CERITA ORANG BANDUNG #88: Oom Komariah Menolak Penggusuran di Tenjolaya
Suasana sepi dan terik panas matahari menjadi perpaduan yang sempurna menggambarkan kerasnya perjuangan warga Tenjolaya dalam mempertahan tanah dari penggusuran.
Penulis Ryan D.Afriliyana 9 Juni 2025
BandungBergerak.id – Kampung halaman Oom Komariah, Kampung Simpen, Desa Tenjolaya, Cicalengka, Kabupaten Bandung penuh dengan tulisan terkait keresahan warga soal penggusuran, Sabtu, 31 Mei 2025. Mereka ‘menghiasi’ kampung dengan berbagai poster dan spanduk protes terhadap berbagai upaya perebutan tanah.
Warga duduk sama rata dan berdiri sama tinggi di depan gang. Deru debu di antara roda-roda kendaraan yang berlalu lalang di jalanan sempit terancam hilang karena penggusuran. Oom sudah menempati kampung halamannya selama 40 tahun.
Ketika ia masih muda, di Tenjolaya hanya terdapat dua rumah yang berdiri kokoh, salah satunya rumah Oom. Pohon-pohon bambu, tanah merah, dan rumput-rumput liar yang tinggi mengelilingi rumah Oom kala itu.
“Dulu mah di sini tuh ya, masih hutan gitu lah hutan masih keneh asri, leuweung keneh itu teh masih bambu-bambu. Baru dua belum ada ini. Semuanya belum. Cuman ada rumah ibu,” ujar perempuan 61 tahun, kepada BandungBergerak.id.
Namun, waktu ke waktu Oom bergotong-royong bersama warga lainnya untuk meratakan tanah merah dan membenahi rumput-rumput liar untuk membuka jalan guna memudahkan aktivitas sehari-hari.
“Ini teh kalau jalan teh dari sini pakai plastik karena tanah merah anu ledok teh geuningan. Kalau mau ke jalan teh pakai keresek aja,” tutur Oom saat menceritakan kondisi Tenjolaya waktu dulu.
Mengenakan kerudung berwarna krem dan daster bercorak bunga, Oom Komariah bercerita tanah tersebut bukan sekadar tempat tinggal, melainkan segalanya. Oom menggantungkan kisah hidup dan masa depan keluarganya dari tanah yang kini terancam dieksekusi.
Dari waktu ke waktu, penduduk semakin bertambah memadati Desa Tenjolaya bagian Rukun Warga (RW) 5. Menjamurnya penduduk dan aktivitasnya mendorong pemekaran wilayah Rukun Tetangga (RT) 1 yang melahirkan RT baru yakni, RT 5.
Melihat kejadian seperti itu, Apud Kurdi selaku pemilik tanah di Kampung Simpen memberikan ruang bagi para penduduk yang ingin tinggal dan hidup di sana. “Di sini teh soalna yang punya ini tanah teh bijaksana gitu. Bijaksana baik. Jadi ada uang berapa pun diterima apa adanya gitu,” tutu Oom, membicarakan kebijaksanaan Apud Kurdi.
Namun, selepas Apud Kurdi berpulang, tetiba ada orang bernama Oce bin Mansur mengklaim atas hak tanah Apud Kurdi. Peristiwa ini menjadi obrolan warga umumnya di Tenjolaya, termasuk Oom yang sudah bertahun-tahun menggantungkan kehidupan di Kampung Simpen.
Di Bawah Ancaman Penggusuran
Oom mempunyai suami yang berprofesi sebagai supir angkot. Sang suami telah berpulang lebih dulu, meninggalkan Oom bersama kedua anaknya yang kini ikut menua. Dengan segala keterbatasan di usia senja, ia tetap berupaya menghidupi hidupnya.
Semangat Oom tidak pernah hilang. Ia terus memperjuangkan setiap sejarah yang diciptakan bersama suami dan keluarga kecilnya. Bersama warga Kampung Simpen lainnya, Oom berdiri tegak menghadang siapa pun yang hendak mengambil alih ruang hidup mereka.
