• Berita
  • HIV/AIDS di Bandung dalam Bingkai Medis dan Moralitas

HIV/AIDS di Bandung dalam Bingkai Medis dan Moralitas

Pada awal kemunculannya di dunia maupun di Indonesia, kasus HIV/AIDS selalu terbentur isu moralitas. Sejatinya, HIV/AIDS adalah isu kesehatan.

Komunitas ODHA termasuk pendamping dan aktivis-aktivis LSM yang menaungi ODHA mendapat suntikan vaksinasi Covid-19 di Kantor Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung, 8 September 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana15 September 2022


BandungBergerak.idKasus HIV/AIDS di Kota Bandung menjadi pusat perhatian publik belakangan ini. Bahkan gemanya merembet ke berbagai daerah di Indonesia. Perhatian yang besar pada isu HIV/AIDS dipicu adanya data 407 mahasiswa Bandung yang terpapar penyakit yang menggerogoti sistem pertahanan tubuh itu.

Belakangan data kasus HIV/AIDS di Bandung diklarifikasi oleh Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Bandung maupun Dinas Kesehatan Kota Bandung, bahwa jumlah kasus HIV/AIDS bersifat kumulatif, yakni hasil penjumlahan dari semua kasus sejak pertama kali teridentifikasi.

Di Kota Bandung, menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, Ira Dewi Jani, kasus HIV/AIDS mulai dikumpulkan selama 30 tahun terakhir, dari 1991-2021, dengan total mencapai 5.843 kasus.

Dalam data itu, tampak bahwa HIV/AIDS menyerang tanpa pandang bulu. Beragam profesi dengan latar belakang, bisa terserang jika mereka dalam posisi rentan. Contohnya ibu rumah tangga yang suaminya suka berganti pasangan di luar pengetahuan istrinya, maka ia termasuk rentan.

Mahasiswa hingga tenaga medis yang terkena HIV/AIDS pun tercatat dalam data kumulatif ini. Tenaga medis terinfeksi karena kecelakaan saat terjadi penanganan kasus HIV/AIDS.

Khusus mengenai kasus pada kalangan mahasiswa di Kota Bandung dari tahun 1991-2021, jumlahnya mencapai 407 kasus atau 6,97 persen [dari total 5.843 kasus HIV/AIDS Kota Bandung]. Jadi jelas, kalangan mahasiswa bukan penyumbang terbesar untuk kasus HIV/AIDS. Seandainya dirata-ratakan per tahunnya dalam 30 tahun data kumulatif itu, jumlah mahasiswa yang terinfeksi HIV/AIDS sebanyak 13,5 orang per tahunnya.

Sedangkan nilai rata-rata dari total kasus HIV/AIDS di Kota Bandung adalah 300-400 kasus per tahunnya. Faktor risiko yang paling banyak adalah hubungan heteroseksual (hubungan seks beda gender) dengan rentang usia 20-29 tahun.

Perata-rataan ini bukan untuk mengecilkan jumlah kasus, tetapi untuk melihat apakah benar kalangan mahasiswa sebagai penyumbang angka signifikan pada data infeksi HIV/AIDS di Kota Bandung.

Ketua Sekretariat KPA Kota Bandung Sis Silvia Dewi menjelaskan, pendataan HIV/AIDS di Kota Bandung dilakukan dengan pengelompokan berdasarkan pekerjaan atau profesi. Tujuannya tidak lain untuk membangun strategi penjangkauan atau penanggulangan HIV/AIDS.

Ditemukanlah bahwa pada profesi karyawan atau swasta justru yang paling tinggi risiko paparan HIV/AIDS-nya, yakni 30 persen, wiraswasta 15 persen, dan ibu rumah tangga 11 persen. Mahasiswa malah yang terkecil di antara tiga kelompok tersebut, yakni 6,97 persen.

Namun membaca data kelompok pekerjaan juga tidak bisa menyimpulkan bahwa jenis pekerjaan tertentu sebagai penyebab HIV/AIDS. Penyebabnya tetap sama, yaitu kegiatan berisiko yang memungkinkan terjadinya pertukaran cairan tubuh (darah dan sperma). Sehingga kelompok mahasiswa terinfeksi HIV/AIDS bukan karena statusnya sebagai mahasiswa. 

Tri Irwanda, pegiat komunitas pendampingan HIV/AIDS Rumah Cemara, menganalisa bahwa mengaitkan kasus HIV/AIDS dengan status pekerjaan atau profesinya malah akan memperkuat stigma atau stereotip yang akhirnya menghambat penanggulangan HIV/AIDS sendiri.

