• Berita
  • Target Nol HIV AIDS di Bandung Masih Melupakan Pentingnya Edukasi

Target Nol HIV AIDS di Bandung Masih Melupakan Pentingnya Edukasi

Edukasi HIV AIDS di Bandung belum menyentuh semua kalangan.

Vaksinasi dosis pertama di Kantor Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung, Jalan K.H. Ahmad Dahlan, Bandung, Rabu (8/9/2021). Vaksinasi Covid-19 ini ditujukan kepada ODHA, pegiat HIV, pendamping ODHA, dan umum. (Foto: Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki3 November 2021


BandungBergerak.idPemkot Bandung baru-baru ini menandatangani "Deklarasi Bersama Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung tentang Pentahelix Menuju Ending AIDS 2030 di Kota Bandung". Deklarasi ini menargetkan tidak ada kasus baru HIV/AIDS di Kota Bandung, tidak ada kematian disebabkan HIV/AIDS, dan tidak ada diskriminasi pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).

Deklarasi melibatkan akademisi, pihak swasta/bisnis, komunitas, Pemerintah Kota Bandung, dan media. Tetapi pelaku dan penjaja seks tak tersentuh. Padahal mereka sasaran penting yang harus dijangkau program edukasi dan sosialisasi HIV/AIDS.

Selain itu, target yang diusung deklarasi bukan hal baru. Sebab, sejak 2018 Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mencanangkannya.

Sebelum mencapai target, Bandung sendiri dinilai masih menghadapi masalah mendasar, yaitu masih terdapatnya stigma atau pandangan diskriminasi terhadap ODHA. Pendiri Rumah Cemara, Patri Handoyo meminta pemerintah agar fokus memupus stigma tersebut di masyarkat.

Salah satu munculnya stigma adalah karena sejak pertama kali kasus ini diidentifikasi di Indonesia pada 1987 hingga kini masih banyak masyarakat yang belum paham mengenai HIV/AIDS.

Menurut Patri Handoyo, masalahnya terdapat pada segi edukasi. Selama ini, edukasi yang dilakukan pemerintah masih belum menembus seluruh lapisan masyarakat yang kompleks. Patri mendorong pemerintah lebih intens lagi melakukan sosialisasi dan edukasi rutin.

Merujuk data Pemkot Bandung per Juni 2021, tercatat ada 5.741 ODHA di Kota Bandung. Sebanyak 11,11 persen di antaranya merupakan ibu rumah tangga dan ada 2,19 persen penularan dari ibu ke anak. Banyaknya ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV itu menandakan mendesaknya edukasi yang harus dijalankan pemerintah.

“Selama ini, edukasi, sosialisasi sudah ada tapi belum banyak dilakukan. Apalagi ternyata masih ada saja yang belum paham virusnya. Ini juga kan jadi tanggung jawab pemerintah kota, dinas, dan jajarannya,” tuturnya kepada Bandungbergerak.id, Selasa (2/11/2021).

Penerapan sosialisasi dan edukasi rutin merupakan sebuah upaya untuk menimbulkan kesadaran di tengah masyarakat akan pentingnya melakukan pemeriksaan HIV/AIDS. Pasalnya, masih banyak warga yang tidak menyadari dirinya telah tertular sehingga rantai penularan pun semakin sulit dihentikan dan jumlah kelahiran bayi dengan HIV/AIDS terus terjadi.

Ada dua faktor terbesar penyebab minimnya pemeriksaan HIV/AIDS, di antaranya rasa gengsi dan malu untuk melakukan tes serta minimnya edukasi seks yang jadi akar penularan. Hal tersebut merupakan salah satu contoh gambaran bagaimana stigma buruk terhadap ODHA masih melekat. Padahal saat ini, pemeriksaan rutin HIV/AIDS sudah dapat dilakukan di sejumlah Puskesmas di Kota Bandung tanpa dipungut biaya.

Meski demikian, Patri mengungkapkan bahwa hak-hak hidup ODHA di Kota Bandung secara perlahan mulai terpenuhi dari tahun ke tahun. Sebelumnya, banyak ODHA yang sulit mengakses pelayanan publik karena menganggap mereka sebagai individu yang berbahaya.

“Kalau tahun 2000-an awal, masih banyak rumah sakit, tenaga kesehatan yang menolak pasien-pasien HIV. Sekarang, sudah banyak yang terima dan kita bisa cek rutin di Puskesmas. Itu gratis,” ungkapnya.

Dwi Surya, pegiat pendampingan ODHA dari LSM Female Plus yang ikut deklarasi berharap deklarasi ini bisa menyampaikan informasi tentang penyakit HIV/AIDS, terutama agar diskriminasi tidak terus terjadi.

Ia menggarisbawahi pentingnya pelibatan swasta/bisnis terutama pemilik hotel yang disinyalir masih ada yang menolak kegiatan yang diikuti oleh ODHA.

"Dari semua pihak yang ikut deklarasi ini, menyampaikan informasi terkait HIV/AIDS ke masyarakat. Agar stigma juga hilang, dan diskriminasi kepada ODHA juga tidak terjadi lagi," harapnya.

"Untuk mengadakan kegiatan, ada beberapa tempat yang tidak menerima karena tahu acaranya (untuk ODHA). Makanya kita juga terus gunakan satu tempat, misal di sini, karena pegawainya juga sudah paham dengan kita," imbuhnya.

Baca Juga: Kebijakan Tes HIV bagi Calon Pengantin di Bandung harus Adil
Orang dengan HIV/AIDS dan Transpuan Punya Hak Sama dalam Mengakses Vaksinasi Covid-19
Data Jumlah Kasus HIV AIDS Kota Bandung 2003-2020, Anjlok di Tahun Pandemi Covid-19

Pelaku Seks Bebas Belum Tersentuh

Meski demikian, deklarasi pentahelix dinilai bukan jaminan bahwa kasus HIV/AIDS di Kota Bandung bisa tuntas pada 2030. Apalagi, kata Patri Handoyo, sederet elemen yang digaet berkolaborasi oleh Pemkot Bandung masih kurang. Mayoritas LSM yang dirangkul masing-masing telah memiliki kegiatan rutin di antara komunitas mereka. Seperti Srikandi Pasundan, Perkumpulan Puzzle, dan lain-lain.

Namun kolaborasi tidak melibatkan pelaku seks bebas yang sulit mencari komunitasnya. Tetapi sektor ini dinilai paling penting di dalam upaya memutus penularan HIV/AIDS. Data menunjukkan banyaknya ibu rumah tangga dan bayi yang tertular HIV diduga kuat karena tertular dari suami berisiko tinggi HIV, misalnya menjadi pelaku seks bebas. 

“Sebenarnya strategi itu kurang tepat karena jumlahnya hanya segelintir dan bersifat ekslusif.  Sementara pelanggan seks itu gak ada yang nampung, LSM-nya juga sulit. Jadi mau gak mau pilihannya harus melalui media massa,” ujar Patri.

Media massa dinilai punya potensi yang besar dalam menyosialisasikan dan memberikan pemahaman tentang HIV/AIDS di tengah masyarakat umum. Melalui informasi media massa, maka pemahamannya diproyeksikan bisa lebih cepat menyebar kepada khalayak tanpa mengkhawatirkan hak privasi masing-masing mengingat stigma buruk yang masih tinggi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//