Cerita Para Perempuan ODHIV Menyusun Kembali Pecahan-pecahan Hidupnya
Rabiah, ibu rumah tangga yang dinyatakan positif HIV pada 2018, bangkit demi merawat dan membesarkan anak-anaknya.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah25 Mei 2024
BandungBergerak.id - Rabiah – bukan nama sebenarnya – sabar menanti proses logoterapi dimulai. Bersama lima kawan-kawannya dia berbincang akrab. Senyum perempuan berkerudung hitam itu sesekali mengembang. AC dingin tak mampu menghalangi kehangatan di antara mereka.
Pagi itu, Kamis, 23 Mei 2024, merupakan kali keempat Rabiah mengikuti logoterapi dalam program pengabdian masyarakat Fakultas FIilsafat Universitas Katolok Parahyangan (Unpar) bekerja sama dengan Klinik Teratai Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), di Jalan Sukarno Hatta No. 496, Kota Bandung.
Di sela-sela menjalani proses terapi, air mata Rabiah menetes deras. Mungkin dia teringat ke masa lalu yang membawanya untuk aktif di komunitas aktivis HIV. Status positif HIV dia ketahui saat sang suami mengalami sakit berat dan divonis HIV Stadium 3 pada 2018 lalu. “Satu bulan kemudian, suami meninggal,” cerita Rabiah, kepada BandungBergerak.
Sampai sekarang, HIV merupakan salah satu penyakit yang dipandang paling menakutkan. Selain dampaknya yang melemahkan pertahanan tubuh, penyakit ini juga masih kuat mengundang stigma di tengah masyarakat.
Bak tersambar petir di siang bolong, begitu Rabiah menggambarkan saat dirinya pertama kali mengetahui kenyataan pahit positif HIV. Berlarut-larut dalam kesedihan bukanlah solusi. Kehidupan tak boleh berhenti, ada anak yang harus dia rawat dan besarkan.
Rabiah harus memastikan si kecil tumbuh besar dan tiba di gerbang masa depan yang menjanjikan, meski dirinya sudah didiagnosis positif terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV), virus yang sampai saat ini tidak ada obat penyembuhnya. Dia kemudian mencari tahu dan melakukan tes pada anak-anaknya.
“Alhamdulillah, saya sujud syukur, anak-anak negatif. Ini semangat baru, cuma saya yang kena, anak-anak engga. Ibunya harus sehat dan melanjutkan hidup,” ungkap Rabiah.
Semangat hidup demi membesarkan anak-anak mengantarkan Rabiah untuk terus belajar mengenai HIV dan AIDS. Ia rela datang jauh-jauh dari rumahnya di timur Bandung ke Gegerkalong untuk mengunjungi Rumah Cemara, komunitas aktivis HIV. Di sana dia berkenalan bertemu dengan sesama penyintas HIV, membicarakan pengalaman meminum obat, bagaimana cerita mereka saat distigma dan mengalami diskriminasi namun masih bisa bertahan.
“Aku bertemu dengan teman yang sesama, mereka sehat, mereka bisa. Kenapa saya engga?” tuturnya.
Rasa ingin tahu yang besar terkait hak-hak para penyintas orang dengan HIV (ODHIV) mendorong Rabiah melangkah lebih jauh lagi. Dia terlibat dalam organisasi HIV dan AIDS (acquired immunodeficiency syndrome, fase selanjutnya setelah HIV yang tidak diobati).
Rabiaah terlibat di Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung yang ditugaskan untuk mendampingi ibu hamil yang positif HIV. Di sini dia belajar banyak hal dengan banyak tantangan bersama para pendamping. Dia turut mendampingi ibu hamil yang baru tahu status positif HIV.
Hingga saat ini, Rabiah terus aktif di organisasi dan komunitas pemberdayaan para ODHIV. Bertemu dengan sesama ODHIV membuatnya semakin yakin, bahwa vonis HIV bukan akhir segalanya. Diaa juga berharap masyarakat memahami informasi yang baik dan benar mengenai HIV dan AIDS ini.
Rabiah adalah salah satu ibu rumah tangga yang positif terpapar HIV. Di Kota Bandung, kasus HIV pertama kali dilaporkan pada 1991 dengan jumlah akumulasi hingga 2021 sebanyak 5.843 kasus.
