• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG #84: Iman, Pedagang Kopi Keliling yang Bertahan di Tengah Ketidakpastian

CERITA ORANG BANDUNG #84: Iman, Pedagang Kopi Keliling yang Bertahan di Tengah Ketidakpastian

Iman alias Babeh telah malang melintang menjadi PKL di Kota Bandung. Banyak terhambat berbagai peraturan yang tak memihak pedagang kecil.

Iman (59 tahun) atau Babeh, pedagang kopi keliling di Taman Musik, Bandung, 23 November 2024). (Foto: Wildan Nurfatwa/BandungBergerak)

Penulis Wildan Nurfatwa24 November 2024


BandungBergerak.idDi salah satu sudut Jalan Bali, Kecamatan Sumur Bandung, Iman atau yang akrab disapa Babeh, seorang pria berusia 59 tahun, sibuk menyajikan kopi dari termos kecil yang ia bawa. Kehidupannya sebagai pedagang kopi keliling kini menjadi satu-satunya tumpuan hidupnya. Ia bertahan dengan pendapatan yang jauh dari cukup, di tengah tekanan larangan berjualan dari pihak berwenang. 

“Sebelum dilarang, saya masih bisa jualan lontong kari, gorengan, dan kopi-kopian. Dulu sehari bisa dapat 200 ribu (rupiah) sampai 300 ribu (rupiah). Sekarang, dapat 20 ribu (rupiah) saja sudah syukur,” ungkap Babeh.

Larangan berdagang di kawasan Jalan Bali yang diberlakukan sekitar tiga bulan lalu oleh Satpol PP Kota Bandung, telah mengubah hidup Babeh secara drastis. 

Babeh mengenang masa-masa kejayaan berdagangnya. Ia memulai usaha pada 1985 dengan berjualan berbagai minuman. Kala itu, kehidupan pedagang jauh lebih mudah. 

“Zaman Pak Harto itu serba murah. Jualan sehari bisa buat makan lima hari. Tapi sekarang, semua serba mahal. Nilai rupiah besar, tapi daya belinya kecil,” ujarnya, sambil tertawa getir. Ia mengacu pada masa Presiden Suharto, pemimpin Orde Baru yang dikenal otoriter.    

Perjalanan Hidup yang Penuh Lika-Liku 

Iman lahir di Bandung dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di kota ini. Meskipun begitu, kehidupannya sempat berpindah-pindah. Saat kecil, ia pernah tinggal di Yogyakarta, namun kembali menetap di Bandung ketika beranjak dewasa. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas tiga SD, tapi ia tetap gigih mencari nafkah sejak usia muda.  

Berbagai jenis usaha pernah dilakoni Babeh. Selain kupat tahu, ia juga pernah berjualan teh botol, gorengan, hingga lontong kari. Namun, seiring berjalannya waktu, tantangan semakin berat. Larangan berdagang di tempat tertentu, biaya sewa lapak yang tidak terjangkau, dan persaingan membuatnya semakin sulit bertahan.  

“Kalau dulu jualan kupat tahu, sehari bisa dapat 200 ribu (rupiah) sampai 300 ribu (rupiah). Tapi sekarang, untuk pendapatan jika mengandalkan jualan kopi saja susah. Paling dapat 20 ribu (rupiah), 30 ribu (rupiah),” ujarnya.

Kondisi ini memaksa Iman hidup lebih hemat. Ia mengaku beruntung sudah memiliki rumah sendiri sehingga tidak perlu memikirkan biaya kontrakan. “Asal ada beras, makan sama sambal saja cukup,” katanya. 

Iman hidup bersama istrinya di rumah sederhana. Sementara anaknya yang berusia 24 tahun dan bekerja di pabrik obat di Bandung Barat. Dua anak lainnya meninggal dunia di usia muda, salah satunya karena kelahiran prematur. Kehilangan menjadi pukulan berat bagi keluarga kecil ini, tetapi Iman memilih tetap tegar.  

