• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG #79: Pasang Surut Usaha Kosan Asep di Ciumbuleuit

CERITA ORANG BANDUNG #79: Pasang Surut Usaha Kosan Asep di Ciumbuleuit

Asep, pemilik kosan di kawasan kampus Ciumbuleuit. Usahanya terdesak kos-kosan modern dan apartemen. Masih terus bertahan.

Asep(58 tahun), pemilik kos-kosan di Ciumbuleuit, Kota Bandung, 23 Agustus 2024. (Foto: Reyner Thaddeus Purwanto/BandungBergerak)

Penulis Reyner Thaddeus Purwanto. 28 September 2024


BandungBergerak.idSepintas usaha kos-kosan terlihat sangat menjanjikan. Si empunya kosan tinggal menunggu pembayaran uang kosan bulanan maupun tahunan. Namun, usaha kos-kosan bukannya tidak ada pesaing atau tantangan, seperti yang dialami Asep yang memiliki kos-kosan di gang sempit Bukit Sastra, Ciumbuleuit, Bandung.

Persaingan kos-kosan di daerah kampus yang semakin lama semakin berada di luar kemampuan maupun modal yang dimiliki Asep. “Kosan saya dulu itu rame, belum ada yang namanya Mamikos, atau apa,” kata Asep, di kosannya kepada BandungBergerak, 23 Agustus 2024.

Rumah kos milik Asep tidak besar, cukup menampung sekitar 5-6 penghuni. Dulu, bahkan jauh sebelum masa pandemi, Asep menceritakan bahwa daya jual dari kosnya adalah penyebaran informasi melalui mulut ke mulut dan penjagaan relasi dengan calo-calo yang mengantarkan calon penghuni ke kosan. Harga yang relatif murah daripada saingan juga menjadi daya tarik tersendiri.

“Sekarang ini sungguh pada sepi, karena orang nggak mau cari ribet” sambung pria 58 tahun yang sebagian besar rambutnya sudah berwarna putih.

Kehadiran fitur pihak ketiga penyewaan kos online seperti Mamikos dan pembangunan gedung-gedung apartemen serta menjamurnya kosan di sekitar Ciumbuleuit sangat menggerus daya saingnya.

Listing atau pendaftaran kos di pihak ketiga penyewaan biasanya memerlukan pemenuhan standar minimal dan kerelaan peningkatan harga sewa akibat pengambilan komisi. Sedangkan kosan seperti milik Asep pada dasarnya adalah house sharing dengan konsep rumah zaman dulu, sehingga tidak bisa didaftarkan. Belum lagi faktor komisi yang menghilangkan sisi kemurahan harga dari daya jual kosan.

Selain itu, pembangunan gedung dan perumahan semakin menggencet rumah-rumah lama seperti kosan Asep, tertutup dari pandangan calon-calon penghuni yang mencari kos. Tidak jarang Asep baru bisa menemukan penghuni baru ketika ada penghuni lama yang memberikan rekomendasi langsung ke lingkaran sosialnya.

Selain membuka kosan, Asep juga menjalankan bisnis katering. Usaha di bidang makanan ini pun tidak luput dari tantangan. Asep menceritakan bahwa ketidakjelasan harga pangan membuatnya harus pintar-pintar dalam meracik resep makanan atau mengubah-ubah harga agar tidak rugi.

“Biasanya tomat itu yang murah 6.000-8.000 (rupiah) per kilo. Tapi kalau melambung lagi mahal itu bisa sampai 30.000-40.000 (rupiah) bahkan,” ucapnya.

Apabila harga pangan seperti tomat masih bisa diatasi melalui perubahan resep, maka menjadi lebih sulit ketika yang terdampak adalah pangan mendasar seperti telur. Menu nasi goreng yang biasanya populer dan menggunakan bahan dasar telur terpaksa harus mengikuti perubahan harga. Berapapun kenaikan harga telur di pasar, maka harga menu makanan akan turut meningkat. Tantangan sejenis ini semakin sering ditemui dalam beberapa waktu belakangan.

Asep bukanlah sendiri dalam menghadapi tantangan-tantangan usaha yang sempat ia jelaskan. Dalam pernyataan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, gangguan cuaca dan ketidaksiapan kebijakan pemerintah membuat sektor pangan terutama komoditas beras dan cabai menjadi penyumbang inflasi Indonesia terbesar di tahun 2023.

Di sisi yang lain, pekerja informal di Indonesia terus mengalami pelebaran selama lima tahun terakhir, berkisar sekitar 60 persen dari rekap Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2023. Asep termasuk salah satunya dengan usaha penyewaan kos dan katering.

Faktor-faktor ini membangun pola penurunan daya beli masyarakat dan menipisnya kelas menengah Indonesia yang kembali diambil dari BPS pada Agustus 2024, dengan jumlah pemelorotan sekitar sepuluh juta jiwa menuju kelas menengah rentan, jika dibandingkan tahun 2019.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #76: Rachmen Meramu Asa Masa Depan Melalui Kuliner Kulit Ayam
CERITA ORANG BANDUNG #77: Megawati Claudia, dari Panggung Dangdut ke Lahan Parkir
CERITA ORANG BANDUNG #78: Pengalaman Budi Kecil di Jalan, Membangun Rumah Singgah di Usia Dewasa 

Bertahan di Tengah Guncangan

Selama berbincang dengan bandungbergerak, Asep tidak menunjukkan muka sedih atau putus asa yang secara normatif terefleksikan dalam data-data yang disebutkan sebelumnya. Ia malah dengan semangat menjelaskan bagaimana dirinya menyikapi tantangan-tantangan.

Pada persoalan harga pangan, Asep menggunakan dua alternatif utama yaitu merubah resep sesuai kebutuhan dan menghilangkan biaya-biaya tambahan yang tidak diperlukan.

Kembali mengenai harga tomat misalnya. Asep akan menukar komposisi antara tomat dan cabai atau dengan komoditas pangan lainnya agar modal penjualan tetap sama. Dia memberi contoh, “kalau tomat lagi mahal, dibanyakin cabainya, dan sebaliknya juga begitu, karena biasanya enggak mungkin dua-duanya sekaligus mahal”.

Pengalamannya di pasar dan usaha katering yang sudah empat tahunan menjadi modal adapatasi. Asep juga biasanya mengantar sendiri pesanan katering, berfokus pada kawasan di sekitar rumahnya agar dapat menjalin hubungan lebih dekat dengan pelanggan.

Di bisnis kosannya pun, Asep juga berusaha menambahkan nilai lebih yang tidak serta-merta dapat diuangkan. Ia sering mengajak diskusi penghuni kos di ruang tengah yang terkadang bisa berlanjut sampai larut malam. Mengingat pangsa penghuni yang mayoritas mahasiswa, Asep sering bergabung dalam pembahasan politik atau akademik yang menarik perhatian penghuninya.

Tetapi, tidak dengan demikian ia kebal terhadap tren ekonomi yang sedang berlangsung. Asep mengakui bahwa pendapatan dari penyewaan kos dan katering sudah berkurang jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Ia bahkan membuka lagi usaha laundry untuk membantu menambal lubang pendapatan. 

Tujuannya adalah satu, agar tidak kembali pada masa-masa sebelum memiliki pemasukan yang stabil. “Dulu waktu anak masih kecil-kecil itu ih, serem (kesejahteraan ekonomi)” sambung Asep.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Reyner Thaddeus Purwanto atau artikel-artikel lain tentang  Cerita Orang Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//