Tetapi stigma atau stereotip pada mahasiswa sudah terlanjur merebak bagai bola liar. Dari kalangan pejabat hingga DPR pun turut bersuara akan kasus HIV/AIDS, beberapa malah menguatkan stigma ini.

Tri yang pernah bekerja di KPA mencatat, Krisdayanti, penyanyi yang kini berkiprah di DPR RI, mengunggah caption dalam akun medsosnya seperti ini: “Saya pribadi sangat menyayangkan kejadian ini. Apalagi setelah di data, mayoritas penyintasnya berstatus mahasiswa.”

Kuat dugaan bahwa penyanyi yang kini wakil rakyat, ingin menunjukkan perhatiannya pada fenomena sosial yang hangat namun sayangnya bersumber pada data yang keliru.

Wali Kota Bandung, Gubernur Jawa Barat, dan Wakil Gubernur Jawa Barat juga menyampaikan klarifikasi tentang apa yang terjadi pada kasus HIV/AIDS di wilayah mereka. Namun di sela-sela klarifikasi ini justru muncul kontroversi baru yang dipicu Wakil Gubernur Jawa Barat karena mengatakan pernikahan dan poligami bisa efektif mencegah HIV-AIDS. Isu ini pun semakin tambah runyam.

Intinya, menurut Tri Irwana, kegaduhan isu HIV/AIDS tidak akan terjadi jika sejak awal adanya akurasi dalam membaca data kumulatif sejak 1991 hingga 2021 atawa 30 tahun lalu. Dengan kata lain, temuan tersebut bukanlah yang terkini. Mereka yang tercatat sebagai mahasiswa dengan HIV/AIDS pada 1991 tidak mungkin masih berstatus mahasiswa saat ini, setelah 30 tahun.

Di luar masalah angka dan data, mengapa isu ini menuai sensasi yang berlebihan?

Baca Juga: Kebijakan Tes HIV bagi Calon Pengantin di Bandung harus Adil
Target Nol HIV AIDS di Bandung Masih Melupakan Pentingnya Edukasi
Orang dengan HIV/AIDS dan Transpuan Punya Hak Sama dalam Mengakses Vaksinasi Covid-19

Masalah Moral dan Aib

HIV/AIDS atau human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome adalah penyakit dengan sejarah panjang dan penuh kegaduhan. Sama halnya dengan Covid-19 yang pada awal kemunculannya marak dengan berbagai sudut pandang.  

HIV/AIDS berawal dari masalah kesehatan, yaitu virus yang menyerang simpanse, lalu menginfeksi manusia, lalu siapa pun yang dalam posisi rentan bisa terkena. Baru belakangan diketahui galur HIV/AIDS sangat mirip dengan SIV, virus yang menginfeksi simpanse, pertama kali ditemukan pada 1920. Pada saat itu hingga tahun 80-an dan sekarang, dunia mengalami pandemi HIV/AIDS.

Tri mencatat, sejak awal kemunculannya pada 1980-an itu, HIV/AIDS di dunia memang kerap diwarnai dengan sejumlah kekeliruan dan bias informasi. Di Amerika sekalipun yang sering disebut negara liberal, bias informasi pada HIV/AIDS kerap terjadi. Kasus pertama di Amerika Serikat terdeteksi pada kalangan homoseksual (gay). Di sana kalangan ini dianggap punya perilaku dan orientasi seksual yang “menyimpang” alih-alih dipandang sebagai keragaman gender dan seksualitas manusia.

Tidak sedikit pesohor dunia yang terinfeksi HIV/AIDS. Freddie Mercury, motor band Queen, meninggal dunia karena AIDS. Ia dinyatakan AIDS pada 1987, di saat penyakit HIV/AIDS sendiri masih dipandang asing karena baru muncul. Obat anti-retroviral (ARV) yang bisa menjinakkan virus ini baru ditemukan pada 1987. Obat ini tidak menyembuhkan HIV/AIDS, tapi mampu menekan virus di dalam tubuh agar lebih jinak hingga tidak lagi bisa menularkan.

Menurut Tri, awal kemunculan kasus HIV/AIDS di Indonesia pun dipengaruhi bias informasi. Kasus AIDS dinyatakan pertama kali pada 1987 dan terdeteksi pada turis gay Belanda di RS Sanglah Denpasar, Bali.

Kita semua paham, bagaimana konstruksi sosial dan tata norma bangsa kita pada umumnya terhadap kalangan gay. Sudah mah gay, dia juga bule. Pasti karena perilaku kebarat-baratan dan hedonis! Begitu kira-kira cara berpikir kita pada umumnya,” tulis Tri Irwanda, dikutip dari laman Rumah Cemara, Kamis (15/9/2022).

