• Komunitas
  • PROFIL RUMAH CEMARA: Berjuang untuk Indonesia Tanpa Stigma

PROFIL RUMAH CEMARA: Berjuang untuk Indonesia Tanpa Stigma

Rumah Cemara memperjuangkan hak dan perlakuan yang sama bagi pencandu obat-obatan dan orang dengan HIV/AIDS. Sempat disangka tempat peredaran gelap narkoba.

Foto Komunitas Rumah Cemara yang terdiri dari orang dengan HIV/AIDS, konsumen NAPZA, dan individu termarginalkan. (Foto: Rumah Cemara)

Penulis Tofan Aditya23 Januari 2023


BandungBergerak.id—Menjelang akhir tahun 2002, Ginan Koesmayadi, Patri Handoyo, Hartanto Emka, Ikbal Rahman, dan Darwis mengontrak sebuah bangunan di kawasan dengan modal uang patungan Rp 2 juta. Lima anak muda ini ingin membuat “rumah” bagi kawan-kawannya yang mengalami masalah kecanduan narkotika.

Pada tahun-tahun tersebut, stigma negatif bagi para pengonsumsi obat-obatan masih melekat kuat. Tak banyak tempat yang mau menerima mereka. Bandung memang sempat punya sebuah tempat rehabilitasi. Namun, karena kolaps, tempat tersebut terpaksa tutup.

“Kita mendirikan ini tuh supaya temen-temen yang di Bandung, yang junkie-junkie ini, bisa punya tempat untuk memulihkan diri,” ucap Patri Handoyo (45) ketika ditemui di Len Urban.

Rupanya, rumah yang menjadi tempat rehabilitasi tersebut mendapat sambutan positif masyarakat luas. Patri dan Ginan sempat di undang menjadi pembicara di salah satu stasiun televisi lokal.

Saat menerima undangan itu keduanya baru sadar, tempat rehabilitasi yang mereka bangun belum punya nama. Kemudian Ginan spontan mencetuskan nama “Rumah Cemara”.

“Bukannya, berdasarkan kontemplasi dulu tentang nama. Jadi itu dadakan aja,” lanjut Patri , laki-laki yang kini bekerja sebagai Pengasuh Media dan Data Rumah Cemara.

Meski spontan, nama Rumah Cemara bukan tanpa filosofi. Rumah adalah harapan bagi orang-orang di dalamnya agar bisa memiliki ruang seutuhnya. Sementara Cemara diambil dari sinetron Keluarga Cemara, yang merupakan siaran kesukaan Ginan, untuk menggambarkan suasana kekeluargaan yang hangat.

Rumah Cemara berbicara terkait penegakan HAM bagi orang-orang dengan HIV/AIDS dalam Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, pada 1-7 Desember 2016. (Foto: Rumah Cemara)
Rumah Cemara berbicara terkait penegakan HAM bagi orang-orang dengan HIV/AIDS dalam Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, pada 1-7 Desember 2016. (Foto: Rumah Cemara)

Baca Juga: PROFIL TRANSPORTFORBANDUNG: Sukarela Membenahi Transportasi Publik
PROFIL BIKE TO WORK BANDUNG: Menggerakkan Warga Bersepeda
PROFIL SEKOLAH DAMAI INDONESIA (SEKODI): Teman Muda yang Meretas Perbedaan
PROFIL KOMUNITAS MASYARAKAT KREATIF KAMPOENG TJIBARANI: Melihat Citra Bandung dari Pinggiran Cikapundung

Perjalanan Panjang Rumah Cemara

Sejak awal mula berdiri pada 1 Januari 2003, Rumah Cemara meyakini bahwa satu pendekatan tidak mungkin cocok bagi semua orang. Oleh karenanya, Rumah Cemara menerapkan pendekatan yang memungkinkan para pasiennya untuk tumbuh berkembang serta berguna bagi masyarakat.

Melalui pendekatan yang berbeda dari tempat pemulihan umumnya, Rumah Cemara mulai mendapatkan tempat tersendiri di hati para pencandu obat-obatan. Salah satu yang merasakan hal tersebut adalah Raditya, 47 tahun.

“Pada 2004, saya datang ke sini juga sebagai pasien, sebetulnya. Sebagai pasien untuk rawat inap,” ucap Raditya ketika ditemui di Sekretariat Rumah Cemara di Jalan Gegerkalong Girang No. 52, Sukasari, Kota Bandung.

