• Nusantara
  • Masanya Kebangkitan Industri Film

Masanya Kebangkitan Industri Film

Pada tahun 2019, rata-rata produksi film Indonesia sekitar 140 judul per tahun dan meraup pendapatan kurang lebih sekitar 2 triliun rupiah.

Program Studi Film dan Televisi UPI, Bandung. Tahun ini diyakini era kebangkitan industri film nasional. (Sumber Foto: UPI)

Penulis Iman Herdiana18 Juni 2022


BandungBergerak.idKehidupan berangsur normal sejalan dengan menurunnya kasus Covid-19. Begitu juga di industri film nasional di mana kebangkitan mulai terasa. Aktivitas produksi film mulai bergerak, baik di ranah industri maupun akademik.

Dosen pengampu mata kuliah studio film fiksi UPI, Erik Muhammad Pauhrizi, mengatakan geliat film Indonesia pascapandemi Covid-19 mengalami peningkatan. Para sineas Indonesia kembali dapat beraktivitas melalui ruang kreativitas yang dibuka kembali.

“Mahasiswa Prodi Film dan Televisi FPSD UPI tentu ikut serta berbahagia dengan situasi yang kembali normal. Kreatifitas mahasiswa tidak lagi terkendala dengan sempitnya ruang dan waktu akibat pandemi tersebut,” ungkap Erik, dikutip dari laman UPI, Sabtu (18/6/2022).

Seperti diketahui, pandemi Covid-19 berimbas pada hampir semua sektor, tak terkecuali industri kreatif perfilman. Pada tahun 2019, rata-rata produksi film Indonesia sekitar 140 judul per tahun dan meraup pendapatan kurang lebih sekitar 2 triliun rupiah.

Namun, akibat pandemi kurang lebih ada sekitar 30 film yang ditangguhkan produksinya, beberapa masih memulai shooting pada awal Juli setelah adanya wacana new normal. Hambatannya, mereka khawatir terjadi penularan selama shooting.

Tentu saja hal itu berimplikasi pada bisnis bioskop yang sangat terpukul akibat situasi yang belum kondusif untuk membuka kembali. Dampak yang dirasakan pada bioskop tersebut lebih terkena pada model eksebisi atau pertunjukan yang konvensional di mana di sana mengundang kerumunan orang.

Budi Irawanto, selaku Presiden Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) sekaligus dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, mengatakanberdasarkan beberapa tafsiran, kerugian industri film Indonesia akibat pandemi mencapai 200 miliar rupiah sebulan.

Selain berakibat pada kerugian industri film, Budi menerangkan bahwa situasi pandemi justru meningkatkan pelanggan atau subscriber dari perusahaan over the top seperti Netflix dan GoPlay. Netflix mengalami kenaikan sebesar 15,8 juta pelanggan berbayar dari sekitar Januari sampai Maret, sedangkan GoPlay menyebut bahwa waktu yang dihabiskan meningkat sepuluh kali lipat dibandingkan sebelum pandemi.

Distribusi produksi film secara daring ini justru memperoleh momentumnya pada saat pandemi karena berbarengan dengan ditutupnya bioskop dan anjuran stay at home.

“Nah ini sebenarnya menarik karena ini menunjukkan bahwa di masa pandemi ini orang justru membutuhkan liburan ya karena mereka harus tinggal di rumah kemudian menghadapi stress situasi yang tidak menentu kapan pandemi akan berakhir,” ungkap Budi, dikutip dari laman UGM.

Terkait dengan keberlangsungan festival film, Budi menanggapi bahwa terdapat beragam respons terhadap festival film di tengah pandemi. Beberapa dari plan yang sudah matang terpaksa harus ditunda bahkan dibatalkan.

Namun, ada pula yang tetap menyelenggarakan dengan melakukan sejumlah modifikasi, akan tetapi semua penyelenggara festival tetap menempatkan isu kesehatan sebagai prioritas utama karena mempertimbangkan penonton dan tamu undangan.

