CERITA ORANG BANDUNG #82: Jalan Bareng Cahyadi, Sopir Travel Bandung Jakarta
Hampir sepanjang hidupnya Cahyadi bekerja di balik kemudi. Menikmati pekerjaannya sebagai sopir travel meski tak ada hari libur resmi.
Penulis Ivan Yeremia29 Oktober 2024
BandungBergerak.id - Siang hari Jalan Pasteur selalu ramai dan sesak. Jalan ini jadi tempat singgah bagi mereka yang ingin datang ke Bandung ataupun pergi dari Kota Kembang. Tak heran, di sepanjang jalan raya dengan nama resmi Dr Djundjunan ini banyak dijumpai shuttle-shuttle travel yang menjadi tempat menggantungkan hidup bagi para pengemudi.
Cahyadi, demikian pengemudi travel ini ingin disapa, adalah salah satu driver Bandung-Jakarta. Sudah sejak 2015 ia hidup di jalan demi menghidupi keluarganya di rumah.
Para sopir travel seperti Cahyadi tidak mengenal libur ‘resmi’ karena demikianlah aturan manajemen. Dalam satu hari ia melakukan 3 shift perjalanan. Jadwal tersebut sudah diatur oleh tim manajemen sehingga para driver hanya tinggal menjalankan mobil elfnya.
Jika butuh waktu luang, mereka punya aturan tak tertulis hasil kesepakatan bersama. Mereka akan saling bertukar shift jika salah satu driver memang ingin berlibur ataupun ada kegiatan mendadak lainnya.
“Liburnya gimana kita aja minta ke partner aja om. Saya minta dia ngisi sekarang, nah nanti jadwal dia gentian saya isi. Kalau ga gitu mah wah repot, om,” ucap Cahyadi, saat berbincang dengan BandungBergerak dalam perjalanan Bandung-Jakarta, 16 Oktober 2024.
Perbincangan ini berlangsung di saat mobil travel sedang melaju di atas aspal yang menghubungkan Bandung-Jakarta. Gaya Cahyadi menyetir cukup tenang, jauh dari ugal-ugalan. Buktinya, semua penumpang duduk nyaman sampai bisa tertidur pulas.
Belasan tahun hidup di jalanan menempa ketenangan itu. Ia sudah hafal setiap lekukan jalan yang setiap hari ia lalui. Ia paham betul dengan setiap titik dan waktu kemacetan rute Jakarta-Bandung.
Sepanjang perjalanan, ia biasa ditemani camilan untuk mengusir jenuh dan ngantuk. Segelas kopi hitam siap diminum di sisinya. “Ya makanya saya bawa ini om, biar ngunyah terus. Kalau udah ngantuk parah mah saya biasanya minggir,” ujar Cahyadi, sambil menyeruput kopi.
Dengan cara menyetir santai, alhamdulillah Cahyadi tidak pernah sekalipun mengalami kecelakaan. Ia selalu berkendara dengan hati-hati dan konsentrasi penuh. Namun jika ia diserang kantuk berat, Cahyadi akan memilih minggir ke rest area untuk tidur beberapa saat. Setelah membuang kantung ia baru berani jalan kembali.
“Penumpang mah mau ga mau ikut saya kan om. Kalau saya masuk (rest area) ya harus ngikut daripada kecelakaan kan, om. Mending terlambat satu atau dua jam tapi selamat,” terangnya
Tak terasa, sudah 9 tahun ia menjadi driver travel Bandung-Jakarta atau sebaliknya. Bisa saja ia pindah trayek jika mau. “Saya kalau di sini (trayek Jakarta Bandung) ya terus di sini, ga mungkin berubah kecuali saya yang minta. Jadi dari dulu mah saya emang udah trayek Jakarta atau Jabodetabeklah, om,” ungkapnya.
Kenyamanan Bekerja
Sebelum menjadi driver travel, Cahyadi adalah seorang kurir di sebuah perusahaan teknologi. Tugasnya mengantarkan komponen-komponen laptop dari pabrik ke toko-toko. Ia berhenti menjadi kurir di perusahaan tersebut karena merasa tidak nyaman dengan lingkungan kerjanya.
“Tempat kerja kalau ga nyaman juga ngapain, om. Mau gaji gede juga percuma kalau lingkungannya ga buat nyaman,” ujarnya.
Meskipun di tempat yang sekarang gajinya tak sebesar gaji di perusahaan dulu, tapi ia merasa jauh lebih nyaman dalam bekerja. Rekan-rekan kerjanya saling mendukung satu sama lain. Driver lain siap saling bantu jika ada kawannya yang tidak bisa bekerja di hari tertentu. Selain itu, aturan perusahaan ia anggap tidak terlalu mengekang untuk para driver.
Pengemudi travel digaji sesuai dengan berapa banyak tarikan yang diambil pada satu bulan. Jadi sistem pengupahannya bukan dipatok bulanan. Juga tidak ada bonus.
