CERITA ORANG BANDUNG #83: Yang Membekas dan Bertahan Bersama Buku
Para pedagang buku yang dahulu sempat mewarnai trotoar di Bandung, sekarang menyusut. Ade Rusmana, salah seorang pedagang buku, memilih untuk bertahan.
Penulis Bawana Helga Firmansyah5 November 2024
BandungBergerak.id - Siang hari yang terik di Jalan Kautamaan Istri Kota Bandung tak menyurutkan keramaian di sekitarnya. Anak-anak sekolah mulai berbondong-bondong pulang, orang-orang dan kendaraan tampak sibuk berlalu lalang beserta bising knalpot yang menyertainya. Di seberang jalan, tepat di depan SMPN 43 Kota Bandung, trotoar tampak lengang, beberapa pedagang hanya duduk bersantai tanpa ada aktivitas jual beli.
Pria yang mengenakan topi itu tampak melamun di kios kecilnya yang sesak oleh tumpukan buku. Beberapa masih tampak baru. Tetapi kebanyakan yang dijual di sini adalah sesuatu yang lama, selalu ada kejutan-kejutan kecil ketika saya membedah tumpukan itu. Mulai dari komik, majalah, hingga buku-buku berbahasa asing yang sudah rapuh dan menguning.
Tempat yang tak jauh dari Terminal Kebon Kelapa ini memang sudah dikenal akan perdagangan bukunya, terutama buku-buku bekas. Sebelum seperti sekarang, hamparan dan kios-kios kecil yang menjajakan beraneka ragam buku bisa ditemukan dari trotoar Jalan Dewi Sartika.
Ade Rusmana (70) menyapa dan bangkit dari kursinya, menawarkan kopi Hitam setelah mengeluh betapa panasnya cuaca Bandung. Ia mengaku belum sangat lama berdagang di sini, lapak kecilnya yang buka dari jam 8 pagi hingga 3 sore itu hanya meneruskan dagangan sang anak.
“Masih muda mah lain ya cita-cita besar. Kalau udah tua gini, yang penting bisa ngebul, ngopi,” gurau Ade sambil menyalakan rokok saat ditemui Bandung Bergerak.id di kios kecil dagangannya, Selasa, 29 Oktober 2024.
Segelas kopi perlahan ia minum, kepulan asap tampak menari di antara tumpukan buku. Seketika, tatapannya melihat ke langit, mengenang masa-masa di mana ia memulai berdagang buku sekitar tahun 80an. Ia mengaku mengikuti teman-temannya menjual buku-buku pelajaran yang ia dapat dari sisa-sisa penerbit. Waktu itu buku yang ia dapat tidak semua dalam kondisi mulus, ia harus memperbaikinya sendiri.
“Dulu sampai ngampar di Cicadas, jual buku pelajaran dari jam 8 sampai jam 1 - 2 udah bisa habis. Dari penerbit gitu dulu mah sisa banyak kan ya, nah saya yang ngambil, dipotong sendiri, disusun sendiri,” ujarnya.
Perantauan
Ade Rusmana lahir tahun 1955. Ia berasal dari Babakan Caringin, Garut. Di usia 10 tahun, sekitar tahun 1966, Ade bersama orang tuanya hijrah ke Bandung. Ia kemudian menghabiskan masa sekolah di daerah Ciateul hingga tingkat SGO (sekarang setara jenjang SMA). Di usianya yang masih muda, Ade sempat menjadi kenek bis Bandung, Jakarta, dan Pangalengan.
“Waktu masih kecil udah sering ngikut-ngikut ke mobil. Dulu masih lewat Cisokan - Padalarang sampai terminal Pasar Senen,” kenang Ade.
Ade akhirnya memutuskan untuk berhenti menjadi kenek bis, selain karena terlalu melelahkan, ia juga sudah menikah. Hidup berumah tangga membuatnya memiliki tanggung jawab lebih. Selain itu, penghasilannya selama berjualan di Cicadas tergolong cukup untuk menafkahi keluarganya.
“Pokoknya waktu udah punya istri. saya umur 18 tahun sudah nikah walaupun ngga punya pekerjaan” Ungkap Ade.
