• Berita
  • Diskusi Buku di Perpustakaan Bunga di Tembok: Mengenal Junghuhn Melalui Catatan Penjelajahannya di Pulau Jawa

Diskusi Buku di Perpustakaan Bunga di Tembok: Mengenal Junghuhn Melalui Catatan Penjelajahannya di Pulau Jawa

Malik Ar Rahiem menerjemahkan tulisan Junghuhn melalui buku Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa dan Franz Junghuhn (Berkelana di Pulau Jawa 1835 - 1839).

Diskusi buku Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa dan Franz Junghuhn (Berkelana di Pulau Jawa 1835 - 1839) di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Kamis, 19 Juni 2025, (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Fitri Amanda 20 Juni 2025


BandungBergerak.idFranz Wilhelm Junghuhn, seorang naturalis asal Jerman, pernah menapakkan jejaknya di tanah Jawa. Datang ke Hindia Belanda pada tahun 1835 sebagai dokter tentara kolonial, ia segera menemukan bahwa panggilan hidupnya melampaui sekadar tugas militer. Didorong oleh rasa ingin tahu yang mendalam, ia menelusuri gunung-gunung dan hutan-hutan lebat sambil mencatat dan melukis.

Lewat tulisan yang hidup, puitis, dan penuh gambar, Junghuhn merekam setiap petualangan dan penemuannya. Namanya mungkin terdengar asing bagi banyak orang, namun di Jawa Barat—khususnya di Bandung—ia dikenal berkat penelitian tentang pohon kina dan makamnya yang terletak di Lembang. Warisannya hidup dalam lanskap dan ingatan, menjadi pengingat bahwa pengetahuan sejati lahir dari keberanian menjelajah.

Junghuhn menjadi perbincangan dalam diskusi yang berlangsung di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Kamis, 19 Juni 2025 bersama Malik Ar Rahiem, geolog yang sudah menerjemahkan buku-buku yang ditulis oleh Junghuhn ke dalam Bahasa Indonesia. Buku tersebut diterbitkan dengan judul seperti Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa dan Franz Junghuhn (Berkelana di Pulau Jawa 1835 - 1839). Diskusi ini juga menghadirkan Tiwi Kasavela, pegiat sejarah. Malik dan Tiwi mengajak peserta diskusi untuk mengenal lebih dalam sosok Junghuhn si peneliti serba bisa.

Bagi Malik, Junghuhn bukan nama asing. Ia sudah mengenalnya melalui pelajaran geografi tentang klasifikasi iklim dan budidaya kina. Namun, di balik nama Junghuhn yang melegenda, karya-karyanya nyaris tidak dikenal.

“Jadi ketika meskipun orang banyak banget yang ngutip klasifikasi iklim, yang ngutip kina itu tapi bukunya itu buku apa? Buku apa yang membahas tentang itu? Jadi orang cuma tau dongengnya doang gitu,” jelas Malik, yang kemudian hal inilah yang menjadi salah satu alasan dia menerjemahkan buku-buku Junghuhn.

Meskipun Junghuhn dikenal sebagai ilmuwan yang teliti dalam mencatat data berupa angka, namun ia menuliskannya dengan gaya tidak kaku dan sangat imajinatif. Di balik angka dan laporan observasi, Junghuhn menyelipkan kesan, perasaan, dan kegairahan yang mendalam terhadap alam yang ia jelajahi yang membuat pembaca seolah ikut berpetualang bersamanya.

Malik sendiri selama menggeluti karya Junghuhn merasa bukan sedang membaca laporan penelitian, tetapi seperti sedang mendaki gunung.  “Orang bisa merasakan betul bagaimana passion-nya dia terhadap apa yang dia lihat, apa yang dia deskripsikan, pengalamannya. Jadi kita tuh larut gitu dalam ceritanya dia,” ungkap Malik, kagum terhadap gaya penulisan Junghuhn.

