Visi Prabowo Pensiunkan Seluruh PLTU pada 2040 Kurang Ambisius
Pasokan listrik Indonesia masih sangat terantung energi kotor batu bara yang menjadi bahan bakar PLTU. Polusi yang ditimbulkan PLTU merugikan kesehatan dan ekonomi.
Penulis Awla Rajul29 November 2024
BandungBergerak.id - Katherine Hasan, analis dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), menuturkan, sebanyak 62 persen pasokan listrik Indonesia baik yang tersambung dengan jaringan PLN (on grid) maupun berdiri sendiri (off grid), berasal dari batu bara. Karenanya, rencana penghentian penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil pada 2040 merupakan terobosan besar. Karena itulah, Indonesia seharusnya menetapkan target penerapan energi ramah lingkungan yang lebih ambisius.
Presiden Prabowo Subianto menargetkan akan mencapai target karbon netral (net zero) sebelum 2050 sebagai kontribusi untuk menurunkan suhu global dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Janeiro, Brasil, pada Selasa, 19 November 2024. Prabowo menyebutkan, dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, negeri ini akan menghentikan operasional PLTU dalam 15 tahun ke depan dan akan mencapai swasembada energi hijau yang dipasok dari energi terbarukan dalam waktu sepuluh tahun.
Visi Presiden Prabowo Subianto mencapai nol bersih pada 2050 dengan menghentikan seluruh pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan membangun 75 gigawatt (GW) energi terbarukan, dinilai kurang ambisius. Pasalnya, tambahan 75 GW tersebut belum cukup untuk menutup selisih dari rencana penghentian pembangkit listrik bahan bakar fosil.
Katherine Hasan, analis dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), menuturkan, sebanyak 62 persen pasokan listrik Indonesia baik yang tersambung dengan jaringan PLN (on grid) maupun berdiri sendiri (off grid), berasal dari batu bara. Karenanya, rencana penghentian penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil pada 2040 merupakan terobosan besar. Karena itulah, Indonesia seharusnya menetapkan target penerapan energi ramah lingkungan yang lebih ambisius.
“Target tambahan 75 GW energi terbarukan dan 5 GW nuklir pada 2040 yang diumumkan baru-baru ini hanya akan menghasilkan listrik bebas fosil sekitar 35 persen dari proyeksi kebutuhan listrik nasional. Ini berarti targetnya harus ditingkatkan lebih dari dua kali lipat agar visi Presiden Prabowo dapat menjadi kenyataan,” kata Katherine, dikutip dari siaran pers, Selasa, 26 November 2024.
Target penambahan energi terbarukan di Indonesia setidaknya harus sebesar yang tercantum dalam dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP), yang membidik tambahan 210 GW pembangkit listrik non-fosil pada 2040, dan mencapai 80 persen pangsa energi terbarukan pada 2040. Jika Presiden Prabowo serius ingin mematikan seluruh pembangkit listrik berbasis energi fosil, penambahan energi terbarukan harus lebih besar lagi.
“Tambahan kapasitas energi terbarukan yang dibutuhkan sekitar 25 persen lebih banyak dari JETP di 2040, kalau semua PLTU dan pembangkit berbahan bakar fosil di-phase out,” tambah Katherine yang menekankan pertimbangan ini perlu karena adanya proyeksi pertumbuhan permintaan listrik.
Lauri Myllyvirta, Analis Utama CREA, menekankan, rencana yang disampaikan Presiden Prabowo harus diselaraskan dengan peta jalan investasi pembangkit listrik yang tertera dalam dokumen CIPP JETP. Penyesuaian target energi terbarukan agar selaras dengan visi penghapusan bahan bakar fosil pada 2040 merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk menarik investasi.
“Di luar investasi sebesar US$ 235 miliar yang direncanakan oleh PLN untuk penambahan kapasitas sebesar 100 GW, peningkatan ambisi untuk memenuhi target energi bersih JETP CIPP akan menghasilkan investasi hampir US$ 200 miliar dari tambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 130 GW,” jelas Katherine.
