• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG #89: Sepi Dagangan Een di Pinggiran Cadas Pangeran

CERITA ORANG BANDUNG #89: Sepi Dagangan Een di Pinggiran Cadas Pangeran

Een, pedagang ubi cilembu dan peuyeum Bandung, pernah mengalami masa jaya berjualan di Cadas Pangeran, sebelum pembangunan Tol Cisumdawu.

Een, pedagang oleh-oleh ubi cilembu dan peuyeum Bandung di Cadas Pangeran, Sumedang, Kamis, Mei 2025. (Foto: Vallencya Alberta/BandungBergerak)

Penulis Vallencya Alberta Susanto 12 Juni 2025


BandungBergerak.idPatung Pangeran Kornel di Cadas Pangeran 'mengawasi' kerja keras Een, pedagang oleh-oleh ubi cilembu dan peuyeum Bandung, setiap harinya. Omzet perempuan 70 tahun itu terjun bebas sejak beroperasinya Tol Cileunyi–Sumedang–Dawuan (Cisumdawu). Sebelum ada tol, orang-orang yang menempuh jalur tengah Bandung - Pantura biasa melintasi Cadas Pangeran. Dagangan Een pun cukup laris.

Namun, sejak sekitar sepuluh tahun terakhir, suasana itu perlahan memudar. Jalan berkelok di pinggiran gunung cadas yang dahulu dipenuhi kendaraan kini makin sepi. Pengendara memilih jalur Tol Cisumdawu yang lebih cepat dan mulus. Kehidupan para pedagang di sepanjang Cadas Pangeran pun ikut terseret arus perubahan.

Hampir seluruh kios di sekitar patung Pangeran Kornel menjajakan barang serupa: ubi dan peuyeum. Harga yang mereka tawarkan pun tak jauh berbeda. Kios-kios itu merupakan hibah dari Bupati Sumedang. Dulu, siang hari menjadi waktu tersibuk. Tapi sejak kendaraan tak lagi ramai melintas, jam-jam ramai itu tinggal kenangan.

Een telah berjualan oleh-oleh Bandung selama empat dekade di kawasan yang rimbun pepohonan ini. “Kalau dulu mah nggak susah dagang teh. Kalau Jumat, Sabtu, Minggu dapat dah sejuta setengah (rupiah). Sekarang, Jumat, Sabtu, Minggu paling cuman 400 ribu (rupiah),” ujar Een, Kamis, Mei 2025.

Pendapatan harian Een kini sering kali hanya cukup untuk menutup modal. Menurut perhitungannya, penurunan omzet mencapai sekitar 70 persen.

Pembangunan Tol Cisumdawu yang digagas sejak 2005 telah melalui jalan panjang dan berliku. Proyek infrastruktur raksasa sepanjang 60,3 kilometer ini disebut mampu memangkas waktu tempuh Bandung–Majalengka menjadi hanya satu jam. 

Walhi Jabar mencatat, di balik kemegahan tol yang memiliki terowongan kembar (twin tunnels) sepanjang 472 meter, tersimpan kisah dampak lingkungan dan sosial. Salah satu persoalan sosial yang membayangi pembangunan proyek Tol Cisumdawu adalah pembebasan lahan warga, tanah adat, tanah kas desa, bahkan tanah wakaf. Proses pembangunan tol yang melintasi jalur Cileunyi, Rancakalong, Tanjungsari, Cimalaka, Legok, Ujungjaya ini pun tidak lepas dari penolakan atau keberatan warga. 

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #84: Iman, Pedagang Kopi Keliling yang Bertahan di Tengah Ketidakpastian
CERITA ORANG BANDUNG #87: Bertani Cita-cita Cepi Sejak Kecil
CERITA ORANG BANDUNG #88: Oom Komariah Menolak Penggusuran di Tenjolaya

Tulang Punggung Usia Senja

Di usia senja, Een masih harus menjadi tulang punggung keluarga. Suaminya menderita penyakit jantung dan telah dipasangi dua ring. Dari tujuh anak yang dimilikinya, tiga orang telah meninggal. Tak ingin membebani anak-anak yang masih ada, Een memilih tetap bekerja, berdiri saban hari di kios kecilnya di pinggiran  Cadas Pangeran.

Salah satu anaknya berjualan tak jauh dari kios Een. Sesekali ia membantu menata dagangan, meski kondisi kesehatannya pun tak ideal—ada sakit di bagian kaki yang membatasi geraknya. Dua tahun terakhir, Een terus berjuang mengumpulkan uang agar sang suami bisa tetap berobat.

Rumah Een cukup jauh dari tempatnya jualan. Ongkos ojek bisa mencapai 30.000 rupiah sekali jalan. Maka ia lebih sering memilih menginap di kios.

“Bisa 30 ribu neng dalam sehari naik ojek, jadi ibu mending nginap,” tuturnya.

Di sela-sela sepinya pembeli, percakapan ringan antarpedagang—seperti menanyakan berapa banyak dagangan yang sudah laku hari ini—menjadi hiburan tersendiri.

Sebelum sakit, suaminya yang akrab disapa Abah selalu menemani Een berjualan. Mereka bergantian menjaga kios saat waktu salat atau ketika salah satu ingin beristirahat. Abah dikenal di kalangan pedagang sebagai pribadi yang hangat dan suka menolong. Kini, kebersamaan itu menjadi hal yang paling dirindukan Een.

Sejak Abah divonis sakit jantung, ritme hidup Een berubah drastis. Ia tak lagi sanggup mengurus semuanya sendiri. Untuk mengikat peuyeum, misalnya, ia harus membayar bantuan.

“Sekarang mah ngiket juga dikasih uang yang ngiket, 50 kilo teh 15.000 (rupiah),” ujarnya. Biaya tambahan ini perlahan menggerus penghasilan, membuatnya kerap terpaksa “gali lubang tutup lubang". 

Di tengah segala kesulitan, Een tak menyerah. Ia tetap bertahan demi memberi perawatan terbaik bagi suaminya. Ia juga berharap pemerintah tak hanya sekadar berbicara, tapi benar-benar hadir membantu mereka yang terdampak pembangunan tol. 

Di pinggiran Jalan Cadas Pangeran, Pangeran Kornel masih berdiri. Patung simbolik protes terhadap kerja paksa pembangunan Jalan Raya Pos di era kolonial Belanda, yang salah satu segemennya meliuk-liuk di Cadas Pangeran, kini menjadi saksi bisu bagi Een yang terdampak pembangunan infrastruktur raksasa.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//