CERITA ORANG BANDUNG #93: Dari Tujuh Ribu Rupiah, Mang Cucun Hidup Bebas dan Mandiri
Mang Cucun sudah merasakan asam garam pekerja serabutan. Ia banting setir untuk hidup mandiri dengan berjualan roti keliling di kawasan Jatinangor.
Penulis Olivia A. Margareth14 Juli 2025
BandungBergerak.id - Dari pengeras suara kecil yang terikat di atas motor gerobaknya, sebuah rekaman mengalun memecah senja Jatinangor. Suaranya serak, mengesankan dimiliki oleh seseorang yang telah berteriak sepanjang hari, namun semangatnya tidak luntur dalam putaran kaset yang sama. “Roti bakar, roti kukus, Mang Cucun. Sosis bakarna aya, burgerna oge aya. Karadieu, karadieu!”
Itulah Cucun Sundana (50 tahun) atau akrab disapa Mang Cucun. Di atas motor tua yang dimodifikasi dengan gerobak sederhana, ia menjajakan beragam varian roti. Sejak 1997-an, saat usianya baru 22 tahun, jalanan Jatinangor telah menjadi saksi bisu perjuangan Mang Cucun.
Wajahnya menggambarkan peta kehidupan. Garis-garis di sudut matanya menceritakan ribuan kilometer yang telah ia tempuh, sementara senyumnya menyimpan ketabahan yang teruji. Ia adalah potret "warga kecil" dengan mimpi yang besar.
Modal dari Celengan dan Upah 7.000 Rupiah
Sebelum aroma roti bakar menjadi identitasnya, Mang Cucun adalah warga Jatinangor dengan pekerjaan tidak tetap. Ia pernah menjadi kuli bangunan sampai jadi tukang ojek.
"Ingin cari suasana yang lain," katanya, kepada BandungBergerak, 4 Juli 2025.
Keinginan hidup mandiri dengan berniaga tidaklah mudah. Mang Cucun terkendala modal. Setiap hari, di bawah terik matahari, ia membanting tulang dengan upah yang hari ini mungkin terdengar mustahil, 7.000 rupiah per hari.
"Kalau ke orang tua bukannya gak minta, tapi memang gak ada. Kalau (mereka) punya, pasti dikasih," ujarnya dengan jujur.
Dari upah 7.000 rupiah itu ia masih harus menyisihkan sebagian ke dalam celengan. "Per hari kita naruh untuk dapat uang modal Rp300.000 itu teh berapa lama ya… lamalah," kata Mang Cucun, sambil tertawa kecil.
Pada tahun 1997, dengan modal hasil keringat murni itu ia mulai mendorong gerobak rotinya. Saat baru berjualan, Mang Cucun harus berkeliling jauh dari Ciseke hingga Sayang, untuk mencari pelanggan.
Hasil kerja kerasnya tidak ia pakai untuk hal-hal konsumtif. Saat dihadapkan pada pilihan antara motor atau rumah, Mang Cucun menjawab tanpa pikir panjang.
“Rumah dulu atuh! Yang penting rumah dulu,” tegasnya. "Isinya mah nanti juga gampang. Yang penting kita tempatnya dulu untuk keluarga."
Jawaban itu bukan sekadar ucapan. Setelah menikah pada tahun 1999, Mang Cucun dan istrinya menumpang di rumah orang tuanya. Sambil terus berjualan roti, ia menabung sedikit demi sedikit. Butuh tujuh tahun baginya untuk membangun rumah sederhana milikinya.
"Ini juga gak langsung jadi. Sekitar 2007 baru misah dari orang tua," ujar Mang Cucun sembari mengenang proses yang panjang itu.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #92: Asep Sutajaya, dari Pena ke Cangkul
CERITA ORANG BANDUNG #91: Asep Sutajaya, dari Pena ke Cangkul

Pahit Manis Roda Usaha
Perjalanan usaha Mang Cucun tak pernah sepi dari ujian. Ia ingat betul bagaimana gerobaknya terguling dan nyaris terbakar karena disenggol bus. Saat minta ganti rugi, ia justru diajak ribut. "Ah, udahlah, enggak apa-apa," katanya.
Seiring waktu, ia berhasil melakukan ekspansi. Pada tahun 2008, ia membeli sebuah lapak bekas milik tetangga. "Dulu gak langsung jualan juga, di-keep dulu aja karena nggak punya modal (untuk mengisi warung)," jelasnya. Lapak itu sempat ia sewakan terlebih dahulu.
