Menyoal Perubahan Iklim Melalui Film Dokumenter di Saat Hawa Bandung tidak Sejuk lagi
Pembuatan film dokumenter melibatkan siswa SMA di Bandung. Salah seorang siwa prihatin bahwa Bandung hari ini lebih panas.
Penulis Virliya Putricantika12 September 2022
BandungBergerak.id - Satu per satu remaja datang memenuhi lokasi pemutaran film dokumenter yang diselenggarakan pada kegiatan Festival Film Dokumenter yang di inisiasi oleh anak-anak yang tergabung dalam Save The Children Indonesia di Hafa Warehouse, Bandung, Minggu (11/9/2022) sore. Mereka sepakat, perubahan iklim dampak dari pemanasan global sudah terasa. Bandung mulai panas, tidak lagi dingin seperti dulu.
Lokasi pemutaran film yang dibuat senyaman mungkin membuat para penonton menikmati gelaran yang menjadi bagian dari Kampanye Aksi Generasi Iklim Save the Children Indonesia. Lewat festival ini, sebanyak tiga film dokumenter yang bedurasi kurang lebih sepuluh menit itu mengampanyekan krisis iklim yang tengah terjadi dan semakin terasa dampaknya hari ini, tak terkecuali di wilayah Bandung Raya.
Salah satu film karya Save the Children Jawa Barat mengisahkan dampak langsung dari krisis iklim yang terjadi di wilayah Pangalengan, Kabupaten Bandung. Visual pemandangan alam Pangalengan yang indah itu digambarkan dengan baik oleh anak-anak yang menjadi tim produksi dari film dokumenter ini.
Meski pemandangan yang indah itu masih terlihat, tapi cerita yang disampaikan justru menyadarkan para penonton akan krisis iklim yang mulai berdampak pada sektor pangan. Para petani di Pangalengan yang biasanya dapat menanam berbagai macam sayur sesuai waktu yang biasa diperkirakan panennya, kini hanya bisa menunggu dan berharap bahwa hasil panen tidak akan gagal.
“Kami memilih menyuarakan fakta yang terjadi tentang dampak krisis iklim pada anak dengan menuangkannya dalam sebuah film karena perfilman Indonesia sedang naik daun dan menjadi komoditas utama di dunia digital. Film ini akan disebarluaskan melalui media sosial sehingga masyarakat mendapatkan literasi iklim dengan menonton film yang tidak membosankan dan mengedepankan fakta yang sehari-hari dialami oleh kita semua,” ungkap Rahman (18) selaku Ketua Panitia sekaligus bagian dari Child Campaigner Save the Children Indonesia di Jawa Barat.
Ghilman Al-Giffari (16), siswa SMA Negeri 11 Bandung, berkesempatan terlibat pembuatan karya berjudul ‘Bandung Abu-Abu’ yang menyoroti realita Kota Bandung hari ini. Siswa yang masih duduk dibangku kelas 11 ini menjadi salah satu anak yang merasakan perubahan iklim yang kian terasa setiap harinya.
“Di sini kami pengin menceritakan kenapa Bandung tuh sudah beda sama dulu, dulu Bandung pagi-pagi sudah dingin, dulu anak-anak bisa main asap (yang dihembuskan ketika suhu udara dingin). Nah sekarang tuh udah ga bisa kayak gitu lagi,” cerita anak laki-laki yang menjadi salah satu perwakilan Forum Anak Kota Bandung dalam Aksi Generasi Iklim.
Jika merujuk pada Dokumen Tabel Rata-rata Temperatur di Kota Bandung, suhu Kota Kembang tercatat mengalami kenaikan sejak 2019. Pada tahun tersebut suhu rata-rata tercatat di angka 22,87 derajat Celcius, lalu melonjak menjadi 25,69 derajat Celcius pada tahun 2020.
Faktor lain, jumlah penduduk Kota Bandung terus bertambah setiap tahunnya. Tahun 2000, dua tahun pascaruntuhnya rezim Suharto karena reformasi, jumlah penduduk Kota Bandung tercatat 2.136.260 jiwa. Jumlah ini bertambah signifikan menjadi 2.480.464 jiwa pada 2019. Artinya, dalam kurun enam tahun, terjadi penambahan penduduk sebanyak 338.270 jiwa.
Memang banyak faktor yang memengaruhi perubahan suhu yang terjadi saat ini, termasuk banyaknya kendaraan pribadi yang semakin meningkat. Pada survei tahun 2019 yang dilakukan oleh Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Kota Bandung, kemacetan menjadi permasalahan utama di kota kembang yang memperoleh bobot 21.772 poin.
Penilaian itu tidak hanya keluar dari masyarakat Kota Bandung. Pada September 2019, Asian Development Bank (ADB) menobatkan Kota Bandung sebagai kota termacet se-Indonesia dalam Update of the Asian Development Outlook yang menduduki urutan kota termacet ke-14 se-Asia.
Diskusi akan krisis iklim yang disuarakan lewat karya audio visual dengan proses produksi selama tiga minggu ini turut ditanggapi oleh sejumlah narasumber yang hadir dan menonton karya bersama dalam pemutarannya.
“Isu lingkungan ini sudah disoroti sejak tahun 2010, ketika global warming, tapi enggak diikuti secara khusus. Secara umum pembuatan film ini sudah berani untuk menceritakan (realita), tapi bisa lebih difokuskan lagi untuk isunya,” ucap Iqbal Kusumadirezza, perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung.
Baca Juga: Dampak Bencana Perubahan Iklim Diperkirakan Lebih Dahsyat dari Pandemi Covid-19
Penyebab Bandung semakin Hareudang
Anak Muda Dituntut Aktif Kurangi Pemanasan Global
Mengawal Isu Perubahan Iklim Tanpa Batas
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini sebenarnya banyak masyarakat yang sudah mengetahui bahwa perubahan iklim nyata terjadi dan benar adanya. Namun tingkat kesadaran dan pemahaman individu yang berbeda-beda membuat aksi ini perlu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Anak-anak yang tergabung dalam Child Campaigner atau juru kampanye anak yang membuka ruang seluas-luasnya untuk siapa pun termasuk bagi penyandang disabilitas.
“Juru kampanye anak ini sangat inklusif, jadi kita terbuka untuk semua anak, termasuk anak-anak dengan disabilitas. Seperti misalnya ada Ranti dan Faisal, mereka champion (mewakili) anak-anak disabilitas bahwa anak disabilitas pun bisa melakukan hal tak terbatas, yang sekarang menjadi mentor untuk berbuat mengurangi dampak krisis iklim pada anak,” tutur Dewi Sri Sumana selaku Media dan Brand Manager Save the Children.
Kesadaran akan perubahan iklim yang terjadi perlu disampaikan pada anak-anak yang nantinya akan menikmati kehidupan di masa mendatang. Artinya tiap-tiap individu memiliki tanggung jawab atas semua yang telah diperbuat pada alam dengan cara menjaga dan merawatnya.