Tiwi Kasavela, menyoroti sisi personal dan filosofis dari sosok Junghuhn. Junghuhn dinilai sebagai tokoh langka yang mencintai tanah jajahan. Tiwi juga menekankan bahwa penting bagi masyarakat hari ini untuk membaca Junghuhn bukan semata-mata karena kontribusinya di bidang geografi dan botani. Di luar bidang itu, Junghuhn berani mengkritik agama dan kolonialisme.

“Dia tuh lebih orang yang cenderung reflektif dan menganggap bahwa ya untuk apa kita mendapatkan wahyu ketika kita melihat bahwa alam semesta ini adalah wahyu itu sendiri. Tuhan itu sudah bisa menampakkan dirinya lewat apa yang kita lihat, yaitu alam semesta gitu,” ucap Tiwi.

Baca Juga: Franz Wilhelm Junghuhn dan Bandung
JEJAK JUNGHUHN: Hidup dan Karyanya

Diskusi buku Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa dan Franz Junghuhn (Berkelana di Pulau Jawa 1835 - 1839) di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Kamis, 19 Juni 2025, (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Diskusi buku Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa dan Franz Junghuhn (Berkelana di Pulau Jawa 1835 - 1839) di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Kamis, 19 Juni 2025, (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak) 

Ajakan Menelusuri Jejak Junghuhn

Pandangan tentang Junghuhn tidak sepenuhnya tanpa kritik. Dalam sesi diskusi, salah satu peserta diskusi menyebutkan bahwa meski Junghuhn adalah sosok yang mengkritik agama dan kolonialisme, namun dalam beberapa tulisannya, ia juga menunjukkan dukungan terhadap tanam paksa karena menurutnya sistem tersebut memperkenalkan praktik budidaya dan produksi kepada penduduk jajahan.

“Jadi dia melihat itu sebagai sesuatu yang positif. Dia menyayangkan masyarakat yang wah ini kebun kopi dianggurin padahal ini kalau mereka tahu harganya di Eropa, mereka tuh bisa kaya raya. Itu pemikiran yang ditulis di buku Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa, dan ini sebenarnya cukup kita sayangkan,” ungkap salah satu peserta diskusi.

Menanggapi pandangan itu, Tiwi mengatakan bahwa Junghuhn bukan tokoh yang bisa diposisikan secara hitam-putih. Tiwi mengatakan bahwa tentu Junghuhn mengalami pergulatan batin antara posisinya sebagai seorang ilmuwan dan petugas kiriman kolonial.

“Kadang ya cuma memang ada beberapa hal banyak pergolakan batin juga. Kadang kan dia suka ada pemikiran-pemikiran yang kadang dia pro, kadang dia kontra. Nah, seperti itulah mungkin pergulatan batinnya. Dia orang yang bijak yang dalam artian dia bukan orang yang tertekan harus ABCD, tetapi dia banyak hal-hal yang pada akhirnya dia pikirkan juga,” ucap Tiwi.

Di akhir diskusi, Malik mengungkapkan harapannya agar karya-karya Junghuhn bukan hanya sekadar dibaca, tetapi juga dijalani dalam artian berharap suatu saat orang-orang bisa melakukan kembali perjalanan yang sudah dilakukan oleh Junghuhn, mengikuti rute berpetualang Junghuhn, menelusuri titik-titik yang pernah dijelajahi, dan kemudian membandingkan lanskap yang dulu dengan yang sekarang.

“Saya tuh pengin orang napak tilas ke sini lalu ke sini (titik-titik penjelajahan Junghuhn), terus bandingin, ada proses kontemplasi oh baheula teh hutannya di sini tuh kayak gini sekarang jadi kayak gini,” ungkap Malik. 

Tiwi kemudian menutup diskusi dengan mengajak peserta diskusi untuk mengenali Junghuhn bukan sekadar melalui buku semata, tetapi juga mengenali Junghuhn sebagai pintu pembuka untuk mengenal diri dan alam sekitar. 

“Jangan hanya membaca, teman-teman. Selain kita mengenal, kita bisa take action. Karena sayang banget kalau sesuatu dibaca hanya untuk dibaca,” ucap Tiwi.  

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//