• Opini
  • Di Balik Jerit Hantu Perempuan Indonesia

Di Balik Jerit Hantu Perempuan Indonesia

Saya tidak tahu harus percaya atau tidak dengan hantu. Tapi yang saya tahu, hantu adalah sosok yang lebih baik dipahami ketimbang dicemaskan.

Tofan Aditya

Pengelola Komunitas dan Program BandungBergerak.id, dapat dihubungi di [email protected]

Sederet film horor yang diproduksi perusahaan film dalam negeri. Salah satunya film KKN di Desa Penari. (Sumber Foto: mdpictures.com)*

3 Oktober 2022


BandungBergerak.idSaat sedang asik menonton film Bisikan Jenazah, seorang kawan dengan tiba-tiba mendobrak pintu kosan saya. Wajahnya pucat pasi, napasnya terengah-engah. Hampir saja jantung saya copot akibat tindakannya.

Saya meminta agar dia segera duduk. Saya sodorkan beberapa batang kretek untuk menenangkannya. Sambil mengepulkan asap ke udara, kawan saya bercerita bahwa dia baru saja melihat sosok perempuan yang sedang mengintip dari balik jendela paling atas Gedung Isola. Saya lihat jam, sudah hampir pukul 12 malam. Ceritanya terdengar tidak masuk akal. Meski begitu, bulu kuduk saya tetap merinding.

Bagi yang mengikuti urban legend kampus UPI, tentu akan langsung ngeh kalau sosok tadi adalah Anna. Konon, dia adalah hantu penunggu Gedung Isola. Tidak hanya mengintip, kawan saya yang lain pernah mendengar suara piano klasik dimainkan dari lantai atas bangunan tersebut. Memang, cerita seperti ini sudah tidak lagi asing di telinga saya.

Dikutip dari beberapa sumber, Anna adalah anak dari Dominique Willem Berretty, pendiri kantor berita Algemene Nieuws en Telegraaf Agentschap  (Aneta) sekaligus pemilik awal dari bangunan yang dulunya vila tersebut. Menurut kabar yang beredar, Berretty meninggal pada tahun 1934 gara-gara pesawat yang ditumpanginya jatuh saat perjalanan dari Amsterdam ke Batavia.

Setiap kematian pasti membawa luka, apalagi bagi keluarga yang ditinggalkan. Dan saya yakin, hal itu juga yang dirasakan oleh Anna. Barangkali, aktivitas mengintip dari jendela dan memainkan piano adalah ekspresi penantian dan kesedihan Anna yang begitu merindukan ayahnya.

Kemudian, muncul pertanyaan di kepala saya, apabila kemunculan hantu Anna didasarkan pada kerinduan, bagaimana dengan hantu-hantu lainnya? Apakah mereka juga memiliki dasar atas aktivitas yang dilakukannya?

Kawan saya yang tadi ketakutan sudah terlelap dengan posisi tengkurap. Dasar kebluk, cepat sekali dia tidur. Mana nggak gerak-gerak. Udah kayak orang mati aja. Tapi ya sudahlah, biarkan saja. Lebih baik, saya membuka laptop dan mencoba menjawab pertanyaan barusan.

Perjalanan Kisah Hantu dari Masa ke Masa

Di tengah masyarakat yang masih kental dengan tahayul, kisah hantu memang sudah tidak menjadi hal yang asing. Selain Anna, di wilayah Kota Bandung lainnya, adapula Nancy, hantu penunggu SMAN 5 Bandung. Beda kota beda pula hantunya. Jakarta misalnya, ada Si Manis Jembatan Ancol. Selain hantu “lokal”, ada pula hantu-hantu yang lebih umum seperti Kuntilanak, Sundel Bolong, Suster Ngesot, dan Wewe Gombel.

