Mati Suri Kelas Tatap Muka, Pendidikan Karakter Terancam Hilang
Ada yang hilang dan tak tergantikan dari peran kelas tatap muka. Yaitu pendidikan karakter yang menjalar melalui interaksi langsung di masa sebelum pagebluk.
Penulis Iman Herdiana29 Mei 2021
BandungBergerak.id - Pagebulk Covid-19 yang kini masuk tahun kedua, dianggap tidak lagi hambatan di dunia pendidikan, terutama kampus atau pendidikan tinggi. Sebaliknya, pagebluk menjadi tantangan agar pendidikan tetap berjalan. Sejumlah kampus pun berlomba membangun infrastruktur digitalisasi pendidikan.
Di balik kemudahan penyelenggaraan pendidikan jarak jauh berkat bantuan infrastruktur teknologi, ada yang hilang dan tak tergantikan dari peran kelas tatap muka. Yaitu pendidikan karakter yang menjalar melalui interaksi langsung atau kelas tatap muka. Interaksi adalah kebutuhan asasi manusia sebagai makhluk sosial. Interaksi dalam kelas dan lingkungan kampus atau sekolah nyaris terkubur selama hampir dua tahun pagebluk.
“Secara umum infrastruktur bisa kami atasi. Namun ada dua hal yang saya kira menjadi tantangan tersendiri dalam digitalisasi ini,” ucap Rektor Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Mangadar Situmorang, dalam diskusi bertajuk “Kebangkitan Pendidikan Nasional di Masa Pandemi” yang diadakan Tempo Media Group, Selasa (25/5/2021), dikutip dari laman resmi Sabtu (29/5/2021).
Mangadar Situmorang menyatakan digitalisasi pendidikan saat pandemi mutlak dilakukan. Namun, di antara tingkatan pendidikan yang ada (TK sampai pendidikan tinggi), Manggandar menyatakan perguruan tinggi umumnya lebih siap menghadapi tuntutan digitalisasi era pagebluk.
Tak dimungkiri teknologi tidak dapat menggantikan peran guru, dosen, dan interaksi belajar-mengajar antara peserta didik dan pengajar. Lalu apa yang hilang dari pendidikan digital? Situasi pandemi menjadi tantangan tersendiri bagi kampus, walau tak menutup mata bahwa kultur digital mudah diaplikasikan. Ada yang tergagap-gagap dalam adaptasi, terutama dosen senior.
Pandemi juga mendorong perubahan kultur dari konvensional tatap muka menjadi digital. Hal ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. "Hal itu yang notabene sangat diwarnai oleh digital teknologi dan digital society, ke arah digital culture,” kata Rektor.
Bersamaan dengan penyelenggaraan pendidikan daring, pendidikan karakter pun terancam hilang. Pendidikan ini antara lain muncul dalam momen-momen interaksi dengan mahasiswa. Termasuk antar-mahasiswa dalam spirit keanekaragaman, pluralitas. Digitalisasi pendidikan, lanjut Rektor, tak cukup menggantikan itu. “Spirit social humanity, tidak kami dapatkan melalui mekanisme digital," katanya.
"Tantangan kedua adalah adanya peluang tapi belum tergali dengan maksimal, yaitu upaya kami menginternasionalisasi global wisdom. Kita bicara digitalisasi lebih banyak mengabsorpsi, mengimitasi digital teknologi. Tapi kita belum memanfaatkan potensi dan nilai-nilai kearifan lokal ke tataran global. Ini dua hal yang saya kira menjadi tantangan kita dalam digital learning”, ujar Rektor.
Dari sisi infrastruktur, lanjut dia, sejak 2012 Unpar sudah mengembangkan metode pembelajaran digital bernama Interactive Digital Learning Environment atau lebih dikenal dengan nama IDE. IDE tersebut dapat diakses oleh seluruh mahasiswa aktif Unpar dan telah dipergunakan pula dalam proses pembelajaran sehari-hari.
Program IDE, kata Manggandar, sejalan dengan spirit Unpar sebagai "garam dan terang, menjangkau lebih banyak orang.” Dengan kata lain, di era pandemi pengembangan digital learning memang menjadi pilihan paling rasional.
Sejak IDE Unpar digulirkan pada 2012 sampai 2019 sebelum pandemi melanda Indonesia, hanya sekitar 30 persen dosen yang memanfaatkan program digial tersebut. Sejak pandemi pemanfaatan IDE mencapai 100 persen sejalan dengan kebutuhan akan pembelajaran daring.
“Pandemi ini membuat no have choice, harus 100 persen. Meskipun harus diakui sekali lagi agak tergagap-gagap di awal, khususnya untuk dosen senior yang memang tidak mudah melakukan adaptasi digital,” ujar Rektor.
Memang digitalisasi pendidikan membutuhkan infrastruktur yang tidak sederhana. Unpar mengaku masalah infrastruktur relatif mudah diatasi. Misalnya saat dilakukan kelas pagi dengan 3.000 mahasiswa yang membuat server down. Hal ini mudah diatasi dengan meningkatkan kapasitas server.
[baca_juga]
Education 4.0 ala ITB
Rektor ITB, Reini Wirahadikusumah mengatakan kampusnya telah mencanangkan Education 4.0 yang diinisiasi saat awal Januari 2020 atau sebelum pandemi terjadi. ITB kemudian membuat direktorat baru, yaitu Direktorat Pengembangan Pendidikan. Direktorat khusus mengembangkan Education 4.0 yang dapat digunakan secara luas bagi mahasiswa dan dosen ITB.
Kata Rektor, justru adanya pandemi kemajuan digitalisasi pendidikan terdorong menjadi lebih cepat. “Protokol kesehatan dan keselamatan dosen, mahasiswa, dan staf harus tetap dilaksanakan bersama dengan mengembangkan pendidikan secara lebih canggih,” ujarnya, juga dalam acara diskusi yang sama dengan Unpar.
Direktur Pengembangan Pendidikan ITB Yusep Rosmansyah menjelaskan, inti Education 4.0 ini adalah transformasi digital dalam berbagai matra, yaitu SDM, teknologi, informasi, dan proses. Dari segi sarana-prasarana, ITB telah menyiapkan learning management system (LMS) yang membantu proses transformasi digital dari sisi teknologi. Cara ini telah diadopsi secara nasional.
Saat ini, ITB telah berkoordinasi dengan Kominfo dan Kemendikbudristek Dikti dalam pelayanan mahasiswa di daerah 3T. ITB berkontribusi dalam menyediakan 5.000 tablet dan membangun BTS 4G di daerah 3T. “Hal ini tentunya tidak hanya untuk mahasiswa ITB namun juga untuk seluruh mahasiswa di Indonesia,” kata Yusep.