Secara umum juga sejumlah festival beralih ke platform digital untuk pemutaran atau screen film untuk menghindari kerumunan yang bisa meningkatkan risiko penularan. Selain itu, festival film market juga ada yang menempuh kebijakan-kebijakan yang berbeda, misalnya membatasi hanya penonton lokal atau domestik saja tanpa penonton dari luar negeri.

Kemudian, mereka membuka akses gratis ataupun berbayar untuk menonton film melalui platform digital. Menurut Budi, tentu saja akibat dari perpindahan festival ke platform digital ini adalah festival menjadi tidak terlihat kemegahan atau ke-glamour­-annya serta kehilangan kemeriahan sebagai sebuah perhelatan atau sebuah pesta, seperti prosesi red carpet, meet and greet bintang film dan sutradara, dan standing ovation setelah pertunjukan film.

“Festival secara offline/konvensional, kita bisa merasakan atmosfernya, misalnya foto bersama sutradara dan aktor. Hal-hal semacam itu yang mungkin hilang dalam festival film secara online dan engagement penonton secara fisik itu tidak bisa ditemukan dalam festival secara online,” tutur Budi.

Namun, di balik dampak tersebut, tentu saja ada sisi keuntungan yang didapat dari festival film secara online. Budi menyebutkan, dari sisi penyelenggaraan menjadi lebih tidak ribet, dapat meminimalisasi tim, tiketing lebih mudah, dan dari sisi pembiayaan juga lebih murah karena tidak perlu mengeluarkan budget untuk mendatangkan tamu dari luar negeri dan akomodasinya.

Kendati demikian, ada risiko secara teknis yang harus siap, seperti menjamin orang yang menonton tidak men-download film yang ditonton karena mungkin itu copyrighted.

Baca Juga: Mengenang Faiq yang Dua Bulan Lalu Tenggelam di Cikapundung
Daftar 21 Ruang Publik di Kota Bandung yang Dipasang Wifi Gratis
Bersama Warga Dago Elos Mempertahankan Ruang Hidup

Geliat Film di UPI

Kampus-kampus juga mulai mengintensifkan perkuliahan tatap muka. Begitu pun dengan di kampus UPI, seperti yang dilakukan mahasiswa Program Studi Film dan Televisi FPSD 2020 yang mengadakan ujian studio film fiksi selama dua hari yakni tanggal 13-14 Juni 2022.

Ujian ini dilaksanakan di ruang kuliah yang diset menjadi ruang screening. Namun kesederhanaan fasilitas itu tidak mengurangi kekhusuan mahasiswa dalam mempertanggung jawabkan karya film mereka yang telah dihasilkan.

Dalam ujian ini mahasiswa mempertanggungjawabkan konstruksi gagasan dan ide-ide serta proses yang dilakukan mulai dari post-produksi, produksi sampai pasca produksi. Mereka mempresentasikan film yang telah mereka buat di depan dewan penguji yang merupakan dosen pengampu mata kuliah studio film fiksi, dan dasar cinematografi.

Para dosen tersebut adalah Erik Muhammad Pauhrizi, Dedi Warsana, Salsa Solli Nafsika, Enri Johan, dan Aditya. Menurut Erik, selama satu semester mahasiswa studio film fiksi bergulat dengan semua aspek kreasi film pendek.

Ke depan, Erik berharap konstruksi ide Mahasiswa Prodi Film dan Televisi FPSD UPI dapat berkontribusi dalam percaturan dunia film di Indonesia dengan menghadirkan paradigma baru bagi masyarakat pencinta film Indonesia.

Kekayaan budaya Indonesia yang beraneka ragam merupakan salah satu visi misi pembelajaran di Prodi Film dan Televisi FPSD UPI UPI. Mahasiswa belajar untuk mengangkat khasanah budaya nusantara untuk kebutuhan estetika gambar bergerak. Dengan demikian akan muncul calon sineas muda yang dapat memiliki karya berdasarkan kekayaan lokal Indonesia untuk dibicarakan di tingkat Dunia.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//