Barulah pada tahun 2014, ia menggunakan lapak itu untuk membuka warung nasi, sementara usaha rotinya tetap berjalan. Selama enam tahun, hingga 2020, warung itu menjadi sumber penghasilan tambahan.
Ujian terberat datang saat pandemi Covid-19 melanda. Selama dua tahun (2020-2022), ia terpaksa berhenti total. Larangan beraktivitas membuatnya tidak bisa mencari nafkah.
"Tabungan kepake untuk makan, jadi habis. Tadinya gak punya hutang, sekarang jadi punya hutang," akunya getir. Bantuan dari pemerintah yang seharusnya menjadi modal usaha, terpaksa habis untuk menyambung hidup.
Setelah pandemi mereda, Mang Cucun mencoba bangkit. Ia dan istrinya memutuskan untuk menjalankan kembali kedua usaha secara bersamaan. Istrinya akan menjaga warung nasi, sementara Mang Cucun tetap berkeliling menjajakan roti.
Namun, kenyataan tidak sesuai harapan. Pelanggan lama warungnya telah hilang dan merintis kembali usaha dari nol terbukti jauh lebih sulit. Pemasukan dari warung nyaris tidak ada, sementara pendapatan dari jualan roti yang seharusnya menjadi penopang hidup, justru terus-menerus tersedot untuk menutupi biaya operasional warung yang merugi.
Di sinilah ia mengaku mendapatkan pelajaran paling mahal dalam hidupnya. "Secara strategi salah," katanya merefleksi dengan tatapan menerawang. "Kita jangan melupakan yang sudah berjalan. Jangan melepas yang sudah berjalan untuk tempat yang baru."
Ia sadar telah mengorbankan sumber pendapatan yang pasti—roti keliling—untuk menghidupi sebuah ketidakpastian, warung nasi yang sepi. Modalnya terkuras tanpa hasil. Dari kegagalan itulah ia mengambil keputusan berat untuk menutup warung dan kembali fokus pada satu hal yang telah terbukti menghidupinya selama ini.
Kini, Mang Cucun kembali menyusuri jalanan Jatinangor, roda usahanya berputar dalam ritme harian yang telah ia kenali. Harinya terbagi dua. Pagi hari, sekitar pukul setengah tujuh, ia keluar sebentar hanya untuk menghabiskan sisa roti semalam. "Daripada diam di rumah, kan ada sisa. Sayanglah," ujarnya praktis.
Fokus utamanya adalah sore hari. Pukul setengah lima, ia berangkat dengan motor gerobak yang terisi penuh stok baru, berkeliling hingga pukul sembilan malam. Ia membawa sekitar 70 roti kecil dan hanya 7 roti berukuran besar—komposisi yang terbalik dari masa jayanya dulu.
"Pasarnya udah beda," jelas Mang Cucun. "Dulu mah orang tuanya yang beli, jadi roti besar laku. Kalau sekarang mah anaknya aja yang jajan." Menurutnya, pergeseran ini terjadi karena tekanan ekonomi. Banyak keluarga terikat cicilan dan pinjaman "bank” rumah ke rumah, sehingga harus meminimalkan pengeluaran untuk jajan.
Dari pergeseran pasar inilah, ia mengais rezeki. Penghasilannya mungkin tidak menentu, namun di hari yang ramai, ia bisa membawa pulang keuntungan 100.000 rupiah bersih. Lebih dari sekadar keuntungan, menjadi pengusaha kecil memberinya kebebasan yang berarti.
"Kalau kita punya usaha sendiri itu bebas, kita bisa mengatur waktu untuk ibadah,” ungkapnya.
Di akhir perbincangan, ia membagikan resep hidupnya yang sederhana. "Untuk anak-anak muda itu, yang penting jujur. Patuh sama orang tua. Kita harus hormat, mau bagaimanapun itu orang tua kita," pesan Mang Cucun.
Ia juga menambahkan satu hal yang jarang terpikirkan. "Kita harus lebih sayanglah ke alam. Karena kita berdampingan sama alam."
Dari upah tujuh ribu rupiah, Mang Cucun tidak hanya berhasil membangun rumah untuk keluarganya. Ia telah membangun sebuah kehidupan yang penuh dengan ketabahan dan kearifan yang lahir dari kerasnya jalanan. Dan setiap sore, saat suara rekaman itu kembali terdengar, itu bukan sekadar panggilan pedagang. Itu adalah gema dari perjalanan panjang yang dimulai dari celengan dan upah tujuh ribu rupiah, sebuah bukti bahwa roda kehidupan—sama seperti roda motornya—harus terus berputar.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB