• Berita
  • CERITA ORANG BANDUNG #91: Asep Sutajaya, dari Pena ke Cangkul

CERITA ORANG BANDUNG #91: Asep Sutajaya, dari Pena ke Cangkul

Asep Sutajaya lama menggeluti dunia sastra dan teater. Kini ia fokus menterjemahkan kata-kata lewat aksi nyata di lahan pertanian.

Asep Sutajaya saat di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Mei 2025. (Foto: Vallencya Alberta Susanto/BandungBergerak)

Penulis Vallencya Alberta Susanto 24 Juni 2025


BandungBergerak.id - Di masa mudanya, Asep Sutajaya akrab dengan kata-kata. Ia menulis cerpen, puisi, bergiat di teater, dan mengajar—segalanya dilakukan dengan napas sastra yang panjang. Lulusan Pendidikan Sastra Indonesia dari Universitas Negeri Medan ini mencurahkan hidupnya untuk dunia kesusastraan sejak 1999 hingga 2010. Selama lebih dari satu dekade, ia berpindah dari satu ruang diskusi ke panggung pementasan, dari satu naskah ke naskah lain.

Namun waktu berjalan, dan arah hidupnya pun bergeser. “Sekarang juga bukan melepas, tapi masih ada jadi memang tidak begitu fokus banget di sastra dan teater seperti dulu,” ujarnya.

Suta, begitu ia disapa, memang belum benar-benar menanggalkan dunia sastra. Ia masih hadir dalam pameran, ikut bedah buku, bahkan sesekali tampil di acara sastra. Tapi kini, langkahnya lebih sering menuju ladang. Dari yang dulu bekerja di gedung-gedung, kini ia turun ke tanah, mencangkul, menyemai, dan menanam. Fokusnya berubah: dari estetika kata menjadi keberlangsungan alam.

Perubahan itu bermula saat orang tuanya memintanya pindah kembali ke Bandung. Di sinilah, ia mulai menengok ke arah lain: lingkungan, hutan, dan pertanian. Ketertarikannya tumbuh perlahan, lalu menguat seiring waktu. Bagi Suta, ini bukan sekadar pergantian profesi, tetapi langkah baru yang diambil dengan kesadaran penuh.

Langkah Nyata dari Hutan ke Cangkir

Bukan hanya logika yang menggerakkan Asep Sutajaya. Hati dan kesadaran akan kondisi bumi membimbingnya mengambil cangkul dan bibit. Kutipan W.S. Rendra menjadi salah satu titik perenungan: “Proses harus mempunyai paradigma, ilmu pengetahuan, metafor, dan ikhlas.”

Kata-kata itu menggugahnya. Bagi Suta, perubahan tidak cukup hanya di pikiran atau tulisan. “Akhirnya ada kepedulian saya, yah harus diselamatkan alam itu, dan saya tidak bisa hanya menulis puisi atau berkata-kata saja, tapi harus ada aksinya juga,” katanya.

Tinggal di kawasan yang berbatasan langsung dengan hutan, Suta melihat sendiri bagaimana petani menanam sayuran di area yang seharusnya dilindungi. Kegiatan itu, meskipun bermaksud memenuhi kebutuhan hidup, berisiko menimbulkan bencana. Ia mulai menggali informasi dan menemukan bahwa menanam kopi bisa menjadi solusi. Pemerintah mendorong budidaya kopi sebagai bagian dari pelestarian hutan.

Maka dimulailah fase baru dalam hidupnya. Ia belajar teknik menanam dan memilah kopi. Tak berhenti pada dirinya sendiri, ia dan rekan-rekannya membagikan sekitar 20 ribu bibit kopi kepada petani di sekitarnya. Mereka memberi contoh, menyampaikan cara, dan menemani proses. Petani merespons positif. Kopi-kopi itu kini tumbuh, panen, dan menjadi tumpuan hidup yang baru.

Melihat hasilnya, Suta tak bisa menahan senyum. Para petani yang dahulu cemas akan gagal panen, kini bisa tersenyum lega melihat hasil kebun mereka. Peribahasa “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” menjadi prinsip yang terus ia pegang.

Namun Asep Sutajaya belum selesai. Melihat geliat budaya ngopi yang makin marak di kota-kota, ia mulai belajar meracik kopi. Dari hasil panen, ia mencoba menemukan racikan yang enak, otentik, dan bisa dinikmati siapa saja. Ia tahu, jalan ini panjang. Tapi bagi Suta, setiap langkah adalah bagian dari upaya untuk membumikan perubahan.

