• Cerita
  • Film Invisible Hopes Menguak Kehidupan Ibu dan Anak di Dalam Penjara

Film Invisible Hopes Menguak Kehidupan Ibu dan Anak di Dalam Penjara

Sebelum muncul kontroversi perlu tidaknya PC, istri Fredy Sambo ditahan, film Invisible Hopes telah menunjukkan bagaimana kehidupan ibu dan anak di penjara.

Acara nobar dan diskusi film Invisible Hopes, di LEN Urban Space, Bandung, Kamis (8/9/2022). Film garapan sutradara Lamtiar Simorangkir ini bercerita tentang persoalan ibu dan anak yang hidup di lapas dan rutan karena harus menjalani proses hukuman. (Foto: Sherani Soraya Putri/BandungBergerak.id)

Penulis Sherani Soraya Putri12 September 2022


BandungBergerak.id - Suatu hari di tahun 2017, Lamtiar Simorangkir berkunjung ke sebuah lembaga pemasyarakatan (lapas). Di sana ia bertemu dengan seorang anak dan berbincang sebentar. Tiba-tiba bel penjara berbunyi. Seperti mendapat komando, sang anak langsung pergi meninggalkan sutradara sekaligus produser film Invisible Hopes tersebut.

Ibu dari anak itu kemudian memberi tahu Tiar, demikian Lamtiar Simorangkir biasa disapa, bahwa anak-anak di dalam lapas sudah paham kalau bel berbunyi adalah waktu bagi mereka masuk ke dalam penjara.

“Itu anak artinya sudah memposisikan dirinya sebagai napi (narapidana), dan saya nangis ketika itu, dia hanya tahu dunia penjara,” ungkap Tiar, di sela-sela nobar dan diskusi film Invisible Hopes, di LEN Urban Space, Bandung, Kamis (8/9/2022).

Pengalaman itu membuka mata Tiar bahwa banyak anak-anak yang lahir dan dibesarkan di penjara. “Saya kebayang anak yang baru lahir dikunci dan tidak merasakan dunia yang bebas. Bagi saya itu nggak adil,” ucap Tiar.

Bermula dari kejadian itu, ia terdorong membikin film dokumenter tentang mereka, Invisible Hopes.

Film ini menemukan relevansinya kembali manakala kasus PC, istri Fredy Sambo yang turut menjadi tersangka pembunuhanan Brigadir J, tidak ditahan dengan alasan kemanusiaan. Penyidik beralasan bahwa PC memiliki anak kecil yang membutuhkan kasih sayang ibunya.

Jauh sebelum kotroversi kasus PC merebak, kaum ibu di negeri ini sudah banyak yang ditahan, bahkan lama hidup di penjara bersama anak-anak mereka. Di antara perempuan yang menjalani hukuman juga ada yang tengah hamil hingga melahirkan dan merawat anaknya di dalam sel.

Fakta itulah yang diceritakan film dokumenter Invisible Hopes. Film ini mulai tayang pada April 2021. Sebelum film ini dirilis – dan jauh sebelum meledaknya kontroversi istri Fredy Sambo – ada tahun-tahun yang panjang yang dialami ibu-ibu bersama anak-anaknya di penjara-penjara yang tersebar di Indonesia.

Melalui Invisible Hopes, diskriminasi dan ketidakadilan pada perempuan dan anak terasa kuat. Film ini sekaligus membuktikan ketidakhadiran negara dalam memenuhi hak asasi manusia bagi warga negaranya yang sedang menjalani hukuman.

Pada November 2021, film Invisible Hopes mendapatkan penghargaan Piala Citra pada ajang Festival Film Indonesia (FFI) untuk kategori film dokumenter panjang terbaik. Kebetulan penganugerahan insan film nasional ini dihadiri Presiden Jokowi.

Kehadiran Jokowi sempat menumbuhkan optimisme bahwa selepas penganugerahan Piala Citra, presiden akan merespons problematika yang terjadi di penjara dengan mengeluarkan regulasi yang memberi perlindungan kepada anak-anak dan perempuan yang tinggal di lembaga pemasyarakatan (lapas).

“Sampai sekarang Pak Presiden belum menonton filmnya, memang pada saat malam FFI saya sangat semangat speech, karena ada Pak Jokowi,” ujar Lamtiar Simorangkir.

Tiar, demikian ia biasa disapa, bersama tim produksi film telah mengirim surat undangan kepada Presiden Jokowi untuk menonton film Invisible Hopes. Namun hingga kini surat undangan tak berbalas. Tiar dan kawan-kawan kecewa.

Tetapi harapan memperbaiki kehidupan di penjara tetap menyala. Nobar dan diskusi film Invisible Hopes akan terus menggema untuk membuka mata publik hingga membuka hati pemerintah.

