• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG #80: Mbak Mar dan Kerasnya Mengadu Nasib di Kota Kembang

CERITA ORANG BANDUNG #80: Mbak Mar dan Kerasnya Mengadu Nasib di Kota Kembang

Untuk bertahan hidup, Mbak Mar pindah dari satu usaha ke usaha lain, dari satu kontarakan ke kontrakan lain. Rumah mertuanya pernah digusur.

Maripah (56 tahun) atau Mbak Mar, pedagang buah di Pasar Sauran, Bandung, Senin, 9 September 2024. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak)

Penulis Emi La Palau16 Oktober 2024


BandungBergerak.idHari baru setengah berjalan, matahari samar-samar di atas kepala, Maripah (56 tahun) duduk setia menunggu pelanggan. Sejak pagi berjualan, Maripah baru mengantongi 200 ribu rupiah dari hasil jualan buah-buahan.

Mba Mar, begitu ia akrab disapa, sudah lebih 25 tahun berjuang bertahan hidup di Kota Kembang. Perempuan asal Cirebon ini tumbuh dan besar dari keluarga tak berada. Ia putus sekolah pada usia sekolah dasar, kemudian bekerja ke Jakarta. Di bekas Ibu Kota Negara itu ia mengikuti keluarganya menjadi pekerja rumah tangga.

Tak lama, di usia yang masih sangat muda Mbak Mar bertemu dengan lelaki yang akhirnya menikahinya. Sayang pernikahan pertama ini tak berjalan baik. Sang suami menceraikannya ketika ia sedang mengandung anak kedua. Usia kandungannya waktu itu sudah menginjak 7 bulan. Usai melahirkan, anak yang masih berusia 10 bulan ia titipkan kepada sang ibu di kampung halamannya di Cirebon untuk mengadu nasib di Bandung.

Sekitar tahun 1998 ia hijrah untuk mengais rezeki di Bandung dan demi masa depan buah hati. Samar-samar dalam ingatannya, ia pernah melakukan berbagai usaha di Ibu Kota Jawa Barat ini. Mbak Mar pernah bekerja selama tiga tahun menjadi pekerja rumah tangga. Setelah mengumpulkan modal, ia memilih membuka usaha sendiri dengan berdagang kecil-kecilan. Berbagai jenis barang pernah ia jual, mulai dari sayuran, baju anak-anak, kelontongan plastik, sandal, dan lain-lain.

Ia pernah berjualan di kawasan Gasibu, Kiaracondong, Gedebage, Samsat Sukarno Hatta, dan berbagai tempat lainnya. Ketika berjualan di sekitar trotoar Pasar Sauran, Binong barang dagangannya pernah diobrak-abrik oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

“Saya pernah waktu hamil marah-marah, lawan Satpol PP, karena barang-barang dibawa sama mereka. Dibilang ga boleh jualan. Alasannya kotor gak boleh jualan di trotoar,” cerita Mbak Mar, kepada BandungBergerak di lapak buahnya di Pasar Sauran, Senin, 9 September 2024.

Di Pasar Sauran ia menyewa lapak selebar 1,5 meter dengan panjang 3 meteran. Harga setahun sewa lapak sebesar 8 juta rupiah. Ia membayar harga sewa dengan cara mencicil. Kadang ia terpaksa memakai modal usahanya untuk membayar ongkos sewa lapak. Bahkan ia sampai harus meminjam ke bank emok.

Di pasar Sauran, ia berjualan dengan suami, Dadan Kusnadi (58 tahun) yang berjualan ikan tongkol potong. Dadan adalah suami ketiga. Sebelumnya, pernikahan kedua Mbak Mar juga kandas.

Kerap kali hasil penjualan buah tak berjalan dengan baik. Penghasilannya sering habis dengan biaya sewa lapak dan kebutuhan sehari-hari.

Ketika sedang berbincang dengan BandungBergerak.id, datang penagih sewa kios. Uang hasil penjualan pagi itu yang sebesar 200 ribu rupah, harus dipotong 130 ribu rupiah untuk ongkos sewa. Uangnya kini tersisa 70 ribu rupiah. Mba Mar berharap siang hingga sore itu ada pelanggan yang datang sehingga modalnya bisa kembali bertambah untuk belanja buah esok harinya.

“Dulu pengeluaran 7 juta (rupiah) bisa, sekarang mah susah cari uang. Pinjam ke sana ke sini,” keluhnya, pelan.

Maripah (56 tahun) atau Mbak Mar, pedagang buah di Pasar Sauran, Bandung, Senin, 9 September 2024. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak)
Maripah (56 tahun) atau Mbak Mar, pedagang buah di Pasar Sauran, Bandung, Senin, 9 September 2024. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak)

Tetap Bersedekah Meski Tak Banyak Untung

Tiap harinya, pagi-pagi sekali sekitar pukul 4 subuh, Mbak Mar sudah naik angkutan kota (angkot) menuju Pasar Induk Gedebage. Ia biasa membeli buah-buahan di Pasar Gedebage atau Pasar Caringin.