Raditya bercerita, pada 2003-2004 penggunaan narkotika suntik tengah marak. Sayangnya, tingginya penggunaan jarum suntik tidak diimbangi dengan informasi terkait dampaknya.

Situasi tersebut disikapi oleh Rumah Cemara dengan mengadakan tes HIV/AIDS yang diikuti sukarela oleh pasien-pasiennya. Hasilnya mengejutkan, 7 dari 10 orang terdiagnosa terpapar HIV/AIDS. Sejak saat itulah  Rumah Cemara menambah fokus isu yang dibawanya, tak hanya terkait narkotika saja tapi juga orang dengan HIV/AIDS.

“Akhirnya, para klien sepakat membentuk Kelompok Dukungan Sebaya di dalam Rumah Cemara. Jadi mereka bisa berbagi harapan, bisa berbagi pengalaman, sebagai orang dengan HIV,” tutur Raditya yang kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Rumah Cemara.

Meski membawa isu narkotika dan HIV/AIDS, Rumah Cemara tidak ingin eksklusif. Seiring waktu, Rumah Cemara memperluas jejaringnya dengan kelompok yang membawakan isu-isu lain, misalnya kelompok minoritas gender, pembela hak asasi manusia, juga difabel.

“Kami memiliki kesamaan gagasan, kesamaan cita-cita. Bahwa, sering kali kan mereka terpinggirkan karena adanya stigma itu ya, sementara kami selalu punya visi Indonesia itu harusnya nggak ada stigma lagi buat kelompok-kelompok ini,” pungkas Tri Irwanda, 52 tahun, Dewan Pengawas Rumah Cemara.

Rumah Cemara juga berjejaring dengan pers. Tri meyakini, pers memiliki peran vital dalam membantu penyebaran informasi terkait narkotika dan HIV dengan berlandaskan pada bukti-bukti ilmiah. Meski demikian, laki-laki yang pernah bekerja di Komisi Penanggulan AIDS Jawa Barat ini masih mendapati banyak pula media yang masih bias dalam pemberitaan terkait narkotika dan HIV/AIDS.

“Sebangkrut apapun, media harus ada,” lanjut Tri.

Punggawa Tim Rumah Cemara setelah mendapatkan Fair Play Award dalam Homeless World Cip 2018. (Foto: Gina/Rumah Cemara)
Punggawa Tim Rumah Cemara setelah mendapatkan Fair Play Award dalam Homeless World Cip 2018. (Foto: Gina/Rumah Cemara)

Interminal: dari Lokal sampai Internasional

Berbagai cara ditempuh Rumah Cemara agar kelompok marginal mampu bebas dari stigma. Berbagai medium dicoba untuk menggaungkan suara-suara yang selalu terpinggirkan tersebut. Salah satunya melalui olahraga sepak bola.

Berawal dari kecintaan Ginan beserta kawan-kawan lain di Rumah Cemara pada sepak bola. Olahraga tersebut kemudian dipilih sebagai salah satu medium kampanye Rumah Cemara.

Dengan tim bernama Interminal, para pecandu narkoba, orang dengan HIV/AIDS, dan kelompok terpinggirkan lain sering bertanding dengan tim dari kampus-kampus yang ada di Bandung. Selepas bertanding, Interminal biasanya mengajak lawan bertandingnya untuk sekadar nongkrong dan ngobrol di Sekretariat Rumah Cemara. Melalui kegiatan tersebut, Interminal membuktikan bahwa kelompok marginal pun tidak berbeda dengan manusia lainnya.

Rareuwas. ‘Hah? Oh yah?’ Yang bikin mereka kaget tuh, yang ada di bayangan mereka, orang dengan HIV tuh kurus kering. Kedua yang bikin mereka agak was-was tuh, ‘gua main sama lu ketularan gak yah’,” tutur Raditya menirukan respon dari lawan bertanding Interminal kala itu.

Selain dikenal di Bandung, Interminal juga dikenal oleh publik luas setelah menjadi kampiun Piala Badan Narkotika Nasional Antar-Rehabilitasi pada 2009. Sebagai kampiun, Interminal kemudian mewakili Indonesia dalam ajang Homeless World Cup, turnamen sepak bola untuk membantu gelandangan dan orang-orang yang secara sosial dirugikan, di Rio de Janeiro pada 2010.

Sayangnya, masalah biaya membuat Interminal gagal berangkat ke Brazil. Baru pada tahun 2011, Interminal bisa mengikuti Homeless World Cup di Paris.

Di negeri berjuluk Les Bleus tersebut, Interminal tak hanya mencuri perhatian khalayak di Indonesia, tapi juga dunia. Meski baru pertama kali bermain di ajang tersebut, Interminal meraih gelar The Best New Comer Team. Tak hanya itu, Ginan terpilih juga sebagai pemain terbaik dalam kompetisi tersebut.

“Kayaknya kalau kita ingin mengurangi stigma dan diskriminasi teh nggak cukup kalau ngomong aja,” lanjut Raditya.

Melalui sepak bola, Interminal membuktikan bahwa para pecandu obat-obatan, orang dengan HIV/AIDS, dan kelompok marginal, juga dapat berprestasi, bahkan sampai tingkat internasional. Melalui sepak bola, Rumah Cemara terus mengampanyekan pesan dan mimpinya: Indonesia harus bebas dari stigma.

Indonesia Tanpa Stigma: Bukan Tidak Mungkin

Rin, 29 tahun, tidak pernah menyangka dapat menjadi bagian dari Rumah Cemara. Berawal dari menonton Rumah Cemara di televisi nasional pada 2013, ia kemudian tertarik menggalinya lebih.

“Loh kok, pada sehat bugar yah. Ih gararendut, bisa main bola. Eh kok lucu sekali,” ucap Rin ketika melihat orang dengan HIV/AIDS yang ternyata berbeda dari buku pelajaran atau poster-poster yang dia temukan.

Sebagai fresh graduate, Rin segera mengirimkan lamaran pekerjaan setelah tahu Rumah Cemara membuka lowongan. Ia tidak menyangka setelah melalui proses wawancara, empat hari kemudian perempuan asal Bogor ini bisa langsung bekerja sebagai admin Rumah Cemara.

Ketika awal-awal menjalani hari di Rumah Cemara, Rin mengaku sempat shock dengan keadaan yang ada. Ia mengaku pernah beberapa kali menerima perlakuan tidak menyenangkan. Ia sempat dijauhi teman-temannya di kampung halaman. Ia sempat pula dikira sebagai pekerja seks komersial.

“Aku kalau di DM (direct message) macem-macem iya, aku sempat dikira open BO,” ucap Rin sambil tertawa.

Selain dialami oleh orang-orang di dalamnya, perlakuan tidak menyenangkan juga beberapa kali dialami oleh Rumah Cemara. Predikat sebagai pendukung peredaran gelap narkoba juga sempat tertuju pada Rumah Cemara. Bahkan sempat sekretariat Rumah Cemara didatangi petugas polisi.

“Kadang-kadang sok aya wae kang yang dateng ke sini, tukang cilok teu jelas. Ada itu, ada. Saya mah udah biasa,” ujar Raditya.

Meski perjuangan untuk menghapus stigma itu tidak mudah, bukan berarti tidak mungkin. Rumah Cemara mendapat beberapa kemajuan dalam isu-isu yang dibawanya. Misalnya pada isu HIV, kini hampir semua Puskesmas telah menerima pasien HIV dan bahkan menyediakan tesnya, situasi yang jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

Mulai dari hulu sampai hilir, Rumah Cemara terus berjuang memperjuangkan hak bagi semua orang, khususnya bagi pencandu obat-obatan dan orang dengan HIV/AIDS. Tentu tidak sendirian, tapi bersama berbagai lapisan masyarakat di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional.

Namun, sebagai organisasi nonpemerintah, ada beberapa hal yang sulit untuk dilakukan oleh Rumah Cemara. Negara harus memiliki komitmen untuk turut andil dalam mengatasi konsumsi obat-obatan yang bermasalah, penularan virus darah, kemiskinan struktural, serta stigma dan diskriminasi melalui kebijakan, perangkat kerja, dan sumber daya negara.

“Kita mulai menyadari bahwa kita gak bisa kerja sendiri,” ucap Raditya. “Rumah Cemara gak bisa sendiri,” tegasnya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//