Di tengah gempuran era disrupsi, kisah hantu masih saja menarik untuk disimak. Sebagai bukti, dapat dilihat bagaimana film KKN di Desa Penari dapat menjadi film terlaris sepanjang sejarah perfilman Indonesia dengan lebih dari 9 juta penonton [INFOGRAFIK: "KKN di Desa Penari" Jadi Film Terlaris Kedua di Indonesia, Kompas.com, 10 Juni 2022]. Selain itu, film Pengabdi Setan 2: Communion masuk jajaran film dengan penonton terbanyak di hari pembukaan, yakni 700 ribu lebih tiket terjual [Pengabdi Setan 2 Berhasil Geser Dilan 1990 dari Top Film Terlaris Indonesia Sepanjang Masa, indozone.id, Jumat, 02 September 2022].

Tingginya antusiasme masyarakat akan film horor menjadikan sosok hantu tetap eksis. Hal tersebut tidak lepas dari industri media yang secara masif membawa hantu masuk ke dalam kesadaran individu dan percakapan sehari-hari. Tapi, sejauh saya menonton film horor Indonesia (meski tidak banyak), seluruh hantu memiliki kesan yang sama: sosok yang tidak diinginkan keberadaannya.

Penggambaran tersebut tentu tidak berasal dari ruang hampa. Jika ditilik secara kritis, di balik itu semua, ada campur tangan ideologi politik yang ingin mengendalikan masyarakat dan melanggengkan kekuasaan. Tidak percaya? Lihat saja perkembangan film horor di Indonesia.

Secara umum, film horor Indonesia terkategori menjadi dua kurun waktu: 1970 sampai 1999 dan pasca-2000-an. Mari membahasnya satu persatu.

Dalam kurun waktu 1970 sampai 1999, film horor Indonesia umumnya mengangkat folklore atau cerita rakyat yang membudaya di masyarakat. Umumnya, hantu ditampilkan sebagai biang kerok dan pelanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Atas dasar tersebut, hantu dianggap sosok yang “mengganggu” dan harus “ditertibkan”.

Alur kisah hantu pada periode ini biasanya memiliki kemiripan. Dimulai dengan penggambaran desa yang harmonis di mana seorang perempuan “ideal” (yang biasanya menjadi tokoh utama) tinggal. Kemudian, akan dimunculkan seorang laki-laki yang merusak kehidupan tokoh utama. Pengrusakan tersebut kemudian akan menjadikan tokoh perempuan “ideal” tadi mati dengan tragis. Dendam, trauma, dan amarah yang tidak terucapkan akan menghidupkan tokoh perempuan tadi sebagai hantu. Dari motif tersebut, hantu akan menjelma sosok yang menyerang fisik dan psikis tokoh laki-laki yang sebelumnya telah merusak kehidupan tokoh perempuan. Akhir cerita biasanya ditutup dengan seorang pemuka agama (sebagai “petugas ketertiban”) yang mengembalikan ruh dari hantu tersebut.

Melalui alur seperti demikian, secara tidak langsung, penonton diberi pesan bahwa siapa pun (termasuk hantu) harus taat pada posisi, batas, dan aturan yang ada. Terlepas apa pun motifnya, pemberontakkan adalah tindakan yang tidak dibenarkan karena bertentangan dengan norma di masyarakat.

Pengaruh ideologi politik dalam film horor mulai luntur pada kurun waktu pasca 2000-an. Pada periode ini, film horor lebih banyak diisi oleh kisah-kisah urban legend atau mitos kontemporer. Film-film yang dihadirkan biasanya berupaya mempertunjukkan kecemasan dan trauma dari masyarakat modern. Perspektif seperti demikian tidak lepas dari pengaruh film horor Hollywood, Jepang, dan Thailand yang mulai masuk ke Indonesia. Namun, hantu masih tetap memegang posisi dominan yakni sebagai sumber teror.

Meski memiliki karakteristik yang berbeda, dalam dua periode tersebut, film horor masih memiliki napas yang sama: tokoh hantu didominasi oleh perempuan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Anisa dan Adiprasetyo (2022) dengan judul “Ketimpangan Representasi Hantu Perempuan pada Film Horor Indonesia Periode 1970-2019”, didapatkan hasil bahwa 2 dari 3 film horor yang disajikan menjadikan perempuan sebagai tokoh hantu utama. Lebih detailnya, dari 559 film horor Indonesia yang diteliti, terdapat 338 (60,47 persen) film horor yang menjadikan perempuan sebagai tokoh hantu utama, 185 (24,25 persen) film horor yang menjadikan laki-laki sebagai tokoh hantu utama, dan 86 (15,36 persen) film horor yang menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai tokoh hantu utama.