Proses Produksi Film di Balik Jeruji Besi

Pembuatan film Invisible Hopes memakan waktu empat tahun, 2018-2021, sebelum ditayangkan pada April 2021. Selama itu, Lamtiar Simorangkir dan kru harus keluar masuk penjara.

Lokasi pengambilan gambar dilakukan di dua lapas dan dua rutan (rumah tahanan), di antaranya lapas dan rutan perempuan Pondok Bambu, Jakarta Timur, dan Sukamiskin, Bandung.

Akan tetapi, narasumber yang dikumpulkan rupanya terlalu banyak. Jika mereka semua ditampilkan, maka akan menimbulkan ketidakfokusan dalam penceritaan. Oleh karena itu, harus ditentukan cerita paling kuat yang mewakili gambaran utama permasalahan yang diangkat. Maka tim memutuskan untuk fokus ke lapas dan rutan Pondok Indah.

Tiar dan kerabat kerjanya tentu harus melewati proses perizinan yang panjang agar bisa masuk ke lapas maupun rutan. Ia menegaskan, semua prosedur telah ditempuh dan tanpa melakukan suap.

“Saya menggarisbawahi tidak ada suap agar bisa masuk ke lapas, tapi prosesnya sangat lama,” tandasnya.

Berkat bantuan berbagai pihak, antara lain Ombudsman RI, perizinan bisa didapatkan. Langkah selanjutnya mendatangi penjara dan menjelaskan secara detail maksud dari kedatangannya, baik kepada pihak lapas maupun kepada para narapidana.

Ada salah satu narasummber dari kalangan narapidana yang curiga pada Tiar dan krunya. “Kakak siapa? Mata-mata petugas atau mata-mata polisi?”

Kepada si penanya, Tiar menjelaskan bahwa tujuan kedatangannya untuk menolong mereka. Jawaban ini terdengar terlalu optimistis meski sebenarnya hasil yang diharapkan tidak akan seperti sulap. Dampak film ini belum tentu langsung bisa dirasakan oleh perempuan dan anak-anak yang saat ini tinggal di penjara, tapi suatu saat perubahaan akan terjadi.

“Kita jelaskan itu setiap hari, sampai akhirnya mereka paham dan mengerti maksud kita,” jelasnya.

Kepercayaan menjadi modal utama dalam proses produksi film Invisible Hopes. Maka ia harus mengupayakannya dengan berbagai cara.

Tiar dan kru membangun kepercayaan tersebut melalui diskusi-diskusi yang intens dengan narasumber mereka, mulai soal bagian-bagian mana saja yang boleh dan tidak boleh ditayangkan hingga ke masalah penempatan kamera. Misalnya, bagaimana penempatan kamera di ruang ibu hamil dan anak-anak. Setiap tangkapan kamera yang tidak perlu ditayangkan maka tidak akan pernah bocor ke luar.

Tiar menegaskan film ini dimaksudkan bukan untuk mencari-cari kesalahan pihak tertentu. Film ini justru ingin membuka ruang diskusi untuk perbaikan kehidupan di dalam penjara ke depannya.

Walaupun kenyataannya film ini menggambarkan bahwa keadaan perempuan hamil dan anak-anak di dalam lapas sangat memprihatinkan. Terlebih anggaran untuk makan dan kesehatan sangat tidak memadai.

Beberapa waktu belakangan Tiar mengetahui bahwa ada revisi Undang Undang Pemasyarakatan yang memperbolehkan anak-anak tinggal di dalam penjara dalam waktu lebih lama. Sebelumnya, mereka hanya boleh tinggal selama dua tahun namun saat ini menjadi tiga tahun.

“Kita sangat kecewa dan marah, bulan lalu baru disahkan,” ujarnya.

Menurutnya, regulasi tersebut sangat mengkhawatirkan bagi anak-anak dan perempuan yang harus hidup di dalam lapas dengan kondisi sangat tidak layak.

Meski demikian, ia juga menemukan fakta bahwa tidak semua lapas keadaannya memprihatinkan, terdapat lapas lain yang lebih baik dan manusiawi untuk ditinggali.

Jangan Ada Stigma pada Mereka 

Film Invisible Hopes sudah lebih dulu menyuarakan terjadinya diskriminasi pada anak-anak dan ibu-ibu malang yang terjerat kasus hukum, jauh sebelum kontroversi yang dipicu istri Ferdy Sambo yang tidak ditahan karena permasalahan psikologis dan memiliki anak kecil.

Kontroversi istri Fredy Sambo menjadi ironi karena selama ini banyak perempuan hamil dan para ibu yang memiliki anak tinggal di dalam penjara. Diskriminasi bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, tak bisa lagi dibantah.

