• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG #85: Suatu Hari dalam Kehidupan Abbe Setelah Positif HIV

CERITA ORANG BANDUNG #85: Suatu Hari dalam Kehidupan Abbe Setelah Positif HIV

Abbe datang ke Bandung dan meninggalkan jalan hidup yang suram. Jatuh sakit berbulan-bulan karena HIV. Ia bisa bangkit.

Abbe (42 tahun) di kantor Puzzle Indonesia, Bandung, Sabtu, 30 November 2024. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah4 Desember 2024


BandungBergerak.id - Harum samar pepohonan menemani Abbe (42 tahun) yang duduk sembari menghadap komputer jinjingnya di teras halaman kantor Puzzle Indonesia, Bandung. Tumpukan buku mengenai edukasi HIV/AIDS berjejer bersama buku kajian budaya di lemari yang ditempeli stiker peringatan puntung rokok agar disimpan ke asbak.

Suasana kantor sekretariat ini kian terasa dengan hadirnya mading-mading tentang organisasi; ada pula poster bahaya narkoba dan penularan HIV/AIDS yang menyambut setiap siapa saja yang datang ke komunitas kelompok gender ini.

“Ini saya lagi menunggu zoommeting,” kata pria yang akrab disapa Kang Abbe, kepada BandungBergerak, Sabtu, 30 November 2024.

Abbe adalah Sekretaris Bandung Aids Coalition dan Kepada Divisi Advokasi Media Edukasi dan Informasi di lembaga nonprofit Puzzle Indonesia. Persoalan diskiminasi dan stigma pada Orang hidup dengan HIV (Odhiv) terus diperjuangkan oleh Abbe dan kawan-kawannya di Puzzle Indonesia. Mereka harus menempuh jalan panjang agar kelompok-kelompok rentan memperoleh hak-haknya khususnya di bidang kesehatan.

Berada di titik hidup yang sekarang tidak mudah bagi Abbe. Perjalanan hidupnya penuh liku. Setelah ibunya meninggal lima belas tahun lalu, Abbe datang dari Jakarta  datang ke Kota Kembang dengan penuh harap.

Akan tetapi harapan itu bertolak belakang dengan kenyataan. Ia terjerumus pada pergaulan yang sulit. Ia pun didiagnosa HIV, penyakit mematikan yang sampai saat ini belum ada obatnya.

“Waktu itu kalau gue terusin di Jakarta mikirnya dua pilihan nih, antara gue meninggal OD, overdosis atau gue sial-sialnya udah ketangkep gitu kan. Pilihannya waktu itu Surabaya, Bandung, Jogja, dan Bali,” cerita Abbe, mengingat masa-masa belakang.

Sejak tinggal di Bandung sebelum didiagnosa HIV, ia jatuh sakit selama berbulan-bulan. Barang-barang terlarang seperti obat-obatan, narkotika, dan minuman beralkohol tak lagi ia sentuh.

“Pas pindah ke Bandung itu kan sama sekali gak menyentuh gitu-gituan lagi, mikirnya tuh kayak nagih. Saya tetap coba untuk mengalahkan itu semua, mikirnya gak mungkin, saya harus kuat, saya bisa, pasti bisa,” tutur Abbe.

Sakitnya berkepanjangan sampai berbulan-bulan. Abbe mencoba memberanikan diri tes lab di salah satu laboratorium klinik di Bandung. Awalnya tak terbesit di benaknya ia akan melakukan tes HIV.

Tapi dikarenakan penyakitnya yang komplikasi maka ia harus menjalani tes itu. Abbe kemudian mengetahui dirinya reaktif HIV. Mulanya, rasa tak percaya dan ragu-ragu menyelimuti pria berambut putih ini. Saat itu dokter memberikan tes layanan gratis untuk menjawab keragu-raguan tersebut.

“Hasilnya sama, hasilnya aktif deh dan itu saya gak tau lagi deh bingung kayak rencana saya buat ke Bandung untuk menata hidup dengan baik tuh kayak berantakan semuanya,” terang Abbe.

Untuk lebih meyakinkan diri, ia bahkan harus kembali melakukan tes HIV di berbagai rumah sakit dan klinik ternama di Bandung. Hampir puluhan kali tes dicoba.

“Hasilnya sama, reaktif juga wah panik. Setelah saya pikir waktu itu saya bodoh gitu, sebenarnya kan mahal ya kalau di tes itu ya, tidak seperti di rumah sakit negeri. Itu tuh mahal dan semakin saya tes terus bayar,” tuturnya.

Harapan dan mimpi seolah sirna digantikan bayang-bayang kematian. Ia memutuskan untuk menunaikan cita-citanya mengunjungi beberapa tempat yang belum disinggahi.

HIV memang belum ada obat penyembuhnya, tetapi ada obat yang mampu mengendalikan virusnya. Informasi ini waktu itu belum diketahui Abbe.

“Mimpi saya berantakan semuanya, udah selesai dan saya akan mati cepet. Gimana caranya saya sebelum meninggal bisa menikmati hidup saya yang sisa segini, mikirnya waktu itu dalam kesakitan luar biasa,” tambahnya.

Abbe kemudian mengunjungi tempat-tempat yang ingin disinggahinya mulai dari Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Sejak dari Surabaya menuju Pulau Dewata itu kondisinya tak kunjung membaik.

HIV mengogoroti tubuhnya. Ia seperti berlomba dengan waktu. Sebab, tanpa penanganan yang tepat HIV akan berubah ke fase AIDS di mana pertahanan tubuh pasien benar-benar menghancurkan dirinya sendiri.