Kini, bapak dari 8 anak itu tinggal bersama istri dan anak terakhirnya yang masih duduk di bangku SMK. Karena anak-anaknya yang sudah berumah tangga juga mengingat di usianya yang tak lagi muda, Ade sudah tidak seproduktif dulu dalam hal mengelola buku.
“Anak-anak udah berumah tangga, ngga ada yang kuliah, paling SMA, SMP, sekarang mah ya yang penting dijalani. Ini cuma penerus anak saya yang udah ngga mau jual di sini,” tuturnya.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #80: Mbak Mar dan Kerasnya Mengadu Nasib di Kota Kembang
CERITA ORANG BANDUNG #81: Ujang Itok di Sepetak Sawah Terakhir Cigondewah
CERITA ORANG BANDUNG #82: Jalan Bareng Cahyadi, Sopir Travel Bandung Jakarta
Beradaptasi di Era Digital
Setelah bertahun-tahun menjalani hidup di pinggir jalan berjualan buku, ia menyaksikan lapak-lapak buku yang semakin berkurang. Ada yang sudah meninggal dan tak ada generasi lain yang meneruskan. Perubahan harga buku hingga minat dan cara membeli masyarakat yang sudah banyak berubah, tak luput ia rasakan.
“Sekarang kan udah online, minat buku cuma tertentu. Kayak buku pelajaran, dulu bisa dipakai sampai tingkat berikutnya. Sekarang kan udah ganti-ganti,” ujarnya.
Ade membandingkan harga buku dulu dan sekarang. Dulu dengan uang kecil masih bisa mendapatkan buku dengan jumlah lumayan. Harga pun berkisar 1.500 – 2.500 rupiah per bukua. “Sekarang 100.000 (rupiah) pake kresek aja ngga mau,” ujarnya.
Untuk mengikuti perkembangan zaman, anaknya lebih memilih berjualan buku secara online dari rumah. Lapak yang sudah didirikan dari tahun 2000an itu kini dipertahankan oleh Ade.
Ade setia dengan lapakannya demi sekadar bertahan untuk berjualan. Sambil menatap kios kecil dan tumpukan buku di sekelilingnya, ia sempat berpikir mengenai penerus dagangannya.
“Penerus buku ini paling yang berusaha anak saya nanti yang online, tapi dia kebanyakan jual buku-buku lama, kayak buku sejarah,” katanya.
Berbeda dengan kios yang ia jaga, ia mengaku buku-buku di sini sangat acak dan dipasok secara tak menentu. Jika tidak ada yang memasok, ia menjual buku seadanya.
“Yang penting mah buku-buku ini buat menghidupi sekarang. Yang penting bisa ngejual. Rajin nabung sekian, sisihkan sekian, buat jaga-jaga kesehatan,” jawab Ade sambil menghabiskan sisa kopinya.
Pasang Surut
Dalam catatan buku Pohon Buku di Bandung yang ditulis Deni Rachman, sejak zaman kolonial Hindia Belanda Bandung khususnya kawasan Braga sudah ditumbuhi toko-toko buku. Tradisi ini terus tumbuh sampai kemerdekaan sekarang. Selain buku-buku lapakan, sejarah perbukuan di Bandung juga diisi dengan lapakan-lapakan komunitas yang tumbuh tahun 2000 hingga 2010-an.
Tetapi sebagaimana pohon, ada masa tumbuh, dan ada masanya gugur. Era 2000-an teridentifikasi ada tiga ciri utama pohon buku di Bandung, yakni toko buku alternatif dan komunitas baca, perpustakaan, dan pelaku perbukuan (komunitas). Komunitas menjadi basis utama toko buku alternatif. Menurut hasil riset yang dilakukan Tobucil dan Commonroom, pada 2005 tercatat lebih dari 30 titik komunitas buku atau toko buku alternatif di Bandung.
Di tahun 2004, arsip di Pekan Buku Indonesia menyebut ada 70 toko buku di Bandung, tahun 2005 jumlahnya menurun menjadi 30 (toko buku). Di penghujung 2008, jumlah toko buku alternatif di Bandung semakin menyusut. Kendala mereka di antaranya tingginya harga sewa tempat dan persoalan manajemen internal.
*Kawan-kawan yang baik bisa mengunjungi karya-karya lain dari Bawana Helga Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang Cerita Orang Bandung