• Berita
  • Konflik Kebijakan Mengorbankan Hak Pendidikan Kawan Disabilitas SLBN A Pajajaran

Konflik Kebijakan Mengorbankan Hak Pendidikan Kawan Disabilitas SLBN A Pajajaran

SLBN A Pajajaran disebut sekolah tunanetra tertua di Asia Tenggara. Konflik kebijakan membuat kondisinya merana. Beberapa ruangan ditopang dengan bambu.

Upacara bendera di SLBN A Pajajaran, Kota Bandung, pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman23 Juli 2022


BandungBergerak.id – Sebanyak 19 orangtua berniat memantapkan diri untuk mendaftarkan anak kesayangannya menduduki bangku sekolah formal di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Pajajaran, Bandung. Tetapi mereka harus menelan pil pahit dan memutuskan mengurungkan niatnya kembali setelah melihat kondisi dan situasi infrastruktur sekolah yang tidak layak.

Keresahan para orang tua tersebut dipaparkan oleh Humas SLBN A Pajajaran, Tri Bagio pada saat pertemuan melalui zoom meeting yang membahas terkait perkembangan dan perjuangan status tanah SLBN A Pajajaran, pada Jumat, (23/7/2022) sore.

Menanggapi hal ini, kepala sekolah SLBN A Pajajaran, Gun Gun Guntara, M.Pd mengungkapkan bahwa ketidaklayakan infrastrukturnya sudah mencapai 80 persen  kerusakan dan dapat membahayakan siapa pun yang ada di sana. Hal tersebut juga berdampak pada semakin menurunnya minat para orang tua dan calon peserta didik untuk bersekolah.

“Perlu saya gambarkan juga, kondisi dan situasi sekolah sekarang begitu memprihatinkan dari segi infrastruktur. Bahkan menurut PUPR gedung sekolah mengalami 80 persen kerusakan berat. Ini terbukti dengan beberapa bangunan ambruk di bagian kelas. Yang dikhawatirkan adalah keselamatkan para penghuninya,” tutur Gun Gun Guntara.

Tri Bagio menambahkan, biasanya SLBN A Pajajaran mendapat sedikit bantuan dana, tetapi pada tahun kemarin dan tahun ini tidak ada rencana anggaran sama sekali untuk merenovasi atau maintenance sekolah tunanetra tertua di Asia Tenggara yang kini kondisinya mengkhawatirkan. Akhirnya beberapa ruangan yang akan ambruk ditopang dengan bambu.

Permasalahan yang dihadapi SLBN A Pajajaran telah berlarut-larut. Permasalahan yang belum menemukan jalan keluar dan solusinya tersebut terancam memberangus hak pendidikan peserta didik SLBN A Pajajaran.

Seperti yang diketahui, sejak tanah kompleks Wyata Guna disertifikatkan dan dikuasai secara sepihak oleh Departemen Sosial pada 1981, gerak-gerik SLB yang termasuk ke dalam kompleks Wyta Guna menjadi sangat terbatas. Bahkan untuk membangun saja tidak bisa karena memerlukan sertifikat tanah.

Selain itu, terbitnya Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 18 tahun 2018 tentang organisasi dan tata kerja unit pelaksana teknis rehabilitasi sosial penyandang disabilitas di lingkungan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial yang merubah Wyata Guna dari bentuk panti menjadi balai, membuat masa depan SLBN A Pajajaran tambah runyam.

Kebijakan Permensos mengancam keberadaan SLBN A Pajajaran yang satu kompleks dengan Balai Wyta Guna.

Sebagai perwakilan dari kaum Tunanetra, Yahya Arwiyah sangat menyayangkan dampak kebijakan yang terus berlarut hingga saat ini. Hal tersebut menjadi kenyataan yang pahit karena kawan-kawan disabilitas pada akhirnya malah menghadapi orang-orang yang seharusnya mengayomi mereka.