“Gajinya ya sesuai berapa shift aja om. Pokoknya segitu aja ga ada yang lainnya. Kalau mau makan kopi atau apa mah pakai sendiri, om,” terang Cahyadi.
Kerja di jalan membuat Cahyadi sering kali tinggal jauh dari keluarga. Satu hari ia bermalam di Jakarta dan hari lain pulang ke rumahnya di daerah dekat Baltos.
Saat bermalam di Jakarta, Cahyadi lebih memilih tinggal di shuttle travel daripada di kontrakan atau kos-kosan. Padahal pihak travel bersedia membayarkan uang sewa apabila Cahyadi ingin menyewa tempat untuknya istirahat. Namun tinggal di kontrakan cukup berisiko, misalnya bangun terlambat.
“Kalau saya tidur di shuttle kan jam berapa juga bisa langsung jalan. 5 menit sebelum keberangkatan baru dibangunin juga bisa langsung jalan. Tinggal ke air aja sebentar dan ga takut terlambat atau malah ribet buru-buru,” kata Cahyadi, tetap fokus mengendarai mobilnya.
Di shuttle Cahyadi biasa tidur di sofa ruang tunggu dengan satu bantal. Fasilitas ini baginya sudah sangat nyaman untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Sama seperti sopir lainnya, kemacetan berjam-jam adalah hal yang paling tidak disukai oleh Cahyadi. Macet paling parah adalah ketika libur panjang dan banyak wisatawan yang pergi bertamasya ke Bandung. Waktu perjalanan yang biasanya dihabiskan dalam 3 jam bisa bisa molor sampai 6-8 jam.
“Asal jangan ada tanggal merah aja om. Kalau ada tanggal merah mah udah om, ngeri. Lebih ngeri tuh kalau tanggal merahnya Jumat, Sabtu, Minggu, wah udah itu mah om. Saya pernah berangkat dari Bandung jam 7 malam, nyampai Jakarta jam 1 subuh,” ceritanya.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #79: Pasang Surut Usaha Kosan Asep di Ciumbuleuit
CERITA ORANG BANDUNG #80: Mbak Mar dan Kerasnya Mengadu Nasib di Kota Kembang
CERITA ORANG BANDUNG #81: Ujang Itok di Sepetak Sawah Terakhir Cigondewah
Kemudi Keluarga
Dengan profesinya sebagai driver travel Cahyadi mampu menghidupi keluarganya. Ia memiliki seorang istri dan dua orang anak perempuan. Putri pertamanya saat ini sedang menempuh pendidikan di SMK dan yang satu lagi masih berusia 2 tahun.
Perbedaan usia yang jauh dari anaknya memang sudah direncanakan. Cahyadi dan istrinya sepakat melakukan hal tersebut karena ia tahu keadaan ekonominya sendiri.
“Saya lihat situasi ekonomi sekarang mah sulit om. Kalau dekat-dekat gitu mah biayanya om. Biaya sekolah dan lain-lain gitu. Jadi saya mah rencana supaya nyekolahin satu, nanti kalau satu udah selesai baru mulai satu lagi,” ungkap Cahyadi, penuh perhitungan.
Saat ini Cahyadi sedang berusaha mengumpulkan dana lebih agar putrinya bisa kuliah. Putrinya sedang menekuni dunia seni dan berharap bisa kuliah.
Putrinya ingin mengikuti jejak ibunya yang penari. Keluarga istri Cahyadi memiliki kemampuan seni yang kuat. Mertua Cahyadi bahkan sempat memiliki sanggar tari.
Istri Cahyadi sering menari dari panggung ke panggung. Sang istri berhenti menari ketika menikah dengan Cahyadi. Kini kemampuan menari tersebut diteruskan oleh putrinya itu. Cahyadi dan istrinya menyekolahkan anaknya di jurusan seni (karawitan). Bahkan kini anak mereka juga ikut les tari yang membuat kemampuan menarinya semakin lebih baik.
Rasa cinta dan kasih sayang Cahyadi kepada anaknya sangat besar. Salah satu buktinya dapat dilihat dari sikap Cahyadi yang melarang anaknya menggunakan motor ke sekolah. Cahyadi bukan tidak mampu membelikan anaknya motor, ia hanya tidak ingin anaknya kecelakaan atau terbawa arus pertemanan yang tidak sehat. Apalagi di Bandung banyak geng motor.
Cahyadi bahkan memiliki aturan untuk buah hatinya. Ia melarang anaknya untuk keluar lebih dari jam 7 malam. Cahyadi banyak tahu tentang geng motor karena ia memiliki banyak teman yang terbawa arus negatif pergaulan.
Cahyadi rela melakukan apa saja untuk membawa keluarganya lebih aman dan lebih nyaman. Ia berusaha menyetir dan mengarahkan keluarganya menuju kehidupan yang lebih baik.
*Kawan-kawan yang baik bisa mengunjungi karya-karya lain dari Ivan Yeremia, atau artikel-artikel lain tentang Cerita Orang Bandung