Pada perkembangan selanjutnya, Tri mencatat infeksi HIV pun banyak terdeteksi pada kelompok waria dan pekerja seks. Demikian pula dengan lonjakan kasus HIV pada kalangan pengguna narkoba suntik di pertengahan tahun 2000-an. Banyak orang yang makin teguh melihatnya dari perspektif moral. Mereka seolah ingin berkata, bukankah itu semua adalah kelompok yang memang “menyimpang” secara moral?   

Maka, fenomena HIV-AIDS yang sejatinya adalah persoalan virus yang merusak kesehatan manusia, didekati dan dianalisis dengan teropong moralitas. HIV-AIDS menjadi fakta moral, bukan fakta medis seperti seharusnya,” lanjut Tri.

Sehingga, kata Tri, kita dapat memahami betapa HIV-AIDS sejak awal memang lekat dengan stigma alias cap buruk. Temuan kasus HIV dianggap aib yang sedapat mungkin ditutupi. Pandangan ini juga yang melekat pada isu HIV/AIDS di kalangan mahasiswa. Padahal status seseorang sesungguhnya tidak relevan dengan fakta HIV-AIDS.

Menurut Tri, fakta medisnya, HIV adalah virus yang bisa menginfeksi semua orang, sejauh syaratnya terpenuhi yakni adanya pertukaran cairan tubuh (darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu) dari seseorang yang telah terinfeksi dengan orang lainnya.

Dengan demikian, HIV bisa menular akibat hubungan seksual yang tidak aman (tanpa kondom) dengan seseorang yang memang telah terinfeksi HIV, penggunaan alat suntik secara bersama-sama (tidak steril), atau dari seorang ibu kepada bayinya saat persalinan.

Tri menduga, hebohnya berita kasus HIV/AIDS pada mahasiswa dilatarbelakangi adanya standar moral yang dianut jurnalis penulis beritanya bahwa mahasiswa dan anak muda pada umumnya di perkotaan seperti Bandung, punya pergaulan yang bebas dan pasti “kebarat-baratan”. Mereka sering melakukan “seks bebas”, pakai narkoba, dan semacamnya.

Di luar pemberitaan, kacamata moral juga kerap dipakai akademikus yang ingin mengomentari kasus HIV/AIDS. Pernyataan terkait moralitas ini misalnya disampaikan dosen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Pasundan (Unpas) Charisma Asri Fitrananda, yang mengaku prihatin karena mahasiswa turut menyumbang kasus positif HIV.

“Di Indonesia, penanggulangan HIV sulit dilakukan karena akan berbenturan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Apalagi HIV muncul akibat aktivitas amoral, misalnya seks bebas, penggunaan jarum suntik bergantian, dan sebagainya,” katanya, Rabu (14/9/2022) dilansir dari Podcast Ilkom Unpas.

Di sisi lain, Charisma menyayangkan tidak adanya konfirmasi oleh jurnalis terkait data yang valid ke KPA Kota Bandung. Data yang beredar terlanjur viral dan membuat KPA Kota Bandung kesulitan menanggulanginya.

Padahal fakta medisnya, Tri memaparkan, seorang perempuan (istri) berisiko besar jika menikah dengan laki-laki yang gemar membeli seks. Survei Kementerian Kesehatan RI (2012) mencatat ada sekitar 6,7 juta lelaki di Indonesia yang membeli seks alias “jajan”. Data juga menunjukkan, ada sekitar 4,9 juta perempuan yang menikah dengan para pelanggan seks itu. Tentu saja mereka sangat berisiko terinfeksi HIV. Kebanyakan dari jutaan lelaki pembeli seks itu adalah pekerja dan mobile (mobile man with money alias 3M).

Jika dihadapkan pada data di atas, Tri bertanya seberapa signifikan mahasiswa dalam konteks epidemi HIV-AIDS? Tidakkah lebih “gawat darurat” dampak dari 3M tadi yang berisiko terinfeksi HIV dan pada gilirannya bisa menulari pasangan pernikahannya? Potensi tertular juga terdapat pada anak-anak dari ibunya yang terinfeksi HIV.

Lalu, kalau HIV/AIDS menyerang orang-orang yang “memiliki” moral menyimpang, mengapa ibu rumah tangga dan bayinya bisa terinfeksi HIV juga? Atau mengapa kalangan medis juga ada yang terinfeksi?

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//