Baca Juga: ITB Terima 1.716 Calon Mahasiswa Termasuk Penyandang Disabilitas dan Lulusan Paket C
Transpuan, Penyandang Disabilitas, dan Persma Berbicara: Jurnalis Mendengarkan
Cimahi Dijanjikan Menjadi Kota Ramah Disabilitas

Menagih Janji dan Menuntut Lagi

Terkatung-katungnya nasib SLBN A Pajajaran, menggugah berbagai pihak untuk peduli dan berjuang. Basri dari Forum Penyelamat Pendidikan Tunanetra sangat miris dengan permasalahan terus menjamur tersebut. Ia menyayangkan pemerintah dan pihak terkait tidak segera menyelesaikan urusan ini, bukan malah menunggu kiamat kecil terjadi di SLBN A Pajajaran.

“Biasanya instruksi Kemensos itu pakai batas waktu. Tapi untuk permasalahan ini tidak ada batas waktu dan yang paling menjengkelkan sebenarnya yang di bawah itu selalu mengundur-ngundur waktu, supaya kita bosan dan tidak menuntut lagi,” ungkap Basri.

Belum lama ini, pada tanggal 11 Maret 2022 mereka melayangkan gugatan kepada Mahkamah Agung supaya peraturan menteri sosial nomor 18 tahun 2018 diuji keabsahannya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, antara lain selain dengan memperhatikan perundangan-undangan daerah dengan kewenangannya. Sebab dalam praktiknya, Kemensos melampaui apa yang menjadi wewenang daerah

Kemudian, kata Yahya Arwiyah, setelah akhirnya disidangkan oleh majelis hakim agung, pada saat proses berlangsung maka salah satu yang dilakukan hakim MA adalah meminta tanggapan dari Kemensos.

“Jawaban yang muncul cukup mengagetkan, tanggal 14 Maret 2022 telah dikeluarkan Permensos nomor 23 tahun 2022 yang mencabut permensos nomor 18 tahun 2018, sedangkan semua isinya itu mirip, banyak judul yang diubah-ubah, jadi diganti bajunya. Kalau dalam istilah hukum ini adalah jenis penyelundupan hukum,” jelas Yahya.

Menanggapi hal itu, majelis hakim berpendapat, walaupun apa yang mereka ajukan itu memenuhi persyaratan tapi alasan formilnya tidak memenuhi persyaratan karena objek yang digugat sudah tidak ada, karena dalam permensos nomor 23 tahun 2022 dinyatakan Permensos nomor 18 tahun 2018 dinyatakan sudah tidak berlaku. Akhirnya hakim MA kehilangan objek apa yang mau diperiksa, sehingga muncullah istilah gugatan tidak dapat diterima.

Oleh karenanya, dalam diskusi yang menghadirkan DPRD Provinsi  Jawa Barat, Komisi Nasional Disabilitas (KND), Forum Penyelamat Pendidikan Tunanetra (FPPT), Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, dan lembaga-lembaga yang lainnya, mereka berniat untuk terus melangkah memperjuangkan untuk mendapatkan status yang jelas.

Ke Mana Lagi Kami Harus Mengadu?

Sudah banyak sekali lembaga yang dihubungi untuk membantu agar segera terselesaikannya permasalahan di SLBN A Pajajaran yang terus berlarut-larut. Namun hingga hari ini masih belum ada hasil yang cukup signifikan untuk menyelamatkan pendidikan dan masa depan anak-anak SLBN A Pajajaran.

Yahya Arwiyah mengungkapkan, mereka sering kali berhadapan dengan sistem legalitas hukum tentang legal standing. Jadi bisa saja ia dikatakan tidak berhak untuk memperjuangkan karena secara legal standing ia tidak merasakan langsung dampak dari peraturan yang diberlakukan.

“Sementara orang-orang yang meraskan langsung itu lebih lemah dari kami,” ucapnya.

Pada akhirnya mereka juga kebingungan untuk mengadukan permasalahan tersebut. Ketika mereka mengadukan kepada pihak yang berkaitan, proses pengurusannya sangat berlarut-larut. Kemudian apabila ingin mengadu ke lembaga dunia, mereka dianggap mengumbar urusan rumah tangga sendiri.

“Ke mana ya kira-kira kita mengadu lagi? Karena sudah banyak sekali pihak-pihak yang dihubungi, termasuk Presiden Republik Indonesia yang merupakan representatif dari pemerintah Indonesia,” ucap Yahya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//