CERITA ORANG BANDUNG #87: Bertani Cita-cita Cepi Sejak Kecil
Usianya baru 26 tahun. Cepi memilih terjun menjadi bertani di Bandung selatan. Dijegal tingginya harga pupuk dan obat-obatan pertanian.
Penulis Yopi Muharam5 Maret 2025
BandungBergerak.id - Semburat layung mewarnai kebun Rawabogo, Ciwidey, Kabupaten Bandung. Baju dan celana Cepi Hidayatulah (26 tahun) masih dipenuhi lumpur sisa bertani. Ia sibuk memperbaiki selang air yang bocor. Sampai maghrib ia belum bisa membersihkan diri.
Kendala selang bocor bukan hal baru baginya. Selang tersebut digunakan untuk kebutuhan berkebun ataupun mandi. Sumber air berasal dari bak yang menampung mata air pegunungan.
Cepi merupakan salah satu pemuda dari Bandung selatan yang memutuskan bertani sejak lulus di bangku sekolah menengah pertama. Sudah empat tahun dia berkebun secara mandiri. Sebetulnya dia sudah ikut bertani sejak dari bangku sekolah dasar.
“Ngan dulu mah ti kelas 2 SD milihan buncis nepikeun ka SMP [dari kelas 2 SD sudah ikut memilah buncis sampai SMP],” terang Cepi, kepada BandungBergerak, Senin, 27 Januari 2025.
Cepi merupakan anak sulung. Dia memiliki dua adik perempuan. Adik pertama sudah menikah dan mempunyai dua anak. Sedangkan yang bungsu masih duduk di akhir sekolah kejuruan. Sejak kecil Cepi sudah hidup bersama kakek-neneknya. Orang tuanya berpisah saat dia masih bayi.
Pengalaman bertani ia timba dari sang kakek. Tahun lalu kakeknya menyusul sang nenek yang meninggal lebih dulu. Sebelum menetapkan diri jadi petani, Cepi pedagang di pasar induk Cikopo selama tiga tahun. Sewaktu kakeknya masih ada dialah yang memberi modal untuk membeli kebutuhan berkebun seperti; bibit, pupuk, obat-obatan, bahkan memberi upah untuk buruh tani.
Bagi Cepi bertani sudah menjadi cita-citanya sejak kecil. Alasan kuat lainnya ialah melanjutkan lahan pertanian milik mendiang kakeknya agar digarap sendiri. “Karena bertani teh lumayan sih hasilna ge, sanajan teu nangtu [tidak menentu] hasilna,” tuturnya.
Setiap harinya Cepi berkebun pada pukul 1 siang hingga menjelang maghrib. Kebun Cepi berada tidak jauh dari rumahnya. Saat ini dia tengah menggarap cabai dan waluh yang siap dipanen. Mendekati hari raya atau bulan suci harga cabai di pasaran melambung tinggi.
Hasil bagus atau tidaknya pertanian ditentukan kegetolan merawat kebun. Sekarang bertani sudah menjadi pekerjaan utama baginya. Cita-citanya sudah dia gapai. Cepi menggarap lahan seluas kurang lebih 400 meter per segi warisan mendiang kakeknya.
Menyambi Pekerjaan
Menjadi petani tidak selalu menguntungkan. Naik turun harga di pasaran acap kali membuat petani merugi. Belun lagi soal cuaca. Kalau cuaca mendukung maka hasil pertanian pun bagus. Sebaliknya jika kemarau panjang daun tanaman akan cepat layu. Begitupun kalau hujan besar hasil pertanian tidak akan maksimal.
Selama bertani Cepi merasakan hasil panen bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di samping itu dia menyambil pekerjaan di gudang koperasi. Hasil pekerjaan dari koperasi dia gunakan sebagai modal bertani. Butuh 2 juta rupiah untuk modal awal menanam seperti cabai, pecay, atau jenis sayuran lainnya.
Tugas Cepi di gudang koprasi yaitu mengangkut hasil pertanian dari petani lalu mendistribusikannya ke pasar induk. Seminggu dia bisa dua kali mengangkut hasil panen petani. Sekali ngangkut barang dia diberi upah paling kecil 70 ribu rupiah.