”Telah terjadi double standard, utamanya soal pemidanaan, soal lapas,” tutur Manager Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Meidina, dalam sesi diskusi film Invisible Hopes.

Di sisi lain, di masyarakat masih kental dengan stigma bahwa orang yang tinggal di penjara adalah penjahat yang layak diasingkan. Padahal kenyataannya tidak semua dari mereka pantas dipenjara.

Dalam film Invisible Hopes, ada narasumber bernama Midun. Ia harus meringkuk di balik dinding kelabu karena sebagai pengguna narkotika.

Medina tegas menyatakan bahwa pengguna narkotika tidak seharusnya mendapatkan hukuman penjara. Bahkan ketika dia hamil, lalu melahirkan di lapas, layakkah anaknya untuk tetap tinggal dan bertumbuh kembang di sana?

Tiar menjelaskan, hukum Indonesia hanya memberikan dua pilihan bagi perempuan yang terundung kasus hukum, pertama anak tersebut diambil oleh keluarga, atau kedua berakhir dengan ibunya.

Namun kendalanya, banyak keluarga yang tidak mau mengambil atau tidak sanggup membesarkan anak mereka. Ketika pihak keluarga tidak bisa mengatasi hal itu, seharusnya negara mengambil alih untuk mengurus mereka.

Dengan kata lain, negara harus melihat bahwa ada anak-anak yang dikorbankan dalam sistem hukum saat ini. Kalaupun ibu mereka bersalah, anak-anak tidak harus ikut terpenjara. Seharusnya, kata Tiar, negara menyediakan shelter (tempat berlindung) bagi anak-anak sampai ibunya bebas.

Padahal Indonesia memiliki Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No 40 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan Makanan bagi Tahanan, Anak, dan Narapidana. Artinya, anak-anak memiliki payung hukum agar dilindungi oleh negara. Namun realitasnya bertolak belakang.

Overload Penghuni Lapas

Pemerintah sebenarnya menghadapi masalah serius terkait kapasitas lapas dan rutan. Meidina menyampaikan, hingga saat ini terdapat 105.000 orang menetap di lapas. Jumlah ini didominasi oleh kasus pengguna narkotika.

Overload di dalam penjara karena kasus penggunaan narkotika menurut Meidinia menjadi penyebab negara kekurangan anggaran untuk memenuhi hak-hak mereka.

Maka dari itu, tidak seharusnya segala tindakan yang dianggap bermasalah bagi negara dinekanakan hukum pidana.

“Orang yang di sana (penjara) itu bukan orang yang seharusnya ditempatkan di sana,” tegas Meidina.

Baca Juga: Film Horor Indonesia Dilihat dari Budaya dan Ekonomi Kreatif
Mencegah Kekerasan Seksual dengan Film
NGULIK BANDUNG: Charlie Chaplin Mampir di Bandung

Ketimpangan Gender dalam Hukum

Film Invisible Hopes menegaskan bahwa hukum di Indonesia tidak memperhatikan kesetaraan gender. Ketika perempuan berhadapan dengan kasus hukum, mereka selalu berada dalam posisi yang lemah.

Dengan kata lain, hukum di negeri ini lebih banyak dipengaruhi sudut pandang laki-laki (patriarki). Akibatnya, bukan hanya perempuan saja yang dirugikan, melainkan merembet pula pada hak pengasuhan anak, yang celakanya tak diperharikan oleh pemerintah.

“Tidak ada konteks-konteks yang mempertimbangkan apakah seorang tersangka atau terdakwa butuh ditahan atau tidak, dengan memperhatikan pertimbangan gender,” jelas Meidina.

Menurutnya, konsep kesetaraan gender bahkan tidak menjadi napas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Konsep inilah yang seharusnya masuk ke dalam RKUHP. Di sisi lain, pidana penjara harus ditinjau ulang.

Tidak semua kasus hukum harus berakhir di penjara. Perempuan hamil atau memiliki anak kecil yang tersangkut kasus hukum berhak mendapat keadilan. Sebab keadilan hak semua manusia dan tidak memandang kasta dan jabatan. 

Film Invisible Hopes telah membuktikan betapa memprihatinkannya nasib ibu hamil dan anak-anak di dalam lapas. Pemerintah harus segera bergerak memberikan perlindungan pada meraka, antara lain dengan membangun shelter bagi anak-anak yang orang tuanya harus menjalai hukuman.

Publik pun diajak untuk tidak menstigma pada orang-orang malang yang pernah atau dipenjara. Tidak boleh ada stigma pada anak-anak narapidana. Mereka justru harus mendapatkan ruang aman bagi tumbuh kembangnya. Tiar yakin mereka punya harapan dan masa depan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//