• Lingkungan Hidup
  • Penataan Kota Perlu Mempertimbangkan Aspek Keberlanjutan Lingkungan

Penataan Kota Perlu Mempertimbangkan Aspek Keberlanjutan Lingkungan

Kelestarian tata kota dibedah dalam acara GINTRE 2024 mahasiswa Hubungan Internasional Unpar, Bandung.

Gathering and Introducing International Relations (GINTRE) oleh mahasiswa Hubungan Internasional Unpar, Bandung, Minggu, 6 Oktober 2024. (Foto: Instagram KawanBergerak)

Penulis Muhammad Wijaya Nur Shiddiq 7 November 2024


BandungBergerak.idKelestarian tata kota merupakan persoalan global yang umumnya dialami negara-negara berkembang. Diskursus terkait pengelolaan ruang urban menjadi hal yang kian berkembang di tengah adanya kekhawatiran mengenai bencana ekologis akibat perubahan iklim. Melalui rangkaian acara Gathering and Introducing International Relations (GINTRE) oleh mahasiswa Hubungan Internasional Unpar, Bandung. Tema tersebut diangkat dalam seminar dengan narasumber dari Rujak Center for Urban Studies (RCUS).

Sejatinya, kota berperan sebagai komunitas kolektif dengan relasi kompleks antara ekonomi, sosial, dan politik. Kawasan perkotaan secara global berkontribusi pada sekitar 70 persen Produk Domestik Bruto, 60 persen dari konsumsi energi dunia, hingga produksi 70 persen gas rumah kaca. Menyoroti isu tersebut, peta jalan untuk mempromosikan pembangunan perkotaan lestari yang memungkinkan pemenuhan kehidupan masyarakat sekaligus mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan.

New Urban Agenda, sebagai peta jalan yang dirancang oleh PBB, memiliki visi untuk menciptakan kota inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Melalui keempat parameter tersebut, kesetaraan kesempatan bagi masyarakat rentan, perumahan layak yang terjangkau, ketahanan perubahan iklim, hingga tata kelola yang akuntabel dapat tercipta. Akan tetapi, kompleksitas lokal wilayah perkotaan dapat menjadi hambatan bagi terwujudnya tujuan tersebut.

Dalam konteks Indonesia sendiri, relasi antara kawasan ‘kota-kampung’ menjadi hal yang patut disorot. Masalah agraria, ketimpangan kualitas infrastruktur, hingga stigma terhadap kampung dan peraturan zonasi yang merugikan masyarakat rentan menjadi tantangan besar dalam mengadopsi kebijakan tata ruang.

Hal yang perlu dicatat dalam pengembangan kota di era krisis iklim ini adalah urgensi pergeseran paradigma. Agenda greenwashing, maladaptasi solusi, hingga penggusuran, merupakan isu yang solusinya memerlukan pertimbangan dari kualitas hidup warga, unsur budaya, dan aspirasi masyarakat.

Keberagaman unsur tata ruang dalam wilayah perkotaan tersebut menjadi spirit bagi RCUS. Pendiri dan Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja menjelaskan, istilah ‘rujak’ dalam nama pusat studi ini merujuk pada kota-kota Indonesia yang bersifat seperti rujak; setiap kota memiliki keragamannya masing-masing.

Ia menuturkan, RCUS bertujuan untuk mendorong perubahan menuju kota lestari melalui produksi ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari warga. “Kami sangat mendorong warga kota memahami kotanya sendiri,” kata Elisa Sutanudjaja, kepada BandungBergerak, Minggu, 6 Oktober 2024.

Sebagai pusat studi, RCUS memiliki tiga kegiatan utama, yaitu riset, pendampingan, dan advokasi. Ketiga kegiatan tersebut saling berkaitan, riset yang dilakukan mendukung upaya advokasi, sedangkan upaya di lapangan mencoba untuk menjembatani ketimpangan hak dan akses masyarakat rentan.

Salah satu narasumber RCUS Amalia Nur Indah Sari pun menjelaskan, upaya organisasinya mendampingi masyarakat Kampung Akuarium di Jakarta yang tergusur. Selama delapan tahun, RCUS melakukan riset, pendampingan warga, dan advokasi untuk menyampaikan aspirasi warga ke pemerintah.

Amalia menuturkan hambatan yang terjadi di lapangan selama upaya advokasinya. Menurutnya, mendapatkan kepercayaan warga menjadi tantangan tersendiri. Hal ini menurutnya merupakan hal yang lumrah, sebab warga kerap kali menuntut hasil instan akibat perampasan ruang hidup yang mereka alami. Di samping itu, perbedaan pendapat antarwarga, kecurigaan warga setempat, dan birokrasi pemerintah yang berbelit-belit pun menjadi tantangan besar lain yang kerap dihadapi RCUS.

Kunci untuk mewujudkan ruang hidup berkelanjutan, menurutnya, berangkat dari pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Dengan demikian, kesadaran lingkungan dapat perlahan ditumbuhkan kepada masyarakat.

“Setiap harinya mereka sudah susah, memikirkan mau makan apa, penghasilan bagaimana, boro-boro mau diajak mikirin lingkungan, mereka saja tidak yakin besok bisa makan apa,” katanya.

Amalia mengungkapkan, pentingnya untuk berangkat dari aspek hunian layak terlebih dahulu sekaligus untuk memperhatikan aspirasi mereka: ingin punya ruang hidup yang tidak digusur, diakui sebagai warga, lalu sedikit demi sedikit meningkatkan kesadaran ekologis.

Baca Juga: Perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional Harus Melibatkan Partisipasi Publik yang Bermakna
Satu Dekade Basa-basi Rezim Jokowi pada Keadilan Iklim dan Transisi Energi Berkeadilan
Saung Monteng, Gerakan Mandiri Menghutankan Hutan Kamojang

 

Keberpihakan Pemerintah terhadap Perencanaan Ruang Perlu Diawasi

Dengan sumber daya dan kuasa, pemerintah seharusnya dapat melakukan sesuatu. Ia melihat, gerakan-gerakan untuk mendorong kebijakan khusus dan insentif untuk berjejaring perlu ditingkatkan. Apabila pemerintah memiliki sumber daya dan kekuasaan, maka masyarakat memiliki massa.

Ia juga menyinggung kasus Dago Elos, Bandung, bahwa keberpihakan pemerintah terhadap perencanaan ruang perlu diawasi. Warga masih mendayagunakan tanahnya dengan baik dan memikirkan lingkungan, namun kemudian ada kepentingan masuk yang memiliki modal, kuasa, dan relasi kuat dengan pemerintah, maka pihak tersebut dapat difasilitasi.

Menyoroti peran pemerintah, orientasi pemerintah terhadap isu tata ruang patut dipertanyakan. Di Bandung–sebagaimana kota-kota lain–kemacetan menjadi salah satu masalah yang paling umum ditemui. Amalia menyoroti kebijakan pemerintah: “apakah pemerintah lebih memfasilitasi kredit murah untuk motor dan mobil, atau mengadakan transportasi publik yang layak?”

Senada dengan pendapat Amalia, Elisa pun mengungkapkan bahwa mobilitas adalah isu paling fundamental dalam tata kelola Bandung. Menurutnya, pembuatan sistem mobilitas secara transparan diperlukan karena apabila mobilitas sudah tersistem, maka perubahan di level ruang akan melimpah. Beliau pun menyayangkan fungsi Institut Teknologi Bandung yang seharusnya mampu menjadi aset untuk pengurusan tata ruang.

Pengetahuan tanpa political will tidak akan membuahkan hasil apa pun. Ujung dari permasalahan ini terdapat pada komitmen para pemangku kepentingan. Akan tetapi di sisi lain, aktivisme masyarakat kemudian berperan penting dalam menghasilkan political will, sehingga apabila masyarakat tidak menyuarakan kepentingan dan haknya, maka pemerintah akan bergeming.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Wijaya Nur Shiddiq atau artikel-artikel lain tentang Lingkungan 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//