Dominannya hantu perempuan dalam industri film Indonesia jelas menyimpan masalah. Jika film adalah gambaran antropologis dari lingkungan sekitar, maka terdapat fakta bahwa perempuan dianggap sebagai sumber dari segala masalah moral yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini akan berujung pada pengendalian peran perempuan di masyarakat. Kenneth Paul Tan dari National University of Singapore menyatakan bahwa hantu perempuan adalah gambaran alam bawah sadar masyarakat setempat yang ingin mengendalikan perempuan dalam sistem patriarki. Dari sini, tokoh hantu perempuan dijadikan “tokoh buruk” yang merupakan sumber dari segala kecemasan [Parade Hantu Perempuan di Nusantara, Tirto.id, 5 Mar 2017].

Hantu Perempuan dan Kecemasan Masyarakat Indonesia

Kecemasan akan hantu perempuan biasanya berasal dari dua hal: tampilan fisik yang jauh dari standar kecantikan dan aktivitas yang menyimpang. Dalam segi tampilan fisik, secara umum, hantu-hantu perempuan Indonesia digambarkan sebagai sosok yang abnormal, tidak berbentuk, dan tidak utuh. Bentuk fisik seperti demikian kemudian mengarahkan persepsi masyarakat bahwa hantu adalah sosok yang menjijikkan.

Sementara dalam segi aktivitas, hantu-hantu perempuan Indonesia digambarkan melalui tindakan yang menyimpang dari norma umum seperti patuh, pendiam, dan penurut. Sebagai contoh, aktivitas yang biasanya menjadi ciri khas hantu perempuan Indonesia adalah tertawa keras. Dalam masyarakat patriarki, perempuan tidak diperkenankan tertawa keras, apalagi ketika malam hari. Contoh aktivitas lain yang dilakukan oleh hantu perempuan dan dianggap menyimpang adalah menjerit, keluar malam, menggelantung di pohon, dan kuat.

Kalau pernah mendengar istilah “yang tertawa paling keras adalah yang memiliki luka paling dalam”, dapat dibayangkan bagaimana penderitaan yang dialami oleh hantu perempuan Indonesia?

Meskipun memiliki karakter yang umum, setiap hantu juga memiliki karakter yang khas. Sebagai contoh, saya akan sedikit mengulas karakter dari empat hantu populer Indonesia: Kuntilanak, Sundel Bolong, Suster Ngesot, dan Wewe Gombel.

Kuntilanak, Ikon Hantu Perempuan Asia Tenggara, digambarkan sebagai sosok yang berkulit pucat, bermata merah, dan berambut panjang sampai ke lutut.  Kuntilanak biasanya mengenakan gaun putih panjang yang kotor oleh tanah dan darah. Kuntilanak sering ditampilkan sebagai hantu yang sering tertawa (atau menangis?) keras di atas pohon besar atau bangunan terbengkalai. Dia digambarkan sebagai hantu yang menyukai anak baru lahir.

Sundel Bolong, hantu dengan gaun putih panjang, wajah pucat, dan punggung berlubang yang ditutupi oleh rambut hitam panjangnya. Penampilannya mirip dengan Kuntilanak, pembedanya adalah lubang yang menganga serta penuh belatung di punggungnya. Dia kerap ditampilkan sebagai sosok pengebiri laki-laki yang sering menggoda perempuan di saat malam hari.

Suster Ngesot, hantu dengan pakaian perawat yang berlumuran darah dan selalu menyeret kakinya. Dia biasanya memunculkan diri di bangsal rumah sakit dengan rambut yang menutupi wajahnya. Dia digambarkan sebagai sosok yang tidak bicara, tapi ketika seseorang melihatnya, maka orang tersebut akan diam mematung.

