• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG #77: Megawati Claudia, dari Panggung Dangdut ke Lahan Parkir

CERITA ORANG BANDUNG #77: Megawati Claudia, dari Panggung Dangdut ke Lahan Parkir

Pandemi Covid-19 membuat Megawati Claudia kehilangan pendapatan dari panggung dangdut. Di lahan parkir, dia menemukan ketenangan.

Megawati Claudia, 48 tahun, seorang perempuan juru parkir di kawasan Gegerkalong, Bandung, Jumat, 6 September 2024. (Foto: Reihan Adilfhi Tafta Aunillah/BandungBergerak)

Penulis Reihan Adilfhi Tafta Aunillah 9 September 2024


BandungBergerak – Di balik deretan kendaraan di dekat masjid Daarut Tauhiid, Gegerkalong, Kota Bandung, Megawati Claudia, 48 tahun, berdiri tenang di bawah sinar terik matahari. Suara kendaraan saling bersahutan, tak memberi ruang pada kesunyian di kawasan padat tak jauh dari kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tersebut. Siang yang ingar dengan udara yang pengap.

“Awalnya, saya penyanyi dangdut. Dulu sering nyanyi di acara nikahan orang. Pernah juga tampil di TV. Tapi pas pandemi (Covid-19) itu gak ada panggilan manggung, gak ada penghasilan,” kenang perempuan itu sembari menyeka keringat di dahinya, Jumat, 6 September 2024.

Ketika pintu-pintu untuk mencari penghasilan seolah tertutup, tawaran pekerjaan datang dari warga lokal Gegerkalong untuk menjadi juru parkir. Dari panggung dangdut dengan suaranya yang merdu, Megawati berpindah ke lahan parkir dengan lengkingan peluitnya.

Tentu saja, menjadi juru parkir bukanlah impian yang dibayangkan Megawati saat muda. Namun dia tak ingin mengeluh. Baginya, pekerjaan ini memberi keberkahan yang mungkin tak dia temui di tempat lain.

“Yang penting kerjanya berkah, tidak memaksa orang. Motornya ada, gak hilang, selalu saya jaga,” katanya penuh keyakinan.

Bagi Megawati, tanggung jawab menjaga kendaraan para pelanggan lebih dari sekadar tugas. Itu adalah bentuk dedikasinya dalam menjaga amanah. Setiap hari, dia berdiri di bawah terik matahari atau bertahan di tengah guyuran hujan demi menata kendaraan yang datang dan pergi tanpa henti. Pekerjaan sebagai juru parkir, meski tampak monoton, memberinya rasa tenang yang sebelumnya tak pernah dia rasakan.

Markir lebih rileks. Mau hari libur atau nggak, tetep ada buat makan sehari-hari,” ungkapnya.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #76: Rachmen Meramu Asa Masa Depan Melalui Kuliner Kulit Ayam
CERITA ORANG BANDUNG #75: Dede Mahmud Setia dengan Mesin Tik
CERITA ORANG BANDUNG #74: Hidayat Menyulam Warisan Desa Melalui Kedai Kopi Mekarwangi

Perempuan di Dunia Laki-laki

Kerja sebagai juru parkir, yang akrab dengan paparan sinar matahari dan guyuran hujan, sangat lekat dengan dunia laki-laki. Megawati Claudia menyadari betul itu. Dia hanya perlu menjadi dirinya sendiri yang tenang dan penuh perhatian di lingkungan parkiran sehingga banyak orang merasa lebih nyaman.

“Orang-orang lebih menghormati saya karena saya perempuan. Mungkin juga karena mereka merasa saya sudah menjaga motornya dengan baik,” ujarnya.

Namun, bukan berarti tak ada tantangan dalam pekerjaan ini. Bagaimanapun, dunia perparkiran bukanlah dunia yang lembek. Di Gegerkalong, kawasan parkir tempat Megawati bekerja, kemacetan sudah menjadi hal lumrah. Apalagi pada jam-jam sore ketika orang-orang pulang dari kantor dan kampus mereka. Banyak pengendara terburu-buru sehingga tak jarang terjadi ketegangan di jalan.

“Kadang ada yang susah diatur, apalagi di sini sering macet. Jadi orang-orang kadang suka buru-buru dan rusuh,” ujarnya.

Tantangan lain adalah sikap para pengendara pengguna layanan parkir. Tidak sedikit dari mereka segera memasang ekspresi cemberut saat melihat Megawati.

Megawati tahu, tidak semua orang bisa menghargai pekerjaan juru parkir. Ada yang menganggapnya sebagai beban, ada juga yang tidak peduli sama sekali. Namun perempuan juru parkir itu memilih untuk tetap menjalani tugasnya dengan penuh kesabaran dan ketulusan.

“Saya gak pernah maksa kalo markir,” tutur Megawati. “Peraturannya di sini jelas: orang harus ngasih (uang) duluan, jangan kita (juru parkir) yang nagih.”

Kehidupan di Balik Parkiran

Megawati Claudia mempunyai satu anak yang sudah menikah dan tinggal bersama istrinya. Tinggal seorang diri, sang perempuan juru parkir itu tak jarang merasa kesepian. Meski keluarga besarnya mendukung pekerjaannya, ada kalanya mereka tidak sepenuhnya memahami kesulitan yang dia hadapi setiap hari.

“Di rumah gak ada kerjaan, gak ada teman. Kadang mereka (keluarganya) gak tahu saya sudah makan atau belum,” ujarnya sembari tertawa dengan nada getir.

Sudah menjalani hidup dari panggung hiburan hingga parkir jalanan, Megawati belajar bahwa setiap pekerjaan memiliki nilainya tersendiri. Baginya, apapun pekerjaan seseorang, jika dijalankan dengan amanah akan memberikan ketenangan dan kepuasan tersendiri.

Di lahan parkir, ada saja hal-hal kecil yang membuat Megawati merasa dihargai. Selalu muncul alasan baginya untuk selalu bersyukur sehingga membuat pekerjaan terasa ringan. Beberapa pelanggan, terutama mahasiswa, misalnya, tak jarang memberinya uang lebih.

“Ada yang sering ngasih lebih,” ucapnya sembari tersenyum lebar. “Katanya buat beli kerudung.”

 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Reihan Adilfhi Tafta Aunillah atau artikel-artikel lain tentang Perempuan

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//