuruan (SMK). Si bungsu masih kelas 4 sekolah dasar. Sementara si sulung sedang duduk di bangku kuliah dan cukup beruntung karena mendapatkan bantuan.
Yang membuat berat Neni yakni biaya ongkos sekolah kedua anaknya yang masih SD dan SMK. Neni adalah ibu rumah tangga. Ia mengandalkan penghasilan suami yang sehari-hari sebagai buruh bangunan dengan upah 150 ribu rupiah per hari. Pemasukan ini tak cukup untuk menutup biaya mereka sehari-hari, termasuk biaya sekolah anak-anaknya.
Meski anaknya masuk lewat jalur afirmasi dari keluarga tidak mampu sehingga tak perlu membayar biaya gedung, namun beberapa biaya lain mesti ditanggung. Anaknya di SMK harus membayar uang seragam yang dirasa cukup memberatkan, nilainya mencapai 1,9 juta rupiah.
Dari uang tersebut anaknya akan mendapatkan enam jenis seragam, mulai dari baju putih abu-abu, baju muslim, baju batik, baju olahraga, baju laboratorium, dan beberapa lainnya. Juga alat praktik lainnya. Neni, terpaksa mesti menyicil dengan keterbatasan anggaran yang dimiliki.
Maka ketika BBM naik, pengeluaran Neni membengkak. Harga-harga kebutuhan dapur melambung, biaya ongkos sekolah anaknya juga naik. Sehari ia mesti membekali 50 ribu untuk anaknya. Uang tersebut dipakai anaknya untuk membayar ongkos angkutan umum atau ojek online dari rumahnya di Hegarmanah ke sekolahnya di daerah Ciliwung.
“Untuk biaya beli baju, jadi mereka (sekolah) tidak memberatkan boleh dicicil. Tapi kalau bagi kami yang ga punya tetap saja, dicicil juga berat. Kalau bagi pegawai bangunan gimana, belum bayar ini itu, anak tiga. Sekolah harus ongongkos, jajan anak sekolah, masa orang lain jajan anak kita enggak,” ungkapnya kepada BandungBergerak.id, ditemui di lokasi.
Meski begitu ia masih was-was dengan biaya yang mesti dikeluarkan ke depan. Ia berharap ke depan tak ada biaya yang mesti dibayarkan hingga akhir sekolah.
“Dan anak-anak yang belum punya seragam kalau praktik semoga bisa mengikut pelajaran praktik itu. Karena mereka juga bukan ga mau beli baju, karena keadaan yang seperti ini,” ujarnya.
Para Ibu Saling Mendukung Turun Aksi
Orangtua yang turun berunjuk rasa bukan saja dari yang memilikki anak di tingkat SMA dan SMK. Hadir pula orangtua yang anaknya masih di SMP dan SD.
Nur (32) salah satunya. Ia datang dengan momboyong bayinya yang masih 7 bulan. Ia datang dari kawasan Antapani naik angkot. Ia merasa perlu turun untuk sama-sama mendukung aspirasi para ibu lainnya.
“Saya memperjuangkan teman-teman yang SMA. Ya karena memperjuangkan ini pendidikan, kesulitan biaya,” ungkapnya.
Nur sendiri memiliki empat orang anak. Anak pertama masih duduk di bangku SMP, anak keduanya kelas 4 SD, anak ketiga kelas 1 SD.
Membiayai tiga orang anak yang bersekolah tentu tak mudah. Suami Nur hanya bekerja sebagai buruh konveksi, jika kerjaan sedang banyak maka ada uang yang bisa dibawa pulang. Namun jika tidak, maka tak ada kerjaan.
“Ngerasain harga-harga naik, kepentok, dan biaya sekolah. Biaya sekolah tiga anak berat. Suami gak tentu gajinya, soalnya borongan, kalau banyak ada, kalau ga ada kerjaan ya ga ada,” ungkapnya.
Menurutnya, pengeluarannya dalam sebulan untuk membiayai anak-anaknya sekolah lebih dari 2 juta rupiah. Yang memberatkan adalah biaya sehari-hari.
“Keperluan beli buku, memang gratis (sekolah) cuman biaya sehari-harinya. Biaya yang dibutuhin untuk SMP buat ongkos sehari-hari buat bekal, SD juga sama. Cuma sekarang ga cukup SD juga sama jajanannya kayak SMA,” katanya
Nur berharap, pemerintah lebih bijak dalam memberikan bantuan pendidikan kepda warga. Harapannya warga miskin menjadi prioritas.
Lilitan Biaya Sekolah yang Memberatkan
Meski masuk lewat jalur afirmasi, masih banyak siswa dari keluarga yang tak mampu harus mengeluarkan biaya tambahan. Contohnya biaya seragam. Jika tidak membeli seragam, konsekuensinya bisa tidak mengikuti ujian tengah semester.