Karena modalnya tak seberapa, ia hanya bisa membeli mangga, nanas, jeruk, pisang, semangka, pepaya, dan melon. Banyak buah-buahan yang tidak bisa ia beli, seperti apel, anggur, pir, aneka jenis pisang.

“Karena gak cukup modal. Pepaya juga gak kebeli,” ujarnya.

Anaknya yang menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Singapura memang suka mengirim uang untuk tambahan modal. Tapi Mbak Mar tak pernah meminta banyak. Mendapat kiriman 600 ribu rupiah pun sudah sangat membantu.

Ia juga mendapatkan tambahan modal dari hasil menjual kalung emas yang dia miliki di sebuah toko daerah Kiaracondong. Dari hasil penjualan perhiasan 3 gram itu ia mendapat 1,5 juta.

Di tengah keterbatasan modal, Mbak Mar tak sungkan menurunkan harga sesuai permintaan pembeli. Bahkan ia masih memberi buah jeruk atau pisang sebagai tambahan.

Keuntungan dari penjualan buah amat tipis. Kerap kali ia tak mengambil untung. Bagi Mba Mar bisa menjual modal dasar saja sudah cukup sehingga buah hasil belanja tidak busuk atau terbuang. Meskipun di tengah kesulitannya berjualan, ia selalu tahu cara bersedekah, dengan caranya sendiri.

“Waktu bulan kemarin dikasih sama anak beli apel beli pir, jualannya abis uangnya gak ada,” ucapnya.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #79: Pasang Surut Usaha Kosan Asep di Ciumbuleuit
CERITA ORANG BANDUNG #78: Pengalaman Budi Kecil di Jalan, Membangun Rumah Singgah di Usia Dewasa

Rumah Digusur, Tinggal di Petak Kecil

Mbak Mar memiliki 3 orang anak dari pernikahan dengan suami sebelumnya, sementara suami yang sekarang memiliki dua anak. Total ia memiliki 5 orang anak. Satu anak bekerja sebagai TKI di Singapura. Sementara anak lainnya belum memiliki pekerjaan tetap. Mereka masih bergantung pada Mbak Mar dan suami. Satu orang anak sudah menikah, namun sesekali masih meminta bantuan keuangan kepadanya.

Saat ini, Mbak Mar tinggal di rumah petak kontrakan dengan ukuran satu tumbak, tidak memiliki kamar, hanya ada ruangan dan dapur. Ongkos sewanya 700 ribu rupiah per bulan. Di rumah petak itu pula, ia tinggal berempat bersama suami dan dua anaknya. Kondisi rumah kecil ini tentu tidak ideal bagi keluarga Mbak Mar.

Bangunan rumahnya sudah tua, jika hujan kerap kali airnya rembes. Ia dan suami, juga anak tidur di ruangan yang sama. Benar-benar tak ada kamar. Ia harus berbagi ruang dengan perabot lainnya, lemari, kulkas cicilan.

“Balik sini ada suami, ke sini ada anak, tidur rame-rame. Saya sama suami, anak saya, anak lainnya di dapur,” ungkapnya. “Gak ada kamar sama sekali. Ibu pengin, sok salat malam tempatnya gak ada. Untuk salat juga susah.”

Pada 2022 lalu, Mbak Mar dan keluarga harus kehilangan rumah peninggalan dari mertua karena digusur. Dulunya ia tinggal di kawasan Maleer. Ketika itu kondisi sedang pandemi Covid-19. Ia tak mengetahui betul alasan rumahnya digusur. Memang rumah tersebut tak memiliki surat-surat resmi. Namun, itu adalah rumah peninggalan mertua, suaminya tumbuh dan besar di sana. Artinya sudah puluhan tahun tempat itu ditinggali.

Mbak Mar ingat betul ketika rumah itu dibongkar ia baru saja memasang listrik. Ia tak paham betul untuk apa lokasi bekas gusuran tersebut. Sepeninggalnya, kawasan bekas rumahnya hanya menjadi lahan kosong atau lapangan tak terpakai.

“Alasannya gak ada surat-surat, Pemda (katanya),” kata Mbak Mar, menyebut alasan penggusuran rumahnya.

Setelah rumahnya dibongkar, Mbak Mar dan keluarga berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Awalnya ia mengontrak rumah dengan harga 12 juta rupiah per tahun, namun kemudian tak terbayar. Lalu kini ia mengontrak di rumah sangat sederhana itu dengan biaya kontrak bulanan.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Emi La Palau atau artikel-artikel lain tentang Cerita Orang Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//