Suta mengakui bahwa jalan barunya menuntut lebih dari sekadar romantisme ideal. Namun ia tak menyesal. Ia ingin generasi muda juga turut turun tangan. Dunia kini penuh teknologi, dari ponsel hingga kecerdasan buatan. Tapi baginya, semua itu tak boleh membuat manusia lupa menyentuh tanah, menyapa pohon, atau memungut ranting. Dunia nyata masih memanggil untuk diperbaiki.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #89: Sepi Dagangan Een di Pinggiran Cadas Pangeran
CERITA ORANG BANDUNG #90: Perjalanan Seni Tono

Asep Sutajaya saat di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung,  Mei 2025. (Foto: Vallencya Alberta Susanto/BandungBergerak)
Asep Sutajaya saat di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Mei 2025. (Foto: Vallencya Alberta Susanto/BandungBergerak)

Peluang Ekonomi Hijau dari Tanah Priangan

Lebih dari sekadar minuman, kopi menyimpan potensi ekonomi yang besar, khususnya bagi masyarakat di daerah penghasilnya. Di tengah dorongan untuk mengembangkan komoditas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, kopi menjadi salah satu jawaban.

Provinsi Jawa Barat, sebagai salah satu lumbung kopi nasional, mencerminkan potensi ini dengan capaian produksi dan luasan lahan yang terus menunjukkan tren positif.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, dari sisi luas pengembangan tanaman perkebunan, kopi menempati posisi kelima setelah kelapa, teh, karet, dan cengkeh. Meski belum menempati posisi teratas, geliat produksi kopi di provinsi ini terus meningkat dari tahun ke tahun, menunjukkan pertumbuhan yang menjanjikan.

Dalam kajian berjudul "Potensi Komoditas Kopi dalam Perekonomian Daerah di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung" yang ditulis oleh Dina Fithriyyah, Eliana Wulandari, dan Tuhpawana P. Sendjadja dalam jurnal Mimbar Agribisnis, disebutkan bahwa menurut Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat (2018), luas lahan perkebunan kopi rakyat di Jawa Barat telah mencapai lebih dari 38 ribu hektare.

Sepanjang 2012 hingga 2016, subsektor tanaman perkebunan memberikan kontribusi rata-rata sebesar 0,75 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Barat berdasarkan harga konstan 2010. Dalam lingkup sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, kontribusi subsektor ini mencapai 9,21 persen (BPS Provinsi Jawa Barat).

Produksi kopi di Jawa Barat memperlihatkan pertumbuhan yang stabil. Tahun 2012 tercatat produksi mencapai 15.567 ton dari luas lahan seluas 30.620 hektare. Tren ini terus berlanjut dan pada tahun 2016, produksi meningkat menjadi 17.684 ton dari luas lahan 33.889 hektare (BPS Provinsi Jawa Barat, 2017).

Salah satu kawasan yang menjadi pusat pengembangan kopi, khususnya jenis arabika, adalah Kabupaten Bandung. Karakteristik wilayah ini yang didominasi daerah pegunungan dengan ketinggian di atas 2.000 meter di atas permukaan laut, serta curah hujan rata-rata 6,55 mm per hari (tahun 2016), memenuhi syarat ideal bagi pertumbuhan kopi arabika (Ditjenbun, 2014).

Kabupaten Bandung tercatat sebagai produsen kopi terbesar di Jawa Barat. Dalam kurun waktu 2012 hingga 2016, luas areal tanam dan volume produksi kopi di wilayah ini menunjukkan peningkatan. Tahun 2012, luas lahan kopi mencapai 10.024 hektare dengan produksi 26.168 ton. Empat tahun kemudian, luas lahan bertambah menjadi 10.027 hektare, sementara produksi meningkat menjadi 27.625 ton (BPS Kabupaten Bandung, 2017). 

Kopi bukan hanya komoditas ekonomi yang menjanjikan, namun juga membawa dampak ekologis yang positif jika dikelola dengan pendekatan lestari, seperti yang dilakukan Asep Sutajaya. Di Jawa Barat, geliat kopi rakyat menjadi peluang nyata untuk membangun ekonomi berbasis alam yang berkelanjutan.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//