Tak hanya itu, penghentian PLTU batu bara secara bertahap akan membawa manfaat kesehatan yang besar. Saat ini, PLTU bertanggung jawab atas 10.500 kematian tahunan dan beban ekonomi sebesar US$ 7,4 miliar di Indonesia. Visi Presiden Prabowo akan sejalan dengan target 1,5 derajat Perjanjian Paris – yaitu menghindari total kumulatif 182 ribu kematian terkait polusi udara dan biaya kesehatan sebesar US$ 130 miliar, mulai 2024 hingga akhir masa pakai semua pembangkit listrik.
“Visi Presiden Prabowo untuk penghentian penggunaan energi fosil pada tahun 2040 dapat menjadi titik balik bagi Indonesia. Namun, untuk mewujudkan tujuan ini diperlukan kepemimpinan yang kuat serta dukungan dari semua pemangku kepentingan yang terlibat, khususnya investor, untuk melihat potensi dari rencana tersebut dan memanfaatkan peluang ekonomi yang sangat besar yang ada,” tegas Katherine.
Baca Juga:Kasus Korupsi PLTU 2 Cirebon, Iklim Panas dan Uang Panas
Pendapatan Asli Daerah dari PLTU Indramayu tak Sebanding dengan Besarnya Risiko Kerusakan Lingkungan dan Masalah Kesehatan
Walhi Jabar Menyerukan Pensiunkan PLTU Cirebon 1 Sekarang Juga
Sinyal Positif dan Dituang dalam Kebijakan
Visi Presiden Prabowo yang disampakan pada KTT G20 di Rio de Janeiro, Brasil dan dalam forum APEC CEO Summit Peru 2024 itu, dinilai oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) sebagai ambisi positif. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan, pengakhiran operasi PLTU batu bara adalah langkah krusial untuk mencapai target transisi energi berkeadilan.
Analisa IESR, untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, Indonesia perlu mengurangi kapasitas dan pembangkitan listrik dari PLTU batu bara sebesar 11 persen pada 2030, lebih dari 90 persen pada 2040, dan menghentikan operasional PLTU seluruhnya di 2045. Langkah ini juga memungkinkan penetrasi energi terbarukan mencapai 40 persen dalam bauran energi primer di sektor listrik pada 2030.
“Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN perlu segera menyelesaikan peta jalan pengakhiran operasi PLTU sebagaimana yang diamanatkan oleh Perpres No. 112/2022 dengan jangka waktu 2040. Dengan demikian, dapat menentukan secara pasti tahapan pengakhirannya, skema pendanaan dan pembiayaan, pembangunan kapasitas energi terbarukan dan penyimpan energi, dan mempersiapkan rencana untuk mengatasi dampak sosial dan ekonomi bagi pekerja yang terdampak,” kata Fabby mengutip siaran pers IESR, Kamis, 21 November 2024.
Di lain sisi, Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, mengungkapkan pernyataan presiden untuk mencapai NZE sebelum 2050 perlu dituangkan pada kebijakan iklim dan energi yang lebih ambisius. Arief menyebut aksi dan kebijakan iklim Indonesia saat ini dikategorikan sangat tidak mencukupi (critically insufficient) berdasarkan evaluasi Climate Action Tracker (CAT). Artinya, upaya untuk meredam pemanasan global yang dilakukan pemerintah masih jauh dari cukup.
“Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menunjukkan kepemimpinan internasional yang lebih kuat, dengan membuat komitmen yang lebih berani dengan mempertimbangkan prinsip keadilan, tanggung jawab historis selain faktor kapasitas. Selain itu, Indonesia harus mempercepat adopsi energi terbarukan, disertai dengan komitmen eksplisit dan kredibel untuk sepenuhnya menghentikan penggunaan batu bara dan menghentikan deforestasi,” kata Arief.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel-artikel lain tentang Proyek Strategis Nasional