Di balik itu, Oom merasa sedih dan gelisah akan masa depan keluarganya jika nanti penggusuran itu benar-benar terjadi. Perjuangannya selama bertahun-tahun dalam merawat dan menjaga tanah dengan sepenuh hati akhirnya dikhianati.
“Ibu tuh pikiran sedih ya memang sedih gitu nya. Saya belum pernah lihat ada penggusuran gitu,” ungkap Oom. “Ngerasa dikhianati gitu,” lanjutnya.
Sementara itu, selama Oom tinggal di Kampung Simpen, belum pernah mendapatkan bantuan berupa apa pun dari pemerintah. Ia tidak merasakan peran pemerintah yang bekepihakan kepada warga.
“Alhamdulillah, enggak. Enggak ada. Pemerintah tuh enggak memperhatikan. Makanya semua masyarakat pada kaget. Kok tiba-tiba langsung mau dieksekusi gitu,” tutur Oom.
Sikap pemerintah yang tidak memberikan penjelasan soal latar belakang sengketa tanah membuat kegelisahan Oom semakin dalam. Ia, bersama warga lain, merasa tidak bisa lagi mempercayai pemerintah. Kini, kegelisahan itu selalu menyertai Oom dalam kesehariannya sebagai ibu rumah tangga di tengah keluarga kecilnya.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #84: Iman, Pedagang Kopi Keliling yang Bertahan di Tengah Ketidakpastian
CERITA ORANG BANDUNG #87: Bertani Cita-cita Cepi Sejak Kecil
Harapan Kecil Dilangitkan
Di balik semua kegelisahan dan kesedihan Oom, terselip harapan kecil yang dilangitkan. Ia ingin kembali merasakan suasana layaknya dulu. Suasana yang nyaman, tenteram, dan tidak ada pegugatan-pegugatan apa pun.
“Enggak ada pegugatan enggak ada yang pendatang-pendatang yang tahu-tahu gugat tahu apa-apa eksekusi. Maunya ya mau kayak dulu aja gitu jangan kayak sekarang,” ucap Oom.
Oom berpegang teguh pada takdir Tuhan. Ia meyakini bahwa Tuhan Maha Tahu. Oom bersama ibu-ibu pengajian Kampung Simpen memanjatkan harapan yang sama, melangitkan doa-doa untuk meminta perlindungan dari Maha Kuasa.
Sengketa tanah di Desa Tenjolaya, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung bermula pada 2009, ketika pihak yang mengaku sebagai ahli waris dari Nyonya Oce bin Mansur menggugat ahli waris Apud Kurdi atas kepemilikan lahan. Mereka mengklaim bahwa tanah yang dikuasai Apud merupakan milik keluarga Oce.
Gugatan pertama pada 2009 (perkara nomor 159/PDT.G/2009/PN.BB) ditolak pengadilan. Namun, pada 2011 Oce kembali menggugat, kali ini juga melibatkan Yayasan Sosial dan Pendidikan Bina Muda selaku pengelola SDIT Bina Muda (perkara nomor 39/Pdt.G/2011/PN.BB). Proses hukum berlangsung lebih dari satu dekade, hingga eksekusi dijadwalkan pada 2022, namun ditolak oleh warga.
Wahyu Sobirin, warga terdampak, menyebut bahwa bukti-bukti dari pihak warga tidak pernah dipertimbangkan oleh pengadilan. Meski upaya hukum dilakukan hingga Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung menolak PK nomor 312/PK/Pdt/2023. Warga merasa tidak pernah memiliki hubungan dengan pihak Oce bin Mansur dan menilai pengadilan telah berpihak.
Kasus ini menjadi sorotan setelah video Jubaedah (80), warga pemilik sertifikat tanah yang digugat, viral di TikTok. Ia memohon kepada Presiden Prabowo dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk menghentikan eksekusi. Dalam video yang sama, Ayu Septia Nigrum mengungkap dugaan praktik mafia tanah melalui manipulasi data letter C di tingkat desa.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB