• Berita
  • Kebijakan Tes HIV bagi Calon Pengantin di Bandung harus Adil

Kebijakan Tes HIV bagi Calon Pengantin di Bandung harus Adil

Kebijakan tes HIV/AIDS bagi calon pengantin bisa memicu diskriminasi jika dalam pelaksanaannya tidak dilakukan secara hati-hati.

Konsultasi kesehatan di bagian layanan ibu dan anak Puskesmas Tamblong, Bandung, Kamis (17/12/2020). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki26 Agustus 2021


BandungBergerak.idPemerintah Kota Bandung menggaet tokoh agama untuk menyosialisasikan bahaya penularan HIV/AIDS. Disosialisasikan pula tentang skrining atau tes HIV/AIDS bagi calon pengantin sebagai deteksi dini terhadap penularan virus yang menyerang sistem pertahanan tubuh tersebut.

Namun, langkah pencegahan HIV/AIDS itu memicu tanggapan kritis aktivis HIV/AIDS. Misalnya soal tes HIV/AIDS bagi calon pengantin yang dikhawatirkan menimbulkan diskriminasi di bidang pengurusan administrasi. Sementara sosialisasi kepada tokoh agama dan masyarakat dinilai tidak substansial.

Meski begitu, kebijakan tes HIV/AIDS bagi calon pengantin telah ditetapkan dalam Surat Edaran Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah (Kesra Setda) Kota Bandung sejak 2020 lalu.

Salah satu pendiri Rumah Cemara, Patri Handoyo, mengatakan Pemkot Bandung perlu lebih teliti dan hati-hati dalam menerapkan kebijakan. Pasalnya, ketentuan skrining calon pengantin bisa membatalkan pernikahan jika salah satu dari pasangan terdeteksi sebagai orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Di sisi lain, Patri mendukung skrining sebagai deteksi dini bagi pasangan yang akan menuju mahligai rumah tangga, selain sebagai pencegahan penularan HIV pada keturunan mereka kelak. Dalam hal ini, ia mendorong pemerintah dan penyelenggara untuk menerapkan kebijakan tersebut seadil-adilnya.

“Kalau skrining bisa membatalkan pernikahan lebih baik jangan (diwajibkan), tapi kalau untuk menyosialisasikan ke masyarakat tentang pencegahannya itu bagus. Orang HIV juga tetap bisa kawin kok, mereka punya hak yang sama,” ungkap Patri Handoyo, ketika dihubungi, Rabu (25/8/2021).

Langkah Pemkot Bandung menggandeng tokoh agama dan menyosialisasikan skrining calon pengantin dilatarbelakangi angka kasus HIV/AIDS Kota Bandung yang mengkhawatirkan. Merujuk data termutakhir Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, ada sekitar 300 hingga 400 kasus penambahan penularan HIV di Kota Bandung setiap tahun.

Hingga April 2021 lalu, jumlah akumulatif kasus HIV/AIDS Kota Bandung sebanyak 5.716 kasus. Dinkes juga mencatat 80,97 persen penularannya terjadi pada usia 20-39 tahun dan ada peningkatan sebesar 2,19 persen infeksi dari ibu ke anak.

Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana menjelaskan, tokoh agama memiliki peran dan pengaruh penting dalam penanggulan penyebaran virus tersebut. Mereka lebih didengar dan dianut oleh masyarakat. Sehingga menggandeng tokoh agama akan membuat sosialisasi pencegahan HIV/AIDS semakin gencar.

“Apabila ada kasus HIV AIDS di kalangan masyarakat, maka masyarakat akan memberi dukungan kepada ODHA,” imbaunya dalam siaran pers Pemkot Bandung pada Selasa (24/8/2021).

Soal pelibatan tokoh agama ini, Patri Handoyo punya pandangan lain. Menurutnya, keterlibatan mereka dalam pencegahan HIV/AIDS dikhawatirkan memperkuat stigma buruk kepada ODHA sendiri. Pendekatan terhadap HIV/AIDS memerlukan kebijakan yang bersifat plural dan menghindari nilai-nilai yang bertentangan dengan isu HIV itu sendiri.

Baca Juga: Aktivis Tanggapi Perda Pencegahan Narkoba Kota Bandung
Mogok Kerja Pemikul Jenazah Covid-19 TPU Cikadut karena Honor Telat Hampir 2 Bulan

Sebagai gambaran, HIV menular melalui pertukaran cairan tubuh yang terjadi lewat hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik secara bergiliran. Maka rumus mencegah HIV dikenal dengan singkatan ABCD di mana A berarti Abstinence (puasa seks), bagi individu yang belum miliki pasangan resmi; B adalah Be Faithful (setia) dengan pasangan dan tidak ganti-ganti pasangan; C adalah Condom, yaitu memakai kondom saat berhubungan seks berisiko, dan D artinya Drugs, yaitu narkoba suntik yang dipakai secara bergantian.

Bagi kalangan tertentu, rumus melawan penyakit yang disebabkan Human Immunodeficiency Virus itu bisa disalahartikan. Misalnya, kondom yang masih mendapat stigma negatif.

“Pemerintah cukup mengaping (isu) HIV dari sisi pelayanan kesehatannya saja karena gak ada cara lain selain penggunaan kondom. Kampanye pemerintah itu kan politis, soal citra. Emang ada yang mau kampanye tentang penggunaan kondom?” tukas penulis buku "Menggugat Perang Terhadap Narkoba" tersebut.

Patri berharap, pemerintah tidak memperkeruh isu dan pencegahan HIV yang secara umum masih tabu di kalangan masyarakat. Menurutnya, upaya menghapus stigma terhadap ODHA di Kota Bandung sudah mulai terbangun di lingkup-lingkup komunitas. Hal ini harus terus dijaga. Salah satu contoh, saat ini fasilitas kesehatan di Kota Bandung telah memberikan hak-hak setara kepada para ODHA.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//