Galau Pendidikan Taman Kanak-kanak di Era Pandemi
Di Bandung terdapat 497 Taman Kanak-kanak (TK) dan 185 Raudhatul Athfal (RA). Masing-masing lembaga pendidikan pra-sekolah tersebut harus menyiapkan PJJ.
Penulis Boy Firmansyah Fadzri8 Juli 2021
BandungBergerak.id - Pemerintah Kota Bandung menunda rencana pembelajaran tatap muka seiring melonjaknya kasus Covid-19. Semua jenjang pendidikan akan kembali menerapkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau sekolah daring. Tak terkecuali jenjang pendidikan prasekolah atau Taman Kanak-kanak.
Di Bandung terdapat 497 Taman Kanak-kanak (TK) dan 185 Raudhatul Athfal (RA). Masing-masing lembaga pendidikan pra-sekolah tersebut harus menyiapkan PJJ bagi sedikitnya 32.000 siswa TK dan RA se-Kota Bandung.
Namun tidak semua orang tua yakin akan kualitas PJJ untuk pendidikan anak prasekolah. Poppy Andriani, seorang ibu dua anak, menganggap PJJ tidak efektif mendidik anaknya. Di sisi lain ia pun khawatir dengan kondisi pandemi saat ini.
Poppy akhirnya memutuskan untuk tidak menyekolahkan anaknya di TK atau setingkatnya dan memilih mengajari anaknya sendiri. “Gak puas kalau PJJ. Selain itu saya melihat situasi juga makin gawat, saya memilih untuk tidak menyekolahkan anak di Taman Kanak-kanak atau setingkatnya. Sayang uangnya juga, mas,” ujar Poppy, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (7/7/2021).
Poppy mengaku rutin memberikan pelajaran anaknya. Harapannya, sang anak mampu menerima informasi seperti di TK.
“Kegiatan anak saya cuma main. Kalau waktunya anak sekolah, saya akan mengajarkannya seperti seolah-olah dia di dalam kelas. Ada absen, diajarkan baca-tulis, kalau salah juga suka dihukum bantuin ibunya cuci piring, cuma sekarang teman sekelasnya hanya guling, bantal dan boneka,” ujar Poppy sambil tertawa.
Sejauh ini Poppy merasa berhasil karena anaknya yang berusia enam tahun sudah bisa membaca dan menulis. Tetapi ia melihat anaknya sedikit kuper (kurang pergaulan). Ia menduga perilaku kuper muncul karena selama pandemi anaknya jarang bertemu orang baru. “Sekalinya ketemu orang kaya malu gitu,” tambah Poppy.
Iwan Hermawan, Ketua Federasi Aksi Guru Indonesia (FAGI), berpendapat bahwa keputusan menunda pembelajaran tatap muka di masa pandemi adalah tepat. Menurutnya, kondisi terkini penyebaran virus Covid-19 mengancam nyawa anak-anak Indonesia.
“Hak hidup menjadi yang pertama, kemudian hak sehat, ketiga baru hak mendapatkan pendidikan. Kalau pendidikannya tidak dapat, bisa dikejar di lain hari,” ujar Iwan Hermawan, saat dihubungi Bandungbergerak, Rabu, (7/7/2021).
Baca Juga: Mati Suri Kelas Tatap Muka, Pendidikan Karakter Terancam Hilang
Ada Celah Risiko Penularan Covid-19 di Uji Coba Pendidikan Tatap Muka Bandung
Perkembangan Anak Alamiah Terganggu
Usia pra-sekolah (4-6 tahun) merupakan masa peka bagi anak. Masa peka adalah masa di mana anak perlu mendapatkan beragam stimulus untuk menunjang tumbuh-kembang anak.
Akan tetapi anak usia prasekolah di masa pagebluk mengalami banyak tantangan. Salah satunya tumbuh kembang alamiah. Di masa sebelum pandemi, anak-anak bisa bermain langsung di TK sejenisnya, berinteraksi dengan teman sebaya atau guru secara langsung, dan seterusnya.
Sebaliknya saat ini, kata Iman Maharani, praktisi pendidikan anak prasekolah berjalan penuh keterbatasan. Salah satunya kendala teknologi.
“Permasalahannya kerap kali apabila melaksanakan zoom meeting, anak cenderung kurang tertarik untuk mengikuti kelas. Maklum namanya juga anak kecil mereka sangat moody,” ujar Iman.
Iwan Hermawan mengingatakan, saat ini saatnya orang tua dan guru berkerja sama menjamin kebutuhan pendidikan pada anak prasekolah. Iwan menyarankan orang tua untuk lebih banyak berinteraksi dengan anaknya, memberikan materi yang berbeda dengan materi yang disampaikan melalui pendidikan formal.
“Orang tua ajarin anak tentang pendidikan informal, misalnya nilai dan moral, guru ajarin anak materi formal,” tambah Iwan.
Iman Maharani sepakat bahwa pendidikan anak usia dini tidak cukup hanya diselenggarakan di level pendidikan formal (lembaga pendidikan). Menurutnya, peran orang tua sangat penting dalam menunjang pendidikan anak usia prasekolah.
Iman mengatakan, selain kebutuhan “asuh" dan “asih”, anak juga memiliki kebutuhan “asah”, yakni kebutuhan untuk merangsang optimalisasi tumbuh kembang anak.
“Anak memiliki kebutuhan stimulus dari lingkungan di sekitarnya. Stimulus diberikan salah satunya melalui interaksi yang intens antara orang tua dan anak,” tambah Iman.
Iman menghimbau kepada orang tua anak pra-sekolah untuk mengoptimalkan pendidikan dari rumah. Melalui interaksi yang merangsang pertumbuhan mental dan fisik anak. Proses pendidikannya bisa dimulai dengan melibatkan anak dalam aktivitas domestik yang sesuai perkembangannya.
“Bisa mulai dari mengikuti kegiatan anak seperti menonton, belajar bersama, beraktivitas bersama seperti olahraga, selain itu penting juga untuk membangun kemandirian anak dengan mengajarkan anak kegiatan domestik keluarga lainnya,” tutup Iman.