• HAM
  • Dukungan Bagi Penulis Opini "Jenderal di Jabatan Sipil”, Negara Didesak Menjamin Kebebasan Berekspresi

Dukungan Bagi Penulis Opini "Jenderal di Jabatan Sipil”, Negara Didesak Menjamin Kebebasan Berekspresi

Teror dan intimidasi terhadap mahasiswa kritis dan penulis opini "Jenderal di Jabatan Sipil” menjadi sinyal bahwa negara semakin represif.

Ilustrasi. Kebebasan pers maupun kebebasan berekspresi dijamin di negara demokrasi. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Akhmad Aziz Nanda Saira27 Mei 2025


BandungBergerak.idTeror dan intimidasi terhadap warga negara yang kritis meningkat akhir-akhir ini. Kejadian terbaru dialami YF, mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan juga ASN yang menulis artikel opini berjudul "Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?" di Detik.com, 22 Mei 2025. Tulisan itu mengandung kritik yang mendalam mengenai penempatan jenderal di posisi sipil dan meragukan sistem merit dalam Aparatur Sipil Negara.

Teror terhadap YF terjadi dalam setelah dia mengantar anaknya ke taman kanak-kanak. YF diserempet oleh dua pengendara sepeda motor yang mengenakan helm penuh. Beberapa jam setelahnya, dua pengendara motor yang mengenakan helm serupa namun mengendarai motor berbeda menjatuhkan kendaraan mereka di depan rumah.

Karena cemas akan keamanan istri dan dua anaknya yang masih kecil, YF terpaksa meminta Detik.com untuk menghapus tulisannya. Detik.com pada akhirnya menghapus artikel itu demi melindungi keamanan penulis. YF juga mengadukan kejadian intimidasi yang dihadapinya kepada Dewan Pers.

Sebelumnya, intimidasi menimpa mahasiswa tiga mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) berinisial Ag, Ha, dan Id yang mengajukan uji materi UndangUndang TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiga mahasiswa mengklaim mengalami intimidasi dari orang tidak dikenal (OTK). OTK mendatangi rumah mereka dan mencari informasi pribadi.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil pun mengecam teror dan intimidasi ini. Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengecam tindakan teror dan intimidasi ini. KIKA menegaskan baik mahasiswa UI maupun UII berhak menyampaikan pendapat. Hal itu bagian dari kebebasan akademik yang harus dilindungi oleh negara.

"Ancaman yang ditujukan kepada mahasiswa yang menggunakan pemikiran kritisnya tidak boleh dibatasi, terlebih lagi direpresi dengan tindakan intimidasi yang membahayakan keselamatannya," tegas pernyataan resmi KIKA, diakses Selasa, 27 Mei 2025.

KIKA meminta kepolisian agar menyediakan perlindungan hukum bagi korban dan tidak membiarkan tindakan teror terhadap mereka. Kepolisian diharapkan menyelidiki dan menindak pelaku intimidasi yang menghambat kebebasan berekspresi serta kebebasan akademik masyarakat sipil.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga menyatakan kecaman tegas terhadap tindakan teror yang dialami YF. Ketua AJI Indonesia Nany Afrida menegaskan, bahwa tindakan ini adalah wujud nyata pengekangan terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi dan UU Pers No. 40/1999.

"Serangan terhadap penulis opini bukan sekadar menyerang individu dalam mengekspresikan pendapat, tetapi juga merupakan ancaman terhadap kebebasan pers, hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, serta fondasi demokrasi yang kokoh," ujar Nany, dalam pernyataan resmi.

AJI juga mendorong Detik.com untuk mengambil tindakan tegas dalam melindungi penulisnya dengan memberikan dukungan publik kepada penulis opini yang menjadi target intimidasi. Detik dimina melaporkan kasus teror ini ke polisi, serta menyediakan dukungan hukum dan perlindungan bagi penulis yang terancam.

Dewan Pers juga mengutuk dugaan ancaman terhadap penulis opini dan mendorong semua pihak untuk menghargai ruang demokrasi, serta melindungi suara kritis masyarakat. Dewan Pers menekankan bahwa penghapusan artikel opini berdasarkan permintaan penulis merupakan hak yang seharusnya dihargai oleh redaksi, sama seperti permintaan penghapusan pendapat dari narasumber yang diwawancarai oleh suatu media.

Dewan Pers mengajak semua pihak untuk menghormati kebebasan berekspresi dan berpendapat mengenai kebijakan pemerintahan serta menghindari tindakan kekerasan dan perbuatan sewenang-wenang.

Pola Sistematis Pembungkaman Era Baru

AJI menilai teror dan intimidasi terhadap penulis sebagai bagian dari pola sistematis untuk menciptakan efek gentar (chilling effect). Teror bertujuan agar masyarakat takut menyampaikan pendapat dan media enggan membuka ruang bagi suara-suara kritis. Pola ini menunjukkan adanya upaya sistematis yang dialami narasumber dan penulis opini yang menyuarakan kritik terhadap kekuasaan atau kebijakan publik.

"Ini menunjukkan ruang berekspresi di Indonesia semakin menyempit dan menandakan masalah dalam demokrasi kita," ujar Nany Afrida.

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Erick Tanjung mengatakan, teror dan intimidasi yang dialami YF merupakan pola-pola represi seperti era Orde Baru dalam membungkam suara-suara kritis masyarakat. Tindakan tersebut tak bisa dibenarkan dan negara harus bertanggung jawab.

Kasus ini memperpanjang daftar gelap intimidasi terhadap kebebasan berekspresi sejak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, termasuk penarikan lagu "Bayar, Bayar, Bayar" oleh Band Sukatani, siswa di Bogor yang dipaksa minta maaf karena mengkritik porsi MBG, hingga mahasiswa ITB yang ditangkap karena membuat meme Jokowi dan Prabowo. Melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), berkali-kali suara kritis ini diancam.

Baca Juga: Komite Keselamatan Jurnalis: RKUHP Mengancam Kebebasan Berekspresi Warga dan Kebebasan Pers
25 Tahun Reformasi, Kebebasan Berekspresi Menyempit

Desakan Kepada Penegak Hukum dan Pemerintah

KIKA mendorong Komnas HAM untuk aktif mengusut kasus serangan intimidatif ini. Komnas HAM dimina melakukan upaya edukatif dan progresif agar penyelenggara kekuasaan berpihak pada kebebasan akademik, kebebasan berpendapat, dan kebebasan ekspresi, sebagaimana mandat SNP No. 5 Tahun 2021.

AJI juga mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi kasus ini dan memberi perlindungan pada penulis. Kapolri atau kepolisian dimina bertindak cepat dan serius mengusut kasus teror. Pembiaran terhadap teror akan menciptakan preseden buruk yang mengancam kebebasan sipil bersama.

Lebih jauh, AJI menuntut Presiden Prabowo untuk menegaskan komitmennya pada demokrasi serta menghentikan dan menarik kembali tentara yang menduduki jabatan sipil. Sementara KIKA memandang bahwa militerisme telah merusak tradisi berpikir kritis dan menggerogoti negara hukum demokratis.

"Ketika satu suara dibungkam, maka yang terancam bukan hanya orang itu, tetapi kita semua," kata Nany Afrida. AJI mengajak seluruh media, organisasi jurnalis, masyarakat sipil, dan publik luas untuk bersolidaritas melawan segala bentuk teror dan upaya pembungkaman, karena suara-suara kritis adalah oksigen bagi demokrasi.

 

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut artikel dari Akhmad Aziz Nanda Saira, atau isu lain tentang Kebebasan Berekspresi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//