• Berita
  • Teater Adhikara: Realitas Guru Perempuan, Digaji Kecil Diganjar Stigma

Teater Adhikara: Realitas Guru Perempuan, Digaji Kecil Diganjar Stigma

Lakon yang dibawakan kelompok Teater Adhikara memotret realitas guru perempuan. Gaji mereka yang kecil diperparah dengan stigma terhadap perempuan.

Pementasan teater Jejak Tiga Luka yang digelar kelompok Teater Adhikara di gedung Rumentang Siang, Kota Bandung, Sabtu, 5 Juli 2025. (Foto: Rizki Anugrah/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam7 Juli 2025


BandungBergerak.idLuka sekaligus harapan menjadi alur cerita dalam teater bertajuk Jejak Tiga Luka yang digelar kelompok Teater Adhikara di gedung Rumentang Siang, Kota Bandung, Sabtu, 5 Juli 2025. Nasib pilu menemani guru perempuan di perkampungan. Digaji kecil, diganjar stigma.

Pertunjukkan yang digagas oleh mahasiswa jurusan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Pasundan (Unpas) Bandung itu mengangkat tema kuliah ilmu pendidikan tak menjanjikan nasib mujur.

Dikisahkan, seorang perempuan lulusan sarjana pendidikan bernama Linda dituntut harus tahu diri oleh masyarakat sekaligus ibunya. Tapi Linda memilih mencari arah ketimbang mengikuti penilaian sosial.

Linda kerap ditertawakan saat bermimpi, dibatasi saat melata, dan diragukan saat memilih. Namun, dia tetap berdiri menolak tunduk pada stigma sarjana pengangguran. Panggung teater ini menunjukkan sebuah tragedi sekaligus komedi yang mengangkat luka mimpi dan keberanian perempuan untuk terus bersinar.

Pertunjukan dibuka oleh 10 penari perempuan. Empat di antaranya memakai mortaboard atau topi toga. Mereka diiringi suara karinding dan kempul gong. Muka mereka datar, matanya awas, dengan gerak yang lincah.

Para perempuan itu mengucapkanmereka menertawakan”, secara serentak dan sporadik. Satu di antaranya lalu meneriakan Katanya aku mengecewakan orang tua, katanya aku hanya beban”. “Kalian bilang aku sarjana sampah”.

Linda yang bercita-cita sebagai guru, kerap disepelekan oleh sang ibu, Ratna. Ratna memandang bahwa gaji guru kecil. Untuk menjadi seorang guru tak perlu kuliah tinggi-tinggi. Cukup lulusan SMA saja. Linda menjawab cemoohan ibunya dengan tangisan.

Dia sering dibandingkan dengan anak Ceu Eha, tetangga mereka. Anak Ceu Eha, Dahlia, menjadi guru berbekal ijazah SMA.

Ratna tak sabar melihat anaknya terus menganggur. Ia kemudian mendesak Linda segera menikah.

“Linda kamu teh cari kerja atuh daripada di rumah wae mah. Atau ga, cari laki-laki kaya raya,” kata Ratna.

Berbeda dengan ibunya, ayah Linda, Karman, justru mendukung cita-cita anaknya sebagai guru. Ayah dan ibu Linda pun berdebat. Masalah semakin rumit ketika Karman menggoda ceu Eha yang sudah ditinggal suami.

Ceu Eha menyinggung Ratna dengan merendahkan Linda yang belum bekerja padahal lulusan sarjana. Ceu Eha kerap membanggakan putri sulungnya yang sudah bekerja.

“Janda-janda juga saya mah punga warung. Anak saya udah kerja. Coba anak kamu, sarjana tapi pengangguran,” kata Eha, judes.

Kondisi Linda yang menganggur kemudian menjadi bahan gunjingan para tetangga di warung Eha. Mereka lebih baik mengawinkan mereka daripada lama menganggur. “Daripada kuliah mah boborot biaya, bari lulusana can nangtu,” demikian gosip ibu-ibu.

Realitas Pahit Sarjana Pendidikan

Hari masih pagi, tapi Linda sudah bergegas dengan pakaian kemeja putih, membawa map untuk lamaran pekerjaan. Dia keukeuh ingin menggapai cita-cita meski mendapat penentangan dair ibunya.

Baru lima langkah berjalan, Linda dicegat oleh Kusni, anak mak Enung yang menaksir Linda. Kusni merupakan lulusan SD yang memiliki usaha bengkel motor. Kusni dipandang sebagai orang terpandang di kampung, termasuk di mata ibunya Linda. Dia akrab dipanggil bos.

Linda sering dibujuk ibunya agar mau menikah dengan Kusni. “Kalau kamu nikah sama si Kusni, hidup kamu bakal terjamin,” ujar ibunya, merayu Linda.

Ayah Kusni yang sudah almarhum merupakan seorang pensiunan PNS yang gajinya bakal cair seumur hidup. Ibunya Linda ingin seluruh biaya yang sudah dikeluarkan untuk mengkuliahkan Linda segera balik modal. Namun Linda tetap dalam pendiriannya.

Akhirnya Linda diterima kerja di SD Adikara, sekolah yang sama dengan anaknya Eha. Mendengar hal itu, Ratna bukannya bersyukur tapi malah merendahkan. Menurutnya, sarjana seharusnya mengajar di SMA. Lagi-lagi Ratna mendesak Linda agar mau menikah dengan Kusni.

Ayah tak setuju dengan pendapat istrinya. Ia tetap membela Linda, bahwa cita-cita sang anak harus didukung. Dia tak ingin anaknya mendapatkan uang dengan cara-cara instan.

“Jadi guru teh pekerjaan yang mulia, banyak atuh pahalanya,” kata Karman.

Ratna dan Karman berdebat, sementara Linda hanya bisa menangis.

Baca Juga: Teater Payung Hitam Dilarang Menampilkan Lakon Wawancara Dengan Mulyono, Kebebasan Berekpresi Kampus ISBI Dibungkam

Stigma terhadap Perempuan

Muhammad Fariz alfarizy, asisten sutradara tetaer ini mengatakan, latar belakang pertunjukan lakon mengangkat masyarakat di kampung atau desa yang masih menganggap guru adalah pekerjaan yang tak menjamin masa depan.

Fariz menjelaskan, tema teater mengadung tiga unsur, yaitu isu sosial, keluarga, dan anak. Makanya, tajuk teater diberi nama Jejak Tiga Luka. Dia menyadari bahwa stigma bahwa perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi.

“Menjadi guru wanita yang berpendidikan tinggi masih menjadi stigma gitu,” ucap Fariz. “Daripada kuliah, mending cari orang kaya aja,  ngapain harus belajar tinggi-tinggi, ngapain harus sampai jadi guru.

Mahasiswa semester enam itu berharap, para penonton setelah menonton pertunjukan bisa memahami bahwa perempuan juga layak sekolah tinggi. “Hilangkanlah stigma-stigma bahwa perempuan itu tidak bisa sekolah lebih tinggi dari lelaki,” harapnya.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//