Diketahui, kasus HIV/AIDS bisa menyerang siapa saja tanpa pandang bulu. Beragam profesi dengan latar belakang bisa terserang HIV jika mereka dalam posisi rentan. Ibu rumah tangga menjadi rentan terpapar dari suami jika sang suami merupakan orang dalam posisi rentan. Mahasiswa hingga tenaga medis yang terkena HIV/AIDS pun tercatat dalam data kumulatif ini. Tenaga medis terinfeksi karena kecelakaan saat terjadi penanganan kasus HIV/AIDS.
Ketua Sekretariat KPA Kota Bandung Sis Silvia Dewi menjelaskan, pendataan HIV/AIDS di Kota Bandung dilakukan dengan pengelompokan berdasarkan pekerjaan atau profesi dengan tujuan untuk membangun strategi penjangkauan atau penanggulangan HIV/AIDS. Diketahui bahwa pada profesi karyawan atau pekerja swasta ditemukan kasus HIV/AIDS paling banyak, yakni 30 persen, disusul wiraswasta 15 persen, ibu rumah tangga 11 persen, dan mahasiswa 6,97 persen.
Menyambung Kepingan Hidup
“Selamat pagi, ibu-ibu dan teteh-teteh, bagaimana kabarnya? Sehat semua kan?” sapa Wilfridus Demetrius, Ketua Program Pengabdian Masyarakat FF Unpar, kepada Rabiah dan peserta logoterapi lainnya, para perempuan ODHIV.
Wilfridus menjelaskan, terapi hari itu adalah pertemuan yang keempat dengan media kendi dan cat minyak. “Kita akan kembali memulai kegiatan hari ini, kembali memaknai kehidupan kita,” lanjutnya.
Kendi dan cat minyak merupakan media yang dipakai oleh para peserta untuk melukis, setelah itu tim akan meminta peserta memecahkan kendi yang sudah dilukis. Setelah kendi pecah, peserta diminta menyusun serpihan-serpihannya agar menemukan bentuk utuhnya.
Kendi dan cat warna telah ada di depan Rabiah dan kawan-kawan. Sebelum dimulai, mereka harus membersihkan kuas lukis terlebih dahulu. Cat-cat minyak sudah diletakkan di tempat masing-masing. Mereka duduk melingkar.
“Baik sebelum kita mulai, kita lakukan relaksasi terlebih dahulu. Pejamkan matanya, betapa lucunya ketika kita kecil yang bebas tanpa beban, beranjak ke bangku sekolah dasar, SMP, dan SMA. Betapa cantiknya kita yang memiliki banyak harapan, cita-cita, dan segala keinginan. Tapi semua itu harus hancur karena satu luka, luka tersebut yang perlu kita berdamai, maka berdamailah dengan diri sendiri,” ujar Fandi Gilar, dosen yang hari itu turut juga memberikan pendampingan.
“Dan sekarang, di depan teteh-teteh sekalian ada cat juga kendi. Silakan mewarnai secantik mungkin,” serunya.
Alunan lagu Tulus ““Manusia-manusia kuat itu kita”, mendayu ke relung telinga, meresap ke sanubari Rabiah. Dia mengambil kuas, mencelupkan ke dalam botol cat, menorehkan warna demi warna di permukaan kendi kecil bata merah di hadapannya. Merah, kuning, biru, putih menjadi warna-warna indah yang disapukan kuas Rabiah bersama kawan-kawan.
Kau bisa patahkan kakiku
Tapi tidak mimpi-mimpiku
Kau bisa lumpuhkan tanganku
Tapi tidak mimpi-mimpiku
...
Lagu Tulus terus menyemangati mereka melukis kendi. Hampir 20 menit Rabiah dan kawan-kawan melukis dan mewarnai kendi yang tadinya polos menjadi benda mungil yang cantik.
Kerja melukis mereka selesai. Fandi menyuruh mereka berdiri sambil memegang kendi yang telah dihias. Mereka diperintahkan untuk memecahkan kendi yang sudah susah payah dilukis.