Tak pantang menyerah, setelah berkunjung ke Pulau Dewata ia kemudian kembali ke Bandung. Kondisinya tubuhnya sudah dipenuhi ruam-ruam merah, perawakannya semakin kerempeng.

Di Bandung, Abbe kemudian dibawa ke Rumah Sakit Borromeus dan ditangai oleh seorang dokter spesialis penyakit dalam. Ia ditangani dokter yang baik yang kebaikannya masih ia rasakan sampai kini. Tak lupa, ia harus berterima kasih kepada ibu kosnya yang mau mengurusinya sampai membawanya ke rumah sakit.

“Waktu itu karena ya kondisi saya tuh bener-bener ...” cerita Abbe, menggambarkan kondisi sakitnya yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Dokter yang menanganinya memberikan semangat kepada Abbe. Sang dokter bilang, sepuluh atau dua puluh tahun akan datang Abbe akan kembali dengan wajah baru.

Dua bulan kemudian, Abbe akhirnya keluar dari rumah sakit. Ia merasa diberi kesempatan hidup yang kedua. Namun ia juga membutuhkan kawan-kawan sejalan.

“Pas keluar dari rumah sakit tuh ya ampun gue dikasih kesempatan ini. Nah di situ tuh saya mikir nih gue harus cari orang yang kayak gue nih di Bandung gak mungkin gak ada gitu,” katanya.

Abbe kemudian bergabung di Rumah Cemara, komunitas yang aktif di bidang advokasi isu-isu kesehatan kelompok rentan, serta aktif di Puzzle Indonesia. Abbe awal masuk Puzzle Indonesia pada tahun 2013. Di organisasi ini ia terlibat banyak hal khususnya menyuarakan pemenuhan hak-hak kesehatan para Odhiv, kesehatan reproduksi, dan keberagaman.

“Kesempatan banyak, pintu untuk saya itu banyak dari Puzzle, banyak ikutan konferensi dan segala lain-lainya,” jelas Abbe.

Selain menjadi Kepala Divisi Advokasi Media Edukasi dan Informasi di Puzzle Indonesia, Abbe juga ikut terlibat mengedukasi TBC bagi Odhiv bersama Jaringan Indonesia Positif melalui program USAID Prevent Tb.

Abbe tiba di jalan hidup damai dan menerima dirinya adalah penyintas HIV, di saat yang sama ia pun mesti melawan stigma dan diskriminasi yang kerap dialami para penyintas. 

Di Kota Bandung orang seperti Abbe tidaklah sedikit. Sejak ditemukannya kasus HIV pertama pada 1991, jumlah akumulasi hingga 2021 untuk penyakit ini mencapai 5.843 kasus. Rinciannya, kasus HIV pada profesi karyawan atau pekerja swasta ditemukan paling banyak, yakni 30 persen, disusul wiraswasta 15 persen, ibu rumah tangga 11 persen, dan mahasiswa 6,97 persen. 

Diketahui, HIV/AIDS bisa menyerang siapa saja tanpa pandang bulu. Beragam profesi dengan latar belakang bisa kena jika mereka berada dalam posisi rentan. Ibu rumah tangga menjadi rentan terpapar dari suami jika sang suami merupakan orang dalam posisi rentan, yaitu sering berganti pasangan. Mahasiswa hingga tenaga medis yang terkena HIV/AIDS pun tercatat dalam data kumulatif ini. Tenaga medis terinfeksi karena kecelakaan saat terjadi penanganan kasus HIV/AIDS. Begitu juga dengan pengguna narkoba suntik yang memakai jarum suntik bergantian tidak steril. 

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #81: Ujang Itok di Sepetak Sawah Terakhir Cigondewah
CERITA ORANG BANDUNG #83: Yang Membekas dan Bertahan Bersama Buku
CERITA ORANG BANDUNG #84: Iman, Pedagang Kopi Keliling yang Bertahan di Tengah Ketidakpastian

Asa di Masa Karantina Covid-19

Sehari-hari aktivitas Abbe cukup padat. Ia aktif di media sosial sebagai influencer. Followersnya di Instagram mencapai 96,3 ribu. Di dunia maya ia kerap berbagai kisah hidup inspiratif, gaya hidup sehat, dan memperkenalkan dunia kuliner sehat yang ramah bagi Odhiv.

Tak ketinggalan, Abbe rajin mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya penerimaan diri dan penganggulangan HIV. Keterlibatannya di media sosial pertama kali di masa pandemi Covid-19. Situasi karantina wilayah membuatnya harus terus berkreasi. Saat itu ia menjadi vlogger makanan, ia mengulas produk-produk makanan melalui video.

“Gak sengaja karena waktu itu tahun 2020 pandemi bingung mau ngapain gitu ya. Nggak punya penghasilan tetap lagi kan waktu itu kan. Nah waktu itu cuma dikirim-kirim makanan doang aja. Kita cuma kirimin makanan produk-produk aja gitu kita videoin. Kita review terus kita pasti awalnya di situ aja sampai di 2021,” jelas Abbe.

Setelah pandemi Covid-19 dan industri makanan dan perhotelan perlahan dibuka, Abbe terus menjelajah media sosial. Tak hanya produk makanan, ia mulai mereview tempat-tempat menarik.

Tahun 2022, kerja keras Abbe membuahkan hasil. Pengikutnya di media sosial terus tumbuh. Ia pun mulai bisa masang harga untuk jasa ngontennya.

“Saya udah punya punya rate card gitu, kalau misalnya ada yang segala macem, udah pasti langsung nanya harganya berapa gitu dan punya pengalaman lucu waktu,” terang Abbe.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang tentang Cerita Orang Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//