“Jadi abi mah hasil tina damel eta teh disimpen kanggo ngebon [Jadi hasil kerja di koperasi disimpan buat modal bertani]” tuturnya. Ia enggan meminjam modal ke bandar atau tengkulak.
Kerja keras Cepi sudah terbangun sejak dia duduk di bangku sekolah dasar. Cepi kerap kali telat masuk sekolah karena harus membantu memetik hasil pertanian milik kakeknya. Selepas lulus dari sekolah menengah dia langsung terjun menjadi petani.
“Kan ngantongan hela buncis saacan angkat ka sakola teh. Lumayan lah rada mandiri [Saya sejak SD sudah bekerja. Mengemas buncis sebelum berangkat sekolah. Lumayan mandiri],” ujarnya bercerita.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #84: Iman, Pedagang Kopi Keliling yang Bertahan di Tengah Ketidakpastian
CERITA ORANG BANDUNG #85: Suatu Hari dalam Kehidupan Abbe Setelah Positif HIV
CERITA ORANG BANDUNG #86: Zahra Sang Crafter, Bermula dari Jualan Bunga Wisuda
Minim Bantuan dari Pemerintah
Cepi tidak mengetahui adanya program petani milenial ketika digaungkan Ridwan Kamil pada 2021. Belakangan dia tahu dari saudaranya yang menyarankan untuk mengikuti program itu. Program tersebut menjanjikan bantuan pada petani melalui pelatihan dan perkembangan dari hasil pertanian.
Akan tetapi Cepi tidak butuh pelatihan semata. Harga pupuk dan obat-obatan menjadi perhatiannya. Menurutnya pemerintah seharusnya memberikan harga subsidi pupuk dan obat-obatan secara merata.
Saat ini kebun yang ditanami Cepi sedang diserang hama. Dia harus rutin memberi obat kepada tanamannya itu. Jika dibiarkan maka hasilnya pun akan tidak maksimal. Itulah yang menjadi kekhawatiran Cepi. Dia sudah menanam cabai sejak empat bulan lalu. Kini waktunya untuk memanen.
“Terus tina obat oge mahal. Teruskan ayeuna mah pupuk teh aya nu disubsidi aya nu henteu [Obat mahal. Pupuk juga ada yang subsidi dan tidak],” tuturnya. Perbedaan yang mencolok ialah ketika petani mempunyai kartu berhak subdisi, maka harga pupuk dan obat-obatan akan murah. “Pami teu gaduh mah nya mahal, [kalau tidak punya kartu tetap mahal],” tuturnya.
Subsidi pupuk sebetulnya telah diatur Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Permendag mengatur tentang alokasi dan pengadaan pupuk bersubsidi bagi para petani di Indonesia. Pengadaan pupuk berada di bawah naungan holding Badan Kementrian Usaha Milik Negara (BUMN).
Mengutip dari laman Badan Standardisasi Instrumen Pertanian pada tahun 2025, pemerintah mengeluarkan 9,55 juta ton subsidi pupuk. Sementara itu untuk petani yang bisa mendapatkan subsidi pupuk atau obat-obatan harus mendaftar dalam Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (eRDKK).
Beruntung Cepi mempunyai kartu eRDKK bekas peninggalan kakeknya. Adapun bantuan dari pemerintah, Cepi menuturkan biasanya diberikan ke kelompok tani. Itu pun bantuan untuk petani kopi saja. Sementara untuk petani sayur-sayuran pemerintah hanya memberikan pupuk.
Cepi berharap pemerintah memberikan subsidi pupuk dan obat-obatan murah seara merata. Tidak untuk petani tertentu saja. “Ai abi mah hayangna harga teh makin terjangkaulah. Kasih subsidi pupuk tong mahal teuing [Saya maunya harga-harga terjangkau. Kasih subsidi pupuk],” harapnya.
Dia juga mengeluh kadang ketersediaan pupuk dan obat-obatan pertanian sulit untuk didapatkan.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artikel lain tentang tentang Cerita Orang Bandung