Kendi pecah bersama meledaknya tangisan. Rabiah berlinang air mata. Hidup memang tak selalu indah, tapi luka bukan akhir segalanya.
“Hidup bukan soal akhir, dan kita bisa menyusun keping-keping yang pecah ini menyatu kembali,” ujar Wilfridus kepada Rabiah dan kawan-kawan.
Baca Juga: Kebijakan Tes HIV bagi Calon Pengantin di Bandung harus Adil
Jauhi Virusnya, Bukan Orangnya: Satu Langkah Memerangi HIV
Target Nol HIV AIDS di Bandung Masih Melupakan Pentingnya Edukasi
Logoterapi Victor Frankl
Rabiah merasa program logoterapi ini berbeda dengan beberapa terapi yang pernah dia ikuti sebelumnya. Sementara itu, Wilfridus Demetrius Siga mengatakan, pendampingan ini lebih ke pemaknaan dan penguatan hidup. “Kenapa kita menggunakan media, karena yang kita fokuskan ke sini (pemaknaan hidup),” katanya.
Dosen Tim Pengabdian Masyarakat lainnya Ester menuturkan, logoterapi merupakan bagian dari rehabilitasi sosial. Metode ini muncul dari tangan neurolog dan psikiater asal Austria yang selamat dalam kejadian holocaust Victor Frankl.
“Metode memang berasal dari profesional di bidang kesehatan mental, dan orang-orang yang konsen untuk mendampingi misalnya kelompok minoritas dengan penderitaan tentu,” ujar Ester.
Metode ini dikembangkan dengan tiga tahap. Tahap pertama adalah relaksasi, bagaimana menyambungkan komunikasi dengan nyaman agar penderita tidak keberatan dan tidak fokus pada penderitaan yang dia alami, namun lebih nyaman dengan dirinya. “Memaknai penderitaan itu bermakna bagi hidupnya, supaya penderitaan-penderitaan dilewati dengan lebih baik,” terang Ester.
Setelah relaksasi, tahap kedua yaitu intensitas paradoksal di mana orang-orang yang diterapi lebih menceritakan apa yang dirasakan penderitaanya seperti apa, sekaligus melihat penderitaan tersebut seperti apa, apakah penderitaan itu bertentangan dengan mereka atau tidak.
Kemudian, tahap ketiga menanyakan tujuh pertanyaan Socrates. Mengajak pihak yang diterapi lebih memaknai penderitaan dengan melihat dirinya. “Misalnya dengan pertanyaan mengapa aku sampai menderita seperti, mengalami seperti ini, lalu pengalamanku berbeda dengan orang lain, lebih ke refleksi,” ujar Ester.
Tahapan inilah yang membantu pihak yang diterapi untuk menemukan makna hidup yang jauh lebih baik untuk dia dapatkan. Dia akan mendapatkan pengalaman hidup, termemotivasi, dan membawa dia ke tahap kehidupan selanjutnya.
Kaum hawa dengan HIV dipilih mendapatkan logoterapi ini karena respons penderitaan mereka berbeda dibandingkan dengan laki-laki, apalagi mereka seorang ibu yang memiliki anak.
“Itu membuat mereka jatuh bangun luar biasa, dibandingkan yang mengalami itu bapak atau laki-laki. Kami melihat ibu-ibu ini terkena sebagai orang yang terjangkit virus HIV ini, mereka ternyata perlu juga, ada orang tertentu yang ternyata masih terasa bahwa apa yang mereka alami penderitaan yang sangat hebat. Ada pula yang sudah menerima dan bersyukur atas mereka alami,” beber Ester.
Terakhir, tahap keempat disimbolkan dengan kendi yang indah yang menggambarkan diri mereka sendiri, dipecahkan, dan dirangkai kembali. “Untuk memaknai kehidupan, kita tetap butuh orang lain. Itu yang kemudian dilihat oleh Frankl, semenderita apa pun kita, ketika orang lain ikut merasakan, mendampingi kita, ternyata itu bisa menjadi termotivasi untuk hidup,” ucap Ester.
Logoterapi ini diharapkan terus dilanjutkan oleh para ODHIV di lingkungan sosial, sehingga mereka juga bisa berkontribusi secara sosial kepada orang bukan ODHIV.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang HIV/AIDS