• Nusantara
  • Komite Keselamatan Jurnalis: RKUHP Mengancam Kebebasan Berekspresi Warga dan Kebebasan Pers

Komite Keselamatan Jurnalis: RKUHP Mengancam Kebebasan Berekspresi Warga dan Kebebasan Pers

Lebih dari 14 isu krusial yang mencakup berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat dan bernegara diatur dalam RKUHP. Di antaranya terkait kebebasan pers.

Mahasiswa membawa poster saat berdemonstrasi menolak RKUHP di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). Mahasiswa menuntut penghapusan pasal yang mengatur urusan privat masyarakat. (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id))

Penulis Iman Herdiana7 Juli 2022


BandungBergerak.idPemerintah telah menyerahkan draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada DPR melalui rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, Rabu (6/7/2022) lalu. DPR kemudian menyepakati pembahasan terhadap draf RKUHP dari pemerintah akan dilakukan secara tertutup oleh fraksi-fraksi dan komisi, termasuk dalam membahas pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menilai pembahasan RKHUPK yang tertutup telah menjadi preseden buruk. Sejak awal perumusan RKUHP yang dilakukan pemerintah juga sangat membatasi partisipasi publik yang bermakna.

“Padahal RKUHP tersebut akan berdampak penuh kepada masyarakat luas,” demikian pernyataan resmi Komite Keselamatan Jurnalis yang merupakan forum bersama 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia, dikutip Kamis (7/7/2022).

Menurut KKJ, komunitas jurnalis dan industri pers secara umum akan sangat terdampak oleh RKUHP tersebut. KKJ menghendaki transparansi dalam perumusan RKUHP, sehingga kebebasan pers secara utuh dilindungi dan jurnalis tidak menjadi korban dari pasal-pasal multitafsir di dalam KUHP dengan cara dipidanakan.

Versi pemerintah, hanya ada 14 isu krusial yang harus dibahas dalam RKUHP, namun masyarakat sipil menilai terdapat lebih dari 14 isu krusial yang mencakup berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Di dalam isu krusial yang diusulkan pemerintah, beberapa pasal yang menyangkut hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak dibahas secara khusus, padahal pasal-pasal tersebut berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Pasal-pasal tersebut di antaranya, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden (Pasal 218, 219, dan 220), pasal penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 240), pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 351 dan 352), pasal izin keramaian yang di dalamnya mengatur penyelenggaraan unjuk rasa dan demonstrasi (Pasal 256), pasal penyebaran berita bohong (Pasal 263), hingga pasal terkait makar (Pasal 191-196). 

Menanggapi kompleksnya berbagai isu yang diatur di dalam RKUHP, penerapan proses perumusan dan pembahasan yang transparan serta pelibatan masyarakat secara bermakna menjadi sangat krusial. Untuk itu, KKJ mendesak pemerintah dan DPR untuk:

1. Membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna dalam memberi masukan dan kritik atas draf resmi RKUHP terbaru;

2. Memastikan agar draf RKUHP menjamin kebebasan pers, dan kebebasan sipil, kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat yang dijamin UUD Negara RI Tahun 1945 dalam konteks yang lebih luas; dan

3. Memastikan agar DPR RI tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP sebelum dua hal di atas terpenuhi.

Komite Keselamatan Jurnalis merupakan forum bersama 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI);

Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Komite Keselamatan Jurnalis, secara khusus bertujuan untuk mengadvokasi kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Baca Juga: Pasal-pasal Kontroversial RKUHP yang Ditolak Mahasiswa Bandung
SUARA SETARA: Karut-marut RKUHP, Beraroma Pembungkaman hingga Ikut Campur Negara pada Urusan Pribadi
RKUHP Mengancam Kebebasan Berekspresi, Pembahasannya tidak Transparan

Hak-Hak Sipil dan Politik

Sebelumnya, elemen masyarakat sipil yang terdiri dari YLBHI, KontraS, Imparsial, LBH Jakarta, PBHI Nasional, dan BEM UI telah mendesak pentingnya keterbukaan dalam pembahasan RKUHP. Organisasi-organisasi prodemokrasi ini meminta DPR untuk membahas RKUHP dengan rapat terbuka, memaparkan apa yang menjadi alasan hal tersebut dilakukan.

“Hal yang paling mendasar, pembahasan perubahan rumusan substansi RUU harus dibahas terbuka, keseluruhan rancangan UU harus sudah dapat diakses publik dalam jangka waktu yang cukup sebelum disahkan,” demikian pernyataan bersaman YLBHI, KontraS, Imparsial, LBH Jakarta, PBHI Nasional, dan BEM UI.

Organisasi masyarakat sipil ini juga menyatakan, pemerintah dan DPR sebagai tim perumus RKUHP seharusnya membuka pembahasan secara menyeluruh dan memastikan partisipasi bermakna dari masyarakat.

Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah disahkan melalui Undang Undang No. 12 Tahun 2005 mengatur bahwa setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apa pun dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan untuk ikut dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//