Kehidupan Pedagang yang Semakin Sulit

Jumlah pedagang kaki lima seperti Babeh di Kota Bandung tidaklah sedikit. Di situs Sistem Informasi Pedagang Kaki Lima (SIPKL) per bulan Juli 2021, sebanyak 22.003 orang PKL terdaftar oleh Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Kota Bandung.

Dari 22.003 orang pedagang kaki lima yang terdaftar tersebut, diketahui bidang fesyen dan kuliner merupakan dua jenis usaha yang paling banyak dilakoni oleh PKL. Jumlahnya masing-masing terdiri dari 11.783 orang dan 9.712 orang. Jenis-jenis produk lainnya yang dijual PKL antara lain mencakup peralatan rumah tangga, peralatan elektorik, dan kerajinan tangan.

Larangan berdagang bagi PKL jelas akan menutup pintu rezeki mereka, seperti yang dialami Babeh di Jalan Bali. Aturan ini tidak hanya berdampak pada Babeh, tetapi juga pada puluhan pedagang lain. Menurut Babeh, setidaknya ada 40 pedagang yang terkena imbas kebijakan ini.

Padahal, selama jualan ia mesti membayar pungutan yang jika dikumpulkan dari setiap pedagang jumlahnya bisa mencapai 600 ribu rupiah sehari atau 18 juta rupiah sebulan. Ia menyangkan pungutan tersebut tidak dikelola dengan benar sampai akhirnya para pedagang dilarang berjualan. 

Namun, kebijakan yang tidak berpihak pada pedagang kecil ini membuat kawasan itu menjadi sepi pengunjung. Dulunya, tempat ini menjadi destinasi pagi bagi warga yang mencari sarapan seperti kupat tahu, lontong kari, atau gorengan. Sekarang, suasana itu hilang. 

“Karena pedagang dilarang, pengunjung juga jadi engga ada. Sepi semuanya,” ungkap Babeh. 

Selain tekanan dari aparat, biaya sewa lapak di tempat lain juga menjadi kendala besar. Menurut Babeh, harga sewa lapak di kawasan Bandung bisa mencapai jutaan rupiah per bulan. 

“Sewa tempat itu bisa sampai 3 juta (rupiah) sebulan. Belum tentu penghasilan sehari-hari cukup untuk bayar itu,” katanya. Kondisi ini membuatnya sulit mencari alternatif tempat untuk berjualan. 

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #83: Yang Membekas dan Bertahan Bersama BukuCERITA ORANG BANDUNG #82: Jalan Bareng Cahyadi, Sopir Travel Bandung Jakarta

Tetap Bertahan dengan Harapan

Meski hidup semakin berat, Iman memilih untuk tetap bersyukur. Baginya, yang terpenting adalah bisa tetap bertahan hidup bersama keluarga. “Kalau mikirin kurang, engga ada ujungnya. Yang penting masih bisa makan, sudah cukup,” ujarnya dengan senyum tipis. 

Ia juga memiliki pesan sederhana bagi generasi muda yang ditemuinya. “Jangan mengandalkan warisan. Usahakan punya sendiri dari hasil keringat. Itu lebih bangga dan menyenangkan,” katanya. 

Ketika ditanya apakah ia memiliki rencana untuk kembali berjualan lontong kari atau pindah lokasi, Babeh mengaku sudah mencoba mencari tempat lain, namun belum menemukan yang sesuai. “Kalau ada tempat yang murah dan cocok, saya mau. Tapi sekarang sulit. Banyak tempat mahal, sedangkan penghasilan belum tentu sanggup menutupi,” jelasnya. 

Kisah Iman alias Babeh adalah gambaran nyata perjuangan pedagang kecil di tengah ketidakpastian ekonomi dan kebijakan. Dengan segala keterbatasan, ia terus bertahan, menjadikan hidup sederhana sebagai bentuk ketangguhan. Di setiap gelas kopi yang ia sajikan, tersimpan cerita tentang ketekunan dan harapan yang tidak pernah padam.

*Kawan-kawan yang baik bisa mengunjungi karya-karya lain dari Wildan Nurfatwaatau artikel-artikel lain tentang Cerita Orang Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//