Ada dari mereka yang dituduh masuk dengan hasil suap sehingga dimintai bayaran dari pihak sekolah. Seperti yang dirasakan Riska (39). Anaknya diterima melalaui jalur afirmasi dibantu oleh FMPP. Ia dituduh membayar sejumlah uang kepada FMPP. Sehingga pihak sekolah meminta bayaran 7-9 juta rupiah. Namun, ia berhasil menjelaskan bahwa memang pihaknya dari keluarga yang tak memiliki cukup biaya.
Atas kesalahpahaman tersebut, anaknya sempat terlambat masuk sekolah. Ketika siswa lain telah mulai belajar sejak Juli. Anaknya baru bisa masuk 30 Agustus. Beruntung setelah menandatangani surat kuasa, pihak sekolah tak lagi meminta bayaran.
“Jadi kita lewat jalur FMPP, kita swasta ga mampu bayar, PPDB 2 gak masuk. Dibantu oleh FMPP masuk. Kita dituduh pakai uang, jadi pihak sekolah juga minta akhirnya,” ungkapnya.
Menurutnya, ada tudingan bahwa dirinya memberikan uang 12 juta ke Forum Masyarakat Peduli Pendidikan. Padahal FMPP tidak memungut biaya dalam memperjuangkan orangtua.
“Ujung-ujungnya dimintain uang. Pertama masuk paling terakhir padahal di Dapodik sudah ada. Pemberitahuan masuk 19 Agustus tapi baru dipanggil 26 Agustus. Dan itu pun disuruh mundur masuknya,” ceritanya.
Lain lagi cerita Wini (42), anaknya yang bersekolah di SMK negeri melalui jalur afirmasi merasa seperti dianaktirikan. Ia tak diikutsertakan dalam rapat uang bangunan. Menurutnya, meski dari keluarga yang tak mampu dan menggunakan DTKS, keluarga siswa tetap harus dirangkul.
“Yang disayangkan tidak mengikutsertakan saya meskipun memakai surat DTKS. Tidak diikutsertakan dalam rapat uang bangunan. Memang saya tidak akan bayar karena DTKS. Kenapa tidak diranggkul, apa karena saya tidak mampu, tidak diikutsertakan,” ungkapnya.
Wini juga keberatan dengan biaya seragam, seperti seragam praktik di laboratorium. Siswa yang tidak memiliki seragam tidak bisa ikut serta praktik di laboratorium. Hal ini menjadi beban tersendiri bagi anak dan orangtua.
Menurutnya, biaya total hanya untuk seragam dan sepatu bisa mencapai 1,5 juta rupiah hingga 1,8 juta rupiah. Belum lagi dengan ongkos dan jajan.
“Saya ga mampu, saya minta cicil awalnya ga bisa. Beli satu-satu di koperasi. Beli dulu ini, sedangkan untuk praktik itu hari Senin, makanya sangat disayangkan. Sampai datang sekolah ga bisa praktik anak jadi down bukannya semangat,” cerita Wini.
Baca Juga: SUARA SETARA: Mencari Pendidikan yang Mengabdi pada Rakyat
Mati Suri Kelas Tatap Muka, Pendidikan Karakter Terancam Hilang
Konflik Kebijakan Mengorbankan Hak Pendidikan Kawan Disabilitas SLBN A Pajajaran
Tuntutan Massa Aksi
Ketua Forum Masyarakat Peduli Pendidikan, Illa Septiawati mengungkapkan aksi damai kali ini menuntut agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencabut Pergub nomor 44 tahun 2022 yang dinilai sangat tidak berpihak pada masyarakat dan berpeluang menciptakan pungutan dari sekolah kepada orangtua.
FMPP juga menuntut agar Komite Sekolah dibubarkan. Komite dinilai tak berpihak pada orangtua siswa dan dikhawatirkan menjadi ladang bisnis di sekolah.
“Orangtua siswa miskin tidak diikutsertakan dalam program rapat sekolah. Karena biar bagaimanapun masyarakat miskin tetap mempuanyai hak mengikutinya. Masyarakat miskin menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan tidak membayar, dibayarkan oleh pemerintah,” katanya.
Sejalan dengan Illa, Ketua FAGI Jabar, Iwan Hermawan mengungkapkan hal yang sama. Pihaknya satu suara meminta agar Pergub no 44 tahun 2022 direvisi. Selain itu, pihaknya dalam audiensi bersama Komisi V DPRD Jabar, Dinas dan Ombudsman, meminta agar pendanaan sekolah dibuatkan Pergub terpisah.
“Mendesak Disdik untuk melakukan revisi Pergub. Kami sepakat dengan teman-teman khusus Pergub pendanaan dibuat pergub khusus untuk pendidikan, berdasarkan pergub ditentukan. Masa ditentukan, sumbangan itu tidak ditentunkan waktu dan besarannya. Ini yang tidak membayar tidak boleh UTS,” ungkap Iwan.
Ia meminta Dinas Pendidikan maupun Gubernur Jawa Barat memberikan sanksi kepada sekolah yang terbukti melakukan komersialisasi pendidikan.