Wewe Gombel, hantu raksasa yang digambarkan sebagai perempuan tua dengan payudara yang besar dan menjuntai. Dia senang menculik anak-anak untuk kemudian diasuh seolah anaknya sendiri. Biasanya anak-anak yang diculik adalah anak-anak yang tidak diperhatikan oleh orang tuanya.

Melalui tampilan fisik dan aktivitas tersebut, masyarakat dibuat cemas dan memandang hantu perempuan sebagai representasi produk gagal. Tapi menariknya, dalam kacamata psikoanalisis, kecemasan akan hantu perempuan merupakan kecemasan yang khas. Hal tersebut dikarenakan hantu perempuan digambarkan sebagai monster atau wujud dari segala ketakutan (monstrous feminine).

Barbara Creed (1993) dalam bukunya The Monstrous-Feminine: Film, Feminism, Psychoanalysis menyebutkan bahwa hantu perempuan adalah abjek: sosok yang mengganggu identitas, sistem, dan tatanan serta tidak taat pada posisi, batas, dan aturan yang ada. Bagi sebagian orang, abjek dianggap sebagai sosok yang menakutkan. Tapi tidak sedikit yang terpukau dengan sosok abjek tersebut. Oleh karenanya, abjek berada dalam posisi yang unik: ingin dihindari sekaligus ingin dialami.

Baca Juga: Masanya Kebangkitan Industri Film
Film Horor Indonesia Dilihat dari Budaya dan Ekonomi Kreatif
Film Invisible Hopes Menguak Kehidupan Ibu dan Anak di Dalam Penjara

Hantu dan Pemberontakan atas Sistem Patriarki

Untuk memahami hantu perempuan, nampaknya tidak cukup apabila hanya menilai dari permukaan saja. Perlu ada pembacaan yang lebih jauh, semisal dengan mengetahui asal-usul kematian hantu tersebut. Hantu perempuan Indonesia selalu lahir dari trauma, dendam, dan amarah yang tidak terucapkan.

Mari memulai dengan hantu “lokal”. Anna adalah remaja perempuan yang tidak mendapat kasih sayang dari orang-orang di sekitar selepas kematian ayahnya. Nancy adalah remaja yang menjadi korban perkosaan dan pembataian oleh warga lokal (dalam beberapa versi ada juga yang mengatakan bahwa dia bunuh diri karena cintanya tidak direstui oleh orang tuanya). Si Manis Jembatan Ancol adalah korban perkosaan yang awalnya mencoba melarikan diri ketika hendak diperistri oleh seorang saudagar kaya.

Selanjutnya, hantu-hantu yang lebih umum. Kuntilanak, dari berbagai cerita, memiliki dua versi populer penyebab kematiannya: korban perkosaan yang bunuh diri karena mengandung anak hasil perkosaan dan seorang ibu yang meninggal saat melahirkan. Sundel Bolong adalah korban perkosaan yang kemudian melahirkan bayinya di dalam kubur. Suster Ngesot adalah korban perkosaan yang kemudian kakinya dimutilasi oleh pemerkosanya. Wewe Gombel adalah seorang ibu yang frustasi karena tidak mampu memiliki anak.

Dari beberapa penyebab kematian hantu-hantu perempuan tersebut, dapat dikatakan bahwa hantu perempuan adalah korban dari sistem yang tidak adil dan tidak aman. Hantu perempuan adalah korban kekerasan, buruknya akses kesehatan, dan stigmatisasi oleh masyarakat patriarki.

Kejadian masa lalu yang belum selesai tersebut menjadikan hantu memberontakan kepada orang-orang yang berbuat jahat semasa hidupnya, baik secara fisik maupun psikis. Pemberontakan secara fisik misalnya dengan mencekik, memukul, menusuk, dan mengebiri. Sementara pemerontakan secara psikis misalnya meneror dan menggentayangi. Pemberontakan yang dilakukan merupakan bentuk dari kekuatan dan kebebasan yang tidak pernah mampu hantu